Nakula

Catatan AMANG MAWARDI

Sesudah mengunggah konten saya yang baru ke YouTube, selain akan saya bagikan ke grup-grup komunitas yang ada di fesbuk, juga ke sejumlah  teman yang sekiranya saya anggap punya atensi terhadap channel saya. Ya, dalam rangka menarik _viewer_ channel ‘Informasi Amang Mawardi’. 

Ketika konten ‘Memburu Kusni Kasdut (Seri 3)’ 4 hari lalu saya bagikan ke salah satu teman –sebut saja Nakula– bukan komen tentang konten itu yang saya peroleh, tetapi  jawaban begini: “Saya sakit, Pak. Sudah 9 hari ini ambruk. Mohon doanya… “.

Saya terkejut. Pantas sudah lama Nakula tidak posting di salah satu WAG. Biasanya ia sering pasang status atau komen. Beda dengan saya, kecuali kalau ada yang sakit atau meninggal, baru mengetik kata-kata prihatin disertai doa insyaaAllah cepat sembuh. Atau kalau ada yang meninggal, saya panjatkan doa semoga mendapat tempat mulia di sisi Sang Khaliq. 

_”Astaghfirullah…_ Makanya sampeyan sudah lama gak muncul di WAG (saya menyebut nama komunitas). Ikut prihatin ya, Pak. Mudah-mudahan cepat sembuh… “

_Chatting_ pun selesai. 

Namun, ada rasa gelisah. Dalam hati berkecamuk, apa cukup dengan kata-kata prihatin. ‘Mengapa tidak kamu bantu temanmu yang bisa saja kena covid’, begitu suara hati saya. Maksudnya bantu uang. 

Teman saya ini seorang guru les.  Bisa Anda bayangkan, bagaimana nasib guru les di saat pandemi. Sementara istrinya usaha _mracangan_ (warung sembako) dalam omset sangat kecil di rumahnya yang sederhana. Dan Anda bisa bayangkan pula, betapa susah _mracangan_ sekarang, dikepung mini market dari segala penjuru. 

Pernah hanya untuk menghemat seribu-dua ribu rupiah, istrinya tidak ditemani masuk ke pasar untuk _kulakan_, dia jagai motornya di depan pasar. “Daripada ditarik ongkos parkir 300 rupiah, Pak,” kata Nakula.

Pandemi memang menghantam segala sektor, termasuk profesi penulis _freelance_. Delapan bulan lalu saya dapat order menulis buku yang honornya lumayan. Sebagian besar honor tersebut saya serahkan istri. “Ini untuk jatah 5 bulan ya, Buk,” kata saya. 

Setelah itu tidak ada lagi rezeki sebesar yang saya terima sebagaimana 8 bulan lalu itu. Artinya sudah 3 bulan ini saya tidak setor uang bulanan ke istri. Hanya uang kecil-kecilan dari hasil penjualan buku-buku saya secara _indie label_.

Dari 3 anak saya, salah satu di-PHK karena dampak pandemi, kira-kira 3 bulan setelah pandemi masuk ke Indonesia yang kalau tidak salah dihitung sejak awal Maret tahun kemarin. Jadi ia nganggur cukup lama. Untung awal bulan Juni lalu dapat kerja. Anak saya ini serumah dengan saya, lainnya tinggal di luar kota. 

Barangkali, itulah yang menjadikan saya cuma berhenti pada narasi ‘prihatin’, tak ada uluran apapun kepada teman saya yang sedang ambruk itu. Padahal saya cukup dekat dengannya. 

Lantas “sisi terang” dan “sisi gelap” saya bertempur. Terjadilah monolog dalam hati: ‘Meski 3 bulan kamu tak setor, toh istrimu ada pensiun, anakmu yang ter-PHK sudah kerja lagi’. Artinya, nasib saya jauh lebih baik dibanding teman saya yang guru les itu. 

Setelah merenung tidak begitu lama, kemarin saya kirim pesan WA ke anak saya yang lagi WFH  di kamar atas, “Nduk, bapak tolong pinjami 150 ribu rupiah, terus transfer ke rekening ini ya… “

Kenapa saya pinjam cuma 150 ribu, soalnya 2 hari sebelumnya saya  sudah pinjam 300 ribu untuk saudara saya yang utang dengan janji seminggu lagi dikembalikan yang katanya duit komisi iklan akan keluar. 

Sesudah magrib, anak saya japri ke saya, “sudah saya transfer ke rekening Pak Nakula, Pak, 200 ribu. Yang 50  ribu kontribusi  saya.”

Tadinya Nakula menolak-nolak,  akhirnya mau menerima uluran tangan saya. 

Begitu saya beritahu sudah transfer, Nakula mengirim pesan, “terima kasih banyak, Pak. Ini saya segera berangkat ke (ia menyebut  salah satu

perkampungan padat penduduk di  Surabaya timur). Saya barusan menerima kabar, ibu istri saya meninggal”. _Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…_

Padahal istrinya demam. Sementara kata Nakula, saat mau berangkat ke rumah mertua itu kondisi kesehatannya mulai membaik. 

“Lho, sampeyan mau naik motor ?” tulis saya di aplikasi WA. 

“Enggak, Pak. Ini saya sedang mau pesan grab (maksudnya taxi on line)… ” balas Nakula. 

Jarak rumah Nakula dengan rumah mertuanya sekitar 20 kilometer. 

Terus, kenapa saya tidak _sambat_ ke istri? _Wis bolak-balik, rek_. Maksudnya, sudah sering. Kali ini  sungkan. Atau boleh jadi: gengsi.

Avatar photo

About Amang Mawardi

Penulis dan wartawan tinggal di Surabaya