CERPEN oleh BELINDA GUNAWAN
YU-NA
Menyeret koper dan menggendong back pack, lelaki muda itu bergegas menuju seorang gadis mungil yang memegang karton bertuliskan namanya. Yo-han. Ia selalu memisah dua suku kata itu, seperti namanya juga: Yu-na.
Tanpa tanda pengenal pun, ia pasti mengenali Yu-na di keriuhan bandara Incheon itu. Karena kacamatanya! Tidak ada wanita lain yang memakai kacamata hitam di dalam ruangan bandara. Ya, kecuali dia, mahasiswi Akademi Bahasa di Universitas Seoul jurusan Bahasa Indonesia.
Yohan mengenalnya via online. Awalnya melalui Facebook lalu berlanjut di ‘jalur spesial’. Dan selama setahun lebih berteman, tidak pernah satu kali pun si gadis Korea menampilkan foto tanpa kacamata hitam.
Yohan ke sini atas keberuntungan tak terduga sebagai reporter masa percobaan. Ia menggantikan seniornya yang mendadak berhalangan. Waktu mendapat penugasan itu rasanya ia kepingin salto. Selain itu adalah perjalanan luar negerinya yang pertama, ia akan ketemu Yu-na!
Beberapa langkah di depan dia, Yohan bimbang antara menjabat tangan, memeluk, atau mencium pipinya. Yu-na mendahului dengan mengangguk.
“Annyeonghaseyooo… Yo-han.”
“Annyeonghaseyooo…Yu-na.”
Bibirnya tersenyum manis, membuat Yohan semakin penasaran ingin melihat matanya yang bekerlip riang. Pretty slanting eyes…. Ia berharap, mungkin di Nami Island yang legendaris, Yu-na bersedia membuka sejenak sunglasses-nya.
DI PULAU NAMI
Yu-na mengantar Yohan ke hotel pesanannya di daerah Gyeonggi. Menyimpan koper, lalu mengantarnya ke tujuan pertama. “Waktumu terbatas,” katanya.
Dengan feri mereka menyeberang ke pulau Nami. Walau bukan weekend atau masa liburan, angkutan itu penuh dengan penumpang. Cuma butuh beberapa menit untuk tiba di pulau berbentuk bulan separuh itu.
Yohan merapatkan jaketnya. November saat itu, dingin untuk ukuran orang kita.
Dedaunan berubah jadi bunga. Merah, jingga, kuning. Di tepi pulau dilihatnya spanduk besar bertuliskan “Selamat datang di Republik Nami.”
“Republik?”
“Penduduk Nami mengklaim kemerdekaannya secara kultural,” Yu-na menjelaskan.
“Bagus juga sebagai promosi pariwisata,” sambut Yohan.
“Sekarang turis yang paling banyak datang adalah turis Indonesia. Dulu Jepang, kemudian China. Itu sebabnya spanduk besar itu berbahasa Indonesia.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju lokasi jejeran pohon pinus yang wajib banget dikunjungi oleh semua pengunjung Nami. Ini lokasi foto terfavorit para pengunjung, terutama yang berpasangan. Mereka sudah pasti melakukan sesi foto ala adegan film Winter Sonata.
Memang popularitas K-Culture didongkrak K-Movies juga selain K-Pop, K-Fashion, dan K-K lainnya. Dan film Winter Sonata, Yohan tahu, sangat digandrungi teman-teman wanitanya di Indonesia.
“Kita motret berdua juga?” tanya Yohan.
“Kamu sendiri saja.” Yu-na tersipu lalu sigap mengarahkan gaya Yohan. Suatu hari ia akan jadi pemandu wisata yang jempolan.
“Yohan, lihat ke kakimu,” ujar Yu-na di sebuah jalan lurus memanjang. “Kita sekarang jadi orang yang sangat kaya. Kita berjalan di atas emas.”
Yohan tertawa mendengar gurauan Yu-na.
“Gingko leaves?” Rupanya daun daun keemasan yang jatuh berguguran menutupi jalan itulah yang disebutkan Yu-na sebagai emas.
Yu-na terus bercerita tentang keadaan dan keindahan di sekeliling mereka. “Nami paling cantik saat matahari terbenam.”
Yohan menganggukkan kepala. “…dan Yu-na paling cantik kalau tersenyum.”
“Hamsahamida…”
Matahari hampir sempurna terbenam, tapi Yu-na belum juga melepaskan kaca mata hitamnya. Yohan sudah tidak memikirkan ada apa di balik kaca mata itu. Buat dia, Yu-na sudah sangat memukau dengan senyum manisnya.
Menjelang naik ke feri kembali, Yu-na terantuk batu dan hampir saja jatuh. Yohan meraihnya.
“Gandeng aku atau buka kacamatamu.”
Ia lega Yu-na menurut dan berpegang erat pada lengannya. Genggamannya terasa hangat menembus jaket.
Di bangku feri Yu-na mendesah, “Aku tahu kau penasaran, kenapa aku menyembunyikan mataku.”
“Terus terang, iya.”
“Kau mau bukakan?”
Yohan berdebar. Di bawah cahaya feri yang remang dibukanya kacamata Yu-na.
AKU BELUM SEMPURNA
Kepala itu tertunduk, mata menutup.
“Yohan, sebagai gadis Korea aku belum sempurna. Belum operasi plastik.”
“Apa?”
“Hampir setiap gadis kecil Korea punya cita-cita untuk mempercantik wajah dengan oplas, setidaknya mata. Tujuhbelas tahun adalah usia yang tepat. Ayahku punya uang, tapi ia menggunakannya untuk membayar biaya kuliahku. Sekarang aku sudah sembilan belas tahun.”
Masih menunduk, Yu-na bercerita betapa ayahnya melihat sebuah peluang bagi Yu-na dengan merebaknya pariwisata Korea, berdatangannya wisatawan dari Indonesia, kepiawaian Yu-na menguasai bahasa kedua.
“Tapi apakah aku bisa berkarier dengan penampilan yang tidak setara dengan gadis-gadis Korea lainnya?” gumamnya. “Begitu melamar kerja sudah kalah bersaing dengan mereka yang sempurna.”
Yohan mengangkat dagu gadis itu dengan telunjuknya. Kepala itu terangkat, tapi matanya masih terpejam.
Sesorot mentari senja melintas pada saat feri merapat ke tepi, dan bertepatan dengan itu mata Yu-na bergetar dan terbuka.
Oh my gosh, astaga, olala, Yohan melihat pemandangan yang tidak disangka-sangkanya. Sepasang mata itu sipit, memang, namun ujungnya mencuat. Slanting eyes, almond eyes! Dan di dalam ‘bingkai’ itu tampak bola mata hitam kelam, yang memancarkan kerlip jernih cemerlang.
“Yu-na…”
Gadis itu melengos. “Kita sudah sampai,” katanya sambil melangkah keluar dari feri.
Yohan menjajarinya, mencoba menyusun kata di benaknya. Ia ingin menyampaikan ketakjubannya pada keindahan mata Yu-na. Ia ingin meyakinkannya bahwa kecantikan mata itu adalah karunia Tuhan yang tak terhingga. Tapi ia bukan tipe lelaki yang pandai berkata-kata. Ia lebih terampil menulis.
Ia menarik napas berkali-kali. Ia harus dan wajib menyampaikan apa yang ada dalam benaknya.
Di dalam bus, setelah setengah perjalanan, baru bisa ia menemukan kata-katanya, itu pun jauh dari memadai.
“Yu-na, menurutku matamu indah, sangat indah. Justru itu yang membedakan kau dari gadis-gadis Korea lainnya, yang matanya dibentuk sesuai template, eh, pola yang sama.”
Yu-na tidak menanggapi, seolah kata-kata Yohan hanya angin lalu. Lama kemudian, ia berkata dengan nada final, “Bagaimanapun, sebagai gadis Korea aku belum mencapai cita-citaku.”
***
“Besok ke Mount Soreak,” kata Yu-na ketika akan berpisah di lobi hotel. “Di situ ada kisah-kisah yang bagus bagi tulisanmu.”
“Besok jangan pakai kacamata,” kata Yohan. Ia menyampaikannya dengan nada separuh bercanda.
Mata almond itu melotot. Semakin indah dalam amarah. “Jangan sebut lagi soal kacamata. Kecuali kau ingin batal pergi.”
“Baiklah, Tuan Putri.”
“Aku serius. Kembalikan kacamataku.”
Yohan merogoh saku jaketnya dan meletakkan benda yang dibencinya itu ke telapak tangan Yu-na.
“Yu-na, maafkan kelancanganku. Dan terima kasih.”
***
Semalaman itu tidur Yohan gelisah. Pantas kulihat semua wanita di sini berwajah sama, pikirnya. Kukira itu karena mataku masih menyesuaikan diri di negri asing, tapi nyatanya? Inikah K-Culture? Yu-na, please…jangan serahkan wajahmu pada dokter bedah. Biarkan dirimu cantik secara berbeda, mencolok apa adanya. Aku suka….
Jauh di sana, di pinggiran Seoul, Yu-na juga resah. Benarkah mataku cantik? Salahkah cita-citaku selama ini? Mengapa kau, Yo-han, dengan kulitmu yang gelap, rambutmu yang keriting, sikapmu yang lembut-tegas, membuatku ragu dan lupa sejenak pada Dong-won? Pada lelaki yang sejak kecil menemaniku, yang menunggu dengan sabar kapan aku menjalani oplas?
DUA HARI BERSAMAMU, YO-HAN
Di dalam bus menuju Mount Seorak, Yohan dan Yuna duduk merapat. Bahu bertemu bahu, lapisan jaket tidak terasa.
“Jadi, besok…?”
“Ya, maafkan aku. Besok aku kuliah lagi. Tapi sudah kususun itinerary lengkap untuk lima hari.”
Yu-na hampir membuka tasnya, tapi Yohan keburu menangkap tangannya. “Nanti saja.”
Setiba bus di tujuan, Yu-na teringat akan ‘tugasnya’ memandu. “Seoul berarti salju dan Ak berarti gunung besar. Begitulah asal kata Seorak. Salju di sini tidak kunjung meleleh.”
Masuk sedikit ke Park, Yu-na mengarahkan Yohan ke depan patung beruang. “Semua pengunjung berfoto di sini.” Namun belum lagi ia mendapat angle yang pas, perhatian Yohan sudah teralih ke dedaunan maple yang beraneka warna: hijau, kuning, jingga, merah. Tak kurang dari tujuh warna.
“Sebentar lagi merah seluruhnya,” kata Yu-na.
“Sekarang justru cantik. Lihat warna-warninya. Bukti kekayaan ciptaan Tuhan.” Seperti matamu dan mataku, lanjut Yohan, tapi tidak diucapkannya.
Yu-na menarik lengan Yohan ke stasiun kereta gantung. “Sebentar lagi berangkat,” katanya.
Di dalam cable car yang membawa mereka ke ketinggian, Yu-na menunjuk ke arah patung Buddha raksasa, di mana banyak pengunjung bersembahyang. “Nanti kita ke sana.” Ia menunjuk ke arah kiri. “Itu laut timur Korea.”
Dari kereta gantung, perjalanan berlanjut ke Gwonggeumseong Fortress. Untuk ke sana tersebar ratusan anak tangga tanpa pegangan. Sambil mendaki Yu-na menuturkan hikayat benteng tersebut.
“Tunda ceritamu, Yu-na. Konsentrasi pada langkahmu.”
Benar saja. Di satu anak tangga yang membelok, Yu-na kehilangan keseimbangan dan Yohan sigap menangkap pinggangnya. Lalu, seperti kemarin namun tanpa izin, ia membuka kacamata Yu-na. “Demi keamanan.” Gadis itu membiarkan.
Di pelataran atas, sejauh mata memandang tampak bebatuan berlapis salju tipis. Yohan memotret Yu-na beberapa kali, lalu menunjukkan hasilnya. “Lihat Yu- na, betapa cantiknya kau tanpa sunglasses. Tidak semua orang cocok bermata besar, Tuhan tahu apa yang cocok untukmu.”
Seorang turis Kaukasia mendekat dan menawarkan mereka berfoto berdua. “Berpegangan tangan, ya,” dan mereka menurut. Dengan tangan saling menggenggam Yohan menatap mata Yu-na, dan tanpa terasa berkata dalam hati, “Kau yang selama ini kucari. Kalau saja aku sudah mapan, akan kuajak kau pulang….”
Dalam saat ajaib itu hati Yu-na juga sibuk berkata-kata. “Yohan, apa yang telah kaulakukan padaku? Ada apa dengan diriku? Tidak pernah aku merasa begini, bahkan dengan Dong-won sekalipun.”
Setelah mereka turun kembali, di toilet Yu-na berdiri di depan cermin. Ia melihat wajahnya dengan tatapan baru, sebagaimana dirinya tampak di mata Yohan.
Dirabanya tepi matanya. “Kata Yohan mataku mencuat indah dan itu memberiku kekhasan, berbeda dari gadis-gadis Korea lain. Aku cantik sesuai rencana Yang Maha Besar Hananim bagiku…”
Yu-na tahu, Korea kaya akan begitu banyak produk rias mata. Satu pun tidak pernah dicobanya karena ia ingin memaksa ayahnya menyediakan biaya oplas baginya. Sekarang ia melihat kemungkinan-kemungkinan lain. “Bila kupakai sedikit eye liner, lalu eye shadow warna netral, mataku akan semakin indah…”
Dikeluarkannya itinerary Yohan dari tasnya, dan ditambahkannya sesuatu.
***
Di kamar hotel malam itu, Yohan tersenyum mengenang perpisahan di lobi tadi, ketika Yu-na membiarkannya memeluk tubuh mungilnya sampai melekat sempurna.
Setelah membaca itinerary sampai ke ujungnya, senyumnya semakin merebak. Yu-na menulis:
“Yohan, terima kasih telah memberi dua hari indah bersamamu. Terima kasih telah membuat aku berpikir ulang tentang operasi mata. PS: aku sayang kamu.”
EPILOG:
Bandara Incheon beberapa hari kemudian. Yu-na berlari-lari di bagian departure. Beruntung ia tepat waktu. Di balik kaca masih ada sosok Yohan. Matanya mencari-cari. Lalu TAP… dua pasang mata saling bertemu. Dua bibir tersenyum. Dua hati melonjak riang. Semarak, seperti menyaksikan daun-daun maple segala warna bertebaran di angkasa biru.