Sebelum menikah, saya menemui Ayah dan minta nasihatnya agar saya mampu membangun keluarga bahagia.
Alasan utama untuk menemui Ayah adalah agar saya makin memahami hati seorang istri. Karena, konon hati wanita itu misterius dan sulit dimengerti.
Ternyata, menurut Ayah, alasannya sangat sederhana, bagaimana kita, lelaki mau mengerti hati wanita, jika tidak belajar untuk memahaminya.
Memahami, apapun yang mau kita pahami, jika tanpa miliki semangat rendah hati adalah hal yang mustahil.
Inti nasihat Ayah adalah agar saya mengedepankan semangat rendah hati, dan jangan pernah komplain pada istri. Jika terpaksa komplain, sebaiknya dengan cara elegan, dan tanpa menyinggung perasaan pasangan.
Saya diam, mencoba mencerna dan merenungkan hal itu. Jujur, hingga saat ini, saya belum pernah melihat Ibu Ayah berselisih atau cekcok mulut. Apapun yang disajikan Ibu di atas meja makan, selalu dimakan Ayah dengan lahap.
Sekiranya masakan Ibu kurang asin, Ayah mengambil garam sendiri ke dapur. Ayah juga tidak komplain, jika lauk yang digoreng Ibu hangus. Bahkan, saat Ibu lupa membuatkan minum, Ayah membuat sendiri.
“Pekerjaan Ibu teramat banyak, Le, janganlah kita merepoti dengan masalah lagi,” jawab Ayah enteng, tanpa emosi dan pretensi.
Menurut Ayah, apa pun konflik yang timbul dalam keluarga itu berasal dari ego. Artinya, agar tidak timbul konflik, ya, ego itu harus dijauhi. Caranya, dengan belajar saling memahami. Untuk saling melihara, menjaga, dan saling mengisi satu dengan yang lain.
Dengan mengalah dan mendulukan kepentingan istri, kita jadi pribadi yang sabar dan rendah hati.
“Untuk membangun rumah tangga bahagia itu ibarat kita membangun rumah cinta, Le. Dasarnya adalah kejujuran untuk saling percaya agar
nyala api cinta itu senantiasa menyala dan menghangati keluarga.”
Saya mengiyakan. Dan nyala api cinta itu saya nyalakan dengan kesetiaan. Sebab, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, jangan diceraikan oleh manusia.
Foto : Pexels/Pixabay