Seide.id – Usai meliput Festival Film Asia Pasific ke-57 di Garden City Hotel Pnomh Penh, saya memutuskan berpisah dengan rombongan dari Indonesia, karena saya ingin pergi ke Siem Reap, kota tujuan wisata utama di Kamboja. Sudah lama saya ingin melihat candi Angkor Vat dan Kota tua Angkor Thom yang sudah saya tahu Namanya sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Tanggal 1 September 2017, ketika rombongan delegasi Indonesia untuk FFAP ke-57 menemui Dubes RI di Pnomp Penh, saya pergi ke sebuah Hotel di Pnomh Penh menggunakan Tuk-tuk, sebuah becak bermotor yang mendominasi transportasi di Kamboja.
Sehari sebelumnya saya sudah memesan tiket bus untuk ke Siem Reap dari hotel tersebut. Ternyata bus dengan rute Pnomh Penh – Siem Reap sudah memasang kaki-kaki di semua hotel di Pnom Penh. Siapa saja yang ingin pergi ke Siem Reap bisa memesan tiket perjalan di lobi hotel. Di situ akan ada orang yang menjadi perwakilan (mungkin cuma calo) yang akan mencatat nama kita di selembar kertas kecil, dan besoknya diminta untuk kembali ke hotel, nanti akan dijemput oleh Tuk-tuk untuk menuju ke pool bus.
Pada pukul 10.00 WIB saya sudah menunggu di lobi hotel seperti yang dijanjikan. Tidak lama kemudian datang tuk-tuk penjemput, yang akan membawa saya ke pool bus. Naik tuk-tuk asyik juga: cara pengemudinya membawa becak bermotor itu agak slebor di jalan-jalan raya Kota Pnomh Penh yang sempit dan padat. Sebelum mencapai pool, tuk-tuk memasuki sebuah jalan kecil. Di sana ada sepasang turis bule yang juga perlu diangkut. Akhirnya kami bertiga naik tuk-tuk menuju pool bus.
Pool bus di sana terdapat di sebuah ruko. Karyawan yang melayani pembelian tiket atau mencatat nama penumpang yang telah memesan, berada di dalam loket kaca. Karyawannya perempuan berpakaian rapi. Saya membeli tiket seharga 10 dolar Amerika.
Setengah jam menunggu, bus yang akan membawa kami tiba. Barang-barang penumpang dimasukan ke dalam bagasi. Termasuk koper saya. Hanya tas kamera yang tetap saya pegang. Tidak lama kemudian bus berjalan.
Hanya ada sekitar 7 orang penumpang dalam bus berkapasitas 30 tersebut. Busnya ber-AC, sejenis bus antar kota model lama yang melayani penumpang dari terminal Kampung Rambutan menuju Karawang atau Cikampek. AC-nya cukup sejuk, mungkin karena penumpangnya sedikit. Di tiap-tiap kursi sudah disediakan air mineral botolan.
Bus lalu bergerak hingga sampai ke luar kota. Melewati jembatan Sungai Mekong yang cukup panjang. Air sungai Mekong berwarna coklat. Banyak perahu yang melintas di atasnya.
Meski pun terasa agak ngantuk, saya tidak ingin memejamkan mata. Saya ingin melihat sejengkal demi sejengkal wilayah yang kami lalui. Di luar kota, banyak rumah-rumah panggung dengan garasi di bagian bawahnya. Rumah-rumah tradisional Kamboja hampir sama dengan rumah-rumah tradisional panggung di beberapa daerah di Indonesia. Antara lain seperti rumah-rumah tradisional di Lampung atau Sumatera Selatan yang saya lihat.
Banyak tanah tegalan yang ditumbuhi pohon-pohon lontar, juga persawahan yang luas. Air kelihatannya melimpah di sini, dan saya juga melihat orang-orang yang sedang memasang bubu untuk menangkap ikan.
Satu jam perjalanan, mobil berhenti di sebuah rumah makan. Di depan rumah makan ada penjual belalang goreng, mirip di Kawasan Gunung Kidul. Setampah penuh belalang goreng dijajakan di depan sebuah kios terbuka di depan rumah makan.
Saya masuk ke warung dan memasan makanan. Ternyata ikan sungai yang dimasak kuah dengan dedaunan khas Kamboja yang barunya hampir mirip daun seledri. Harganya 3 dollar Amerika. Oh ya, hampir semua pembayaran di Kamboja menggunakan dolar. Bahkan tuk-tuk sendiri akan menawarkan dengan harga dolar. Kamboja sendiri memiliki mata uang, namanya Riel. Tapi kursnya rendah dibandingkan dolar, meski lebih tinggi dari Rupiah. 1 Riel sama dengan 3 rupiah, waktu itu.
Jadi kalau kita membayar dengan uang Kamboja, lembarannya cukup banyak. Kecuali dengan uang pecahan yang cukup tinggi. Karena membayar dengan dolar, sebenarnya tanpa terasa kita telah membayar cukup mahal untuk makan, biaya transportasi atau barang yang kita beli.
Rupanya cuma saya yang turun makan. Agak lama, sehingga sopir sempat membunyikan klakson beberapa kali, mengingatkan.
Setelah saya naik, bus kembali melanjutkan perjalanan. Pemandangan agak membosankan karena yang terlihat adalah perkampungan dan sawah-sawah membentang. Jalan yang mulus, agak sepi dari kendaraan. Yang paling sering ditemui adalah tuk-tuk dengan berbagai modifikasi. Ada yang untuk mengangkut penumpang, ada yang untuk barang. Semuanya menggunakan mesin sepeda motor. Untuk yang mengangkut barang biasanya dibuat panjang daknya.
Dua jam kemudian bus berhenti lagi di sebuah pasar. Saya melihat plang nama, ini adalah Pasar Kampong Thom. Sopir langsung masuk ke sebuah rumah makan. Saya pun Kembali makan. Rumah makan ini lebih baik dari sebelumnya. Agak ramai. Lagi-lagi saya memesan ikan kuah tetapi dibuat seperti gule kental. Di Kamboja, masakan ikan air tawar mudah ditemui di rumah-rumah makan. Mungkin karena dekat dengan Sungai Mekong atau banyak persawahan, ikan air tawar cukup melimpah di sini.
Pasar berlantai dua itu sudah sepi. Mungkin karena sudah siang. Saya berjalan ke bagian samping pasar untuk melihat-lihat suasana. Hanya ada kios-kios pedagang pakaian yang masih buka. Bentuk pasar di sini pun sama dengan pasar kebanyakan di Indonesia, cuma sedikit lebih tertib dan tidak telalu ramai.
Setengah jam kemudian mobil berangkat lagi. Pada pukul 14.40 mobil memasuki Kota Siem Reap. Kota ini tidak terlalu ramai. Bus berhenti di depan sebuah pertokoan, lalu menurunkan barang-barang yang ada di bagasi. Anehnya pintu untuk penumpang belum dibuka. Setelah semua barang diturunkan, baru pintu bus dibuka. Saya dan beberapa penumpang lain turun.
Di luar belasan pengemudi tuk-tuk sudah menawarkan jasanya. Ada yang menggunakan hahasa Kamboja, ada pula yang bisa berbahasa Inggris. Saya mengambil koper, lalu masuk ke kantor agen bus, dan duduk di ruang tunggu. Maksudnya untuk menghindari para pengemudi tuktuk yang gigih menawari jasanya. hw (Bersambung).