Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SEORANG jurnalis rekan seangkatan, di era booming lukisan pada dekade 1990an, dengan senyum senyum bicara tentang pameran senirupa, yang hanya karya karynya dimengerti oleh pembuatnya dan wartawan (dari media besar) yang menulis. Lantaran kelewat absurd.
Karya seni yang – sejujurnya – tidak komunikatif dan tidak indah. Tapi harus ditulis di media karena dia – dan kami juga, dari media sedang dan kecil – tak mau diamuk para seniman dengan tuduhan, “Wartawannya gak ngerti seni! Payah!”
Banyak juga seniman yang karyanya memang buruk, setengah jadi, tapi memaksakan pameran karena punya uang dan sponsor untuk menyewa gedung. Bisa mendatangkan pejabat untuk meresmikan pembukaannya.
Kira kira seperti itulah seni mural di Indonesia. Sejauh mata memandang saya melihat dua kutub ekstrim itu : kelewat “nyeni” karena hanya bisa dinikmati dan dimengerti pembuatnya. Atau kelewat buruk sehingga mengotori dinding.
Sebelum dijadikan ekspresi sosial dan politik, sebagaimana ramai hari hari ini – ada banyak kejadian mural yang dihapus Satpol PP bukan karena kontroversi dan muatan agitasinya. Melainkan karena dianggap mengotori dinding.
Pak Satpol tak melihat unsur seninya. Ya, karena memang tidak ada! Karya anak anak yang baru belajar nggambar.
Saya setuju itu. Saya pernah melihatnya juga di dalam kompleks TIM, di kawasan IKJ. Institut Kesenian Jakarta – notabene tempat mahasiswa seni. Saya masih melihatnya sampai sekarang di kolong jembatan Sudirman menuju stasiun MRT. Muralnya jelek! Proyek murahan.
SEBUTAN mural berasal dari bahasa Latin, yaitu murus, yang artinya dinding. Sebutan itu dikembangkan menjadi kegiatan menggambar atau melukis menggunakan media dinding.
Seni mural sudah ada sejak 30 ribu tahun yang lalu, saat manusia masih tinggal di gua gua, di era pra-sejarah. Temuan lukisan gua di Lascaux di daerah Prancis Selatan dengan cat air yang digunakan berasal dari sari buah – menegaskan hal itu.
Seni mural di era modern memerlukan area luas dan permanen – sebagai “kanvas”nya – sekaligus sebagai pembeda dengan jenis gambar lainnya. Dinding jalan raya atau dinding rumah.
Seiring dengan perkembangan zaman, media yang digunakan untuk mural juga semakin beragam. Mulai dari lantai, meja, hingga langit-langit pun juga terhitung sebagai mural.
Pablo Picasso, seniman surealis dari Spanyol itu, juga membuat mural dengan nama “Guernica”. Menafsir perang sipil Spanyol di tahun 1937.
Di Indonesia Mural sudah ada sejak era perjuangan merebut kemerdekaan tahun 1945. Saat itu mural digunakan untuk menyalurkan semangat kemerdekaan pada rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya juga mural digunakan sebagai media untuk publik berekspresi dan menyuarakan pendapat. Juga bagi perusahaan yang ingin beriklan.
Iklan ini disampaikan dengan kreativitas mural agar selain pesannya diterima namun juga menambah kesan estetika.
Seni melukis di dinding bukan hanya mural – melainkan juga ada Grafiti. Bedanya, grafiti lebih merupakan coretan kata kata dan simbol. Menggunakan cat semprot atau kapur. Sedangkan mural berorietasi pada seni lukis.
Selain itu ada Vandalisme yang kerjanya merusak, menghancurkan karya seni dan lingkungan alam. Sebutannya berasal dari Bangsa Vandal yang merusak kota Roma yang indah tahun 455.
Kenapa saya sebut Vandalisme? karena banyak seniman yang merasa sedang membuat seni mural dan seni grafiti namun hasilnya malah ekspresi kaum Vandalis. Merusak pemandangan.
Mural seharusnya realis, komunikatif dan indah. Pilihannya menjadikan dinding ukuran besar dan luas beritikad untuk dinikmati sebanyak mungkin orang dan menarik perhatian. Karenanya harus komunikatif dan indah.
Bahkan seandainya digunakan sebagai ekoresi politik dan kritik sosial tetap harus bisa dinikmati.
Contoh mural yang indah, nyeni dan menginspirasi adalah mural Chairil Anwar, “Mampus kau dikoyak koyak sepi” yang dikutip dari sajaknya, Sia sia (1943). Mural itu aman karena bisa dinikmati siapa saja. Kuat pesannya.
Saya membayangkan penyair besar WS Rendra juga dimuralkan dengan kredonya yang tegas itu : “Hadir dan Mengalir”
Atau Sutardji Calzoum Bachri, dengan sajaknya yang fenomenal “Yang tertusuk padamu, berdarah padaku! “
Mural yang tidak indah adalah mural yang gagal. Dia hanya sekadar pelampiasan sok seni dan kemarahan.
Karena itu Pak Satpol PP lebih suka menghapusnya.
Dalam hal itu, saya setuju! **