Cara mendefinisikan diri sangat personal, dan berisikan kehendak seseorang untuk menunjukkan identitas yang khas, unik dan berbeda dengan yang lain.
“Ketika saya kecil, nilai Sains saya sangat buruk, ujian pun nyaris gagal Lalu Bu Guru Sains meragukan kemampuan saya untuk nantinya menggapai cita-cita. Kini jika bertemu saya hendak berkata kepadanya. ‘Bu, aku kini sudah jadi Insinyur Aerospace, yang sehari-harinya merancang, mengembangkan, dan memelihara pesawat terbang, wahana antariksa, sistem aeronautika dan antariksa lainnya.’ Jadi, intinya ujian apapun sesungguhnya tak bisa mendefinisikan dirimu.”
Sebuah konten di media sosial yang lewat suatu hari menarik perhatian saya.
Mengejutkan bukan fakta yang dikisahkan perempuan muda itu. Ketika guru Sains menafikannya punya kemampuan, karena nyaris gagal ujian; bertahun-tahun kemudian dia malah mampu menjadi ahli di bidang Sains.
Berkebalikan dengan cerita itu, ketika kecil dulu saya peserta olimpiade matematika SD. Namun, ketika besar dan diuji untuk menjadi pelaksana sebuah kursus matematika, saya gagal di tes operasi pecahan yang harusnya sangat dikuasai. Ironis ya.
Peringkat dan predikat yang diperbincangkan di atas entah kenapa masih menjadi gula-gula keberhasilan pengasuhan, bahkan tak pelak masih bercokol dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah.
Tentang sekolah, saya punya kisah yang berbeda lagi. Dulu semasa kuliah, saya pernah mengikuti Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) di sebuah sekolah negeri terfavorit di Jakarta. Hal yang segera mencengangkan adalah pengelompokkan siswa dalam kelas-kelas.
Ketika masuk dalam kelas 1.1, saya segera berhadapan dengan suasana kelas yang (yakin) disukai guru. Sepi, anak-anak duduk tertib, mendengarkan dengan cermat, bertanya jawab dengan pintar, tak ragu untuk berdebat, bahkan sangat serius menyikapi tindakan guru.
Sebaliknya ketika masuk dalam kelas 1.10, saya menemukan dunia remaja yang seru, bersahabat, dan asik diajak bicara apa saja. Kelas cukup berisik, karena saling nyeletuk, tapi mereka responsif menanggapi semua perkataan kita walau tak duduk rapi.
Jujur, saya lebih menyukai proses belajar di kelas 1.10, karena demikianlah remaja, begitulah apa adanya. Tak ada posisi yang perlu mereka jaga, tak usah belagak sok pintar ketika berpendapat. Dunianya sangat berwarna dan ‘hidup’.
Hal yang saya sayangkan adalah pembagian ‘kasta’ prestasi di sekolah tersebut. Salah satu guru mengomentari kesan saya. “Apa boleh buat, Mbak. Karena sekolah kami nomor wahid di kota ini. Jadi hanya prestasi sekian sampai sekian di nilai ujian yang bisa masuk. Anak-anak di kelas 1.10 itu malah beruntung masih dapat jatah.”
Ketika saya mempertanyakan tentang pergaulan dan perundungan, para guru mengklaim tidak ada masalah berarti tentang pembagian kelas tersebut. “Yang jelas kalau kirim siswa berprestasi akademis, ya kelas 1.1 sampai 1.3. Kalau olahraga, baru kelas 1.7 sampai 1.10.”
Dalam hati ingin saya bertanya, kalau saya di kelas 1.2 tapi trampil berolahraga, ya belum tentu saya akan terpilih, atas nama fair dengan teman-teman spesialisasi olahraga.
Apalagi, ketika pembagian kelas ini saya kaitkan dengan guru yang mengajar. Kelas-kelas akademis biasanya diprioritaskan mendapat guru senior, guru utama. Sebaliknya, yang non akademis bisa saja dibiarkan kosong ketika guru pelajaran ybs berhalangan hadir.
Sampai hari ini pun, saya sangat prihatin dengan kondisi kelas-kelas sekolah yang seperti demikian. Tanpa sadar, pendidikan yang seharusnya berkewajiban memberikan layanan yang setara dan inklusif untuk semua anak; telah mengotak-otakkan individu berdasar kepandaian yang sangat relatif sifatnya. Belum lagi perundungan karena penggolongan kelas kemampuan anak itu masih sangat berpeluang.
Andil Orang Tua
Kondisi pembelajaran yang sangat subyektif dan labeling tersebut, bila ditelisik lebih lanjut justru mengikutkan orang tua sebagai pihak yang andil dalam penyelenggaraannya.
Secara sederhana seperti ini : orang tua ingin anak di sekolah favorit, tetapi akademisnya sebenarnya tak berbanding lurus. Akhirnya sekolah mengambil kebijakan menerima dengan kondisi pembagian kelas seperti demikian, yang mau tak mau diterima orang tua. Meski khawatir, nanti bila bertemu kerabat ditanya sekolah di mana dan kelas berapa, kondisi itu akan seketika membongkar kemampuan akademis anak tersebut, yang hanya ‘beruntung’ bisa diterima di sekolah favorit.
Dunia pendidikan Indonesia tak sendiri dalam menghadapi kondisi demikian. Beberapa tayangan drama anak sekolah produksi Cina, Korea maupun Jepang banyak menggambarkan situasi yang sama. Pengotak-ngotakkan siswa berdasar kemampuan, yang berpotensi membuka peluang perundungan.
Lalu, apakah orang tua tak boleh berharap anaknya bersekolah di sekolah favorit? Pertama-tama mungkin bisa dilihat dulu apa tujuannya. Umumnya karena kehendak menjadi keren karena bersekolah di situ, dan mengikutkan orang tua ikut terbawa keren (anaknya bisa di sekolah favorit). Tujuan itu sudah bukan mendapatkan pendidikan terbaik, tapi lebih mendapatkan status bersekolah di tempat terbaik.
Tentang hal ini, saya punya pengalaman sendiri. Ketika SMA, saya dimasukkan dalam sebuah sekolah beragama yang favorit dan cukup beken pada masanya. Memang tak ada pembagian kelas seperti yang saya ceritakan tadi. Namun, lingkungan pergaulan di sekolah tersebut umumnya keluarga pengusaha.
Sebagai anak yatim, dengan ibu yang bekerja sana sini, mental saya sudah kena duluan. Dalam pikiran hanyalah saya kalah kaya dan bukan siapa-siapa. Akhirnya saya memilih menjadi ‘bayang-bayang’ saja, tidak terlihat, apalagi prestasi saya tak sebaik waktu masih SD dan SMP. Bahkan saya nyaris tak naik kelas akibat kemampuan akademis terus merosot.
Mengevaluasi kondisi ketika itu, saya merasa sedemikian berpengaruhnya ‘kedudukan’ seseorang di sebuah lingkungan. Tak hanya prestasi, tetapi status sosial dan latar belakang budaya bisa membuat hati anak bisa menciut untuk unjuk diri dan kemampuan, termasuk membuka jalur komunikasi dengan orang lain.
Dulu, sepemahaman saya, kondisi itu dikenal dengan istilah krisis identitas.
Identitas yang Mendefinisikan Seseorang
Tentang analisa berikut, saya mencoba mempersingkat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Psikolog dan Edukator Beverly Daniel Tatum untuk menggambarkan kompleksitasnya identitas seseorang.
Di bawah ini adalah berbagai kemungkinan jawaban dari pertanyaan Siapa Saya? Jawabannya sangat tergantung seberapa besar lingkungan yang disiapkan oleh orang tua kita. Apa yang dikatakan orang tua, teman sebaya, guru, tetangga, orang yang kita temui di jalan? Bagaimana media mendeskripsikan kita? Termasuk Generasi apakah? Bagaimana orang memberi label kepada kita terkait logat ucapan, bahasa yang digunakan, gerak gerik, sopan santun dan kebiasaan kita?
Sepertinya jawaban dari siapa saya, ketika dituliskan tak bisa hanya dalam satu kalimat saja.
Identitas sendiri sebenarnya merujuk pada siapa kita sebagai diri sendiri dan bagian dari komunitas. Juga merujuk kepada bagaimana orang lain merespons dan memberi predikat kepada kita. Semua label dan identitas itu merupakan hasil dari interaksi kita dengan orang lain yang dekat, sehari-hari tanpa disadari.
Ketika orang-orang lain yang berinteraksi dengan kita sangat beragam, seperti usia, jenis kelamin, suku, agama, ras, latar belakang pendidikan, status sosial, beragam pula faktor yang mempengaruhi identitas kita.
Hubungan interpersonal, interaksi, respons, dan komunikasi satu sama lain sejak lahir, bertumbuh dan makin dewasa, akan sama atau berubah-ubah tergantung pemahaman seseorang akan kehidupan.
Apakah selama berproses, terjadi konflik atau malah kedekatan satu sama lain? Apakah ada peristiwa, insiden, perubahan situasi kondisi di lingkungan yang mempengaruhi bagaimana kita menempatkan diri di masyarakat? Atau menjauh dari kelompok pertemanan tertentu?
Hal yang saya uraikan barusan adalah identitas sosial. Terkait dengan bagaimana lingkungan mendefinisikan seseorang.
Sementara identitas pribadi atau personal merujuk kepada keunikan diri kita, yang tak dimiliki orang lain. Misal A bilang dia berasal keluarga XYZ, yang relijius, atau langsung menyebutkan hal-hal kesukaan.
Di lain orang, B misalnya. Dia mendefinisikan dirinya dengan menyebutkan berasal dari suku dan agama yang mayoritas, tinggal di lingkungan elit, atau bekerja di perusahaan terkenal.
Pemilihan cara mendefinisikan diri sangat personal, dan berisikan kehendak seseorang untuk menunjukkan identitas yang khas, unik dan berbeda dengan yang lain.
Karena keunikannya dan berbeda dengan orang lain, bukankah seharusnya bagaimana kita mendefinisikan diri, tidak menyebutkan hal yang relatif, bisa berubah sewaktu-waktu.
Juara bisa berganti, pemenang tak selamanya, peraih beasiswa bukanlah seumur hidup, status sosial, posisi, jabatan pun lekang selewat waktu.
Jadi …
Bisakah kita, maupun mengajarkan anak-anak mulai mendefinisikan diri dengan hal-hal positif yang dimiliki, yang bisa menyemangati, menginspirasi (mungkin) orang yang mendengarnya. Contoh, “Halo, saya Ivy yang tak henti belajar dan berusaha.”
Yuk!!!