Tiba-tiba saya menjadi takut melihat mulut saya sendiri. Bukan karena mulut saya cacat, nyinyiran, atau monyong. Mulut saya normal. Tapi, setiap kali saya bercermin dan melihat mulut sendiri, di sana saya melihat kengerian.
Gegara rasa takut tanpa sebab itu, ke manapun pergi, saya selalu menggunakan masker. Saya menyembunyikan mulut agar tidak dilihat orang lain. Masker itu juga jarang saya lepas kecuali untuk makan dan minum. Bahkan untuk tidur pun saya mengenakan masker agar kalau bermimpi wajah saya maskeran.
Beruntung sekali, saat ini tengah pandemi, sehingga orang memakai masker itu hal biasa, bahkan menjadi keharusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Rasa takut melihat mulut sendiri, juga mempengaruhi sifat saya yang semula hobi ngobrol berubah jadi pendiam. Saya berusaha mati-matian agar mulut saya tidak ngecripris. Jika ngomong sulit berhenti, ibarat rem blong pada mobil. Akibatnya, bisa berakibat fatal. Mulut yang seharusnya untuk berkata-kata baik itu berubah dengan kata-kata makian, nyinyiran, cercaan, rasis, bahkan sara!
Saya juga tidak ingin mulut saya menjadi bumerang bagi diri sendiri. Saya membatasi bicara, karena takut keceplosan omong.
Saya juga menyiapan kedua telapak tangan untuk menjaga mulut, baik itu untuk tersenyum, tertawa lepas, dan bicara.
Kini, jika ngobrol dengan teman, saya memilih banyak diam. Jarang menanggapi. Untuk hal-hal yang lucu, saya hanya tersenyum di balik masker. Saya tidak lagi bisa cekakakan dengan bebas, karena takut keterusan mulut saya menjadi blong.
Akibatnya, saya jarang sekali bicara. Saya menjadi pribadi yang pendiam. Anehnya saya menyukainya dan bahagia.
Untuk mensyukuri kebahagiaan itu, saya lalu membeli masker yang ada gambar mulut yang digembok.
Saya mengambil cermin, mengamati wajah yang bermasker seni itu. Nyentrik, tapi saya bahagia. Saya tersenyum puas.
Perlahan-lahan, kesadaran bertumbuh dalam jiwa.
Mulutmu harimaumu, itu ungkapan yang banyak digunakan oleh orang-orang yang iri, dengki, atau mendendam.
Seharusnya, mulut itu untuk berkata-kata baik, memotivasi, menghibur, dan membahagiakan sesama. Sebagai ungkapan syukur atas kemurahan Tuhan.
Hikmah lain dari mulut yang sedikit bicara itu adalah saya lebih senang untuk mendengarkan kesusahan orang, cerita duka, pilu, dan seterusnya, sehingga saya lebih peduli dan berbela rasa pada sesama.
Banyak mendengar sedikit bicara agar kita semakin bijaksana. (MR)