“Nggak papa, aku akan cari kerja kok di sana…” jawab gadis itu, ketika aku bertanya ‘apakah segitu cukup?’ saat dia menyerahkan budget makan (living cost) selama sebulan.
“1000 yen sehari?” tanyaku sambil melihat ke daftar budgetingnya.
“1000 yen untuk makan 3x sehari? Kamu yakin..? Harga semangkok ramen saja antara 500 sampai 900 yen!” jawabku agak gusar. “Kamu cuma mau makan sehari sekali?”
“Ma… harga sandwich di sana cuma 300 yen….”
“Jadi kamu mau makan sandwich 3x sehari, selama 30 hari penuh…? Sepanjang tahun…?”
“Yeaaaah… nggak cuma sandwich lah. Tapi aneka makanan seharga itu. I want to help you. I don’t want to be a burden…”
“Denger Nesa! Kamu bukan beban bagi mama! Kamu belum pernah jadi beban bagi mama, dan karena kamu dididik dengan baik, kamu tidak akan pernah jadi beban siapapun! Mama nggak butuh dibantu olehmu, saat ini. Mama masih sehat dan kuat untuk bikin bisnis dan kasih kamu makan. Mama cuma minta sama kamu 2 hal saja…!”
Lalu kujelaskan padanya, bahwa aku cuma meminta dia :
- Menjaga nilai dia (karena dia kan dapat beasiswa dari nilainya… Jadi kalau semester berikut dia masih ingin mendapat beasiswa lagi, ya dia harus membuktikan itu dari nilai-nilainya).
- Bikin network…! (Kan katanya dia mau bekerja di Jepang setelah lulus nanti. Maka, memiliki network itu menjadi hal yang maha penting! Karena mamanya nggak akan bisa membantu apapun, untuk urusan network, di negeri orang).
Nah poin membangun network ini, bisa dicapai dengan melakukan tiga hal :
2a. Gaul
2b. Ikut kegiatan sosial
2c. Kerja.
Nah 2c itu, bekerja untuk tujuan membangun network…! Bukan bekerja untuk tujuan mencari duit.
“Artinya apa?” tanyaku.
Dia angkat bahu.
“Artinya, kalau kamu bisa mendapatkan pekerjaan di kampus, di laboratorium, di perpustakaan, magang di perusahaan, bantu profesor bikin riset, meskipun gajinya kecil : AMBIL…!”
Dia menyimak.
“Ketimbang memilih bekerja sebagai koki atau waitress, yang gaji dan tipnya besar… tapi networknya bukan ke arah profesi yang kamu tuju.”
“Fokus pada tujuanmu. Bangun strategimu di jalur tujuan itu. Jangan bertujuan ke utara, tapi strategimu mengarah ke barat. Jaka sembung itu, namanya.”
Dia ketawa, “Apa itu Jaka Sembung?”
“Jaka Sembung bawa golok. Nggak nyambung, goblok. Becandaan generasi X…”
Kami ketawa bareng…
“Kalau kamu bisa menempuh garis lurus, ya berjalanlah lurus saja. Ngapain belok-belok bermanuver kalau kamu nggak perlu melakukan manuver? Kecuali kalau mama nggak sanggup membiayai living costmu. Maka, bermanuver untuk survival, itu bisa dilakukan.”
“Tapi kamu sudah banyak membantu mama dengan cara, kamu mendapatkan beasiswa itu…! Itu sudah lebih dari cukup bagi mama.”
Mata gadis itu berkaca-kaca…
Dia mendatangi tempatku duduk, dan memelukku.
“Aku cuma nggak mau bikin mama berat…”
“Mama nggak berat sayang. Saat ini mama masih sehat. Kalau kamu mau bantu mama, nanti saja kelak, kalau mama sudah jompo dan terlalu tolol untuk berhasil menabung bagi hari tua mama…”
“Perbaiki budgetmu!”
“Budget hidup seperti apa yang menurut mama bagus?”
“Budget yang membuat badanmu sehat. Itu nomor satu. Kita ini bukan arwah gentayangan. Kita sangat tergantung pada tubuh ini sebagai ‘kendaraan’ kita di planet ini. Maka, perhatikan nutrisimu.”
“Nomor dua, budget yang membuat hatimu bahagia. Itu meliputi bisa jajan enak di saat weekend, bayar transportasi untuk keluar kota buat jalan-jalan dan, sekali lagi, untuk membangun network! Mana bisa networking kalau biaya untuk ngopi-ngopi saja nggak ada.”
“Tapi itu nanti jadi kemahalan nggak?”
“Ya biayanya harus dicari. Zaman perang dulu, strategi manusia cerdas adalah : mampu hidup ngirit dan tahan mengendalikan diri supaya bisa hidup sampai bulan depan. Itu strategi klasik yang disebut ‘mengencangkan ikat pinggang’ karena sumber daya memang terbatas di manapun pada saat itu. Tapi manusia zaman sekarang, dimana sumber daya serba melimpah… sudah lain lagi strateginya. Manusia cerdas zaman milenial : menentukan batas cukup yang nyaman bagi kesehatan tubuh, jiwa dan emosionalnya dulu…. Lalu berupaya memenuhi keperluan itu. Jadi, bukan kencangkan ikat pinggang, melainkan perbesar usaha. Kerja cerdas sekaligus kerja keras.”
“Iya, aku paham. So it is not just about surviving… right?”
“Iya. Punya mentalitas pejuang itu, bagus. Tapi akan lebih enak, kalau kamu berjuang nggak di level surviving yang serba terbatas terus-terusan, di #zaman_serba_ada kayak sekarang. Itu akan bikin kamu stress dan bisa bikin kamu julid ke orang lain yang hidupnya terlihat serba enak.”
Gadis itu mengerti.
Dia segera browsing, mencari data bagi semua biaya kebutuhan dasar yang wajar. Budget yang nggak masuk kategori foya-foya; tapi juga bukan membuat diri menderita…
Utamakan yang penting dulu fokus!
Kita hidup kan bukan bertujuan untuk menderita. Bagiku, pepatah ‘bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian’ itu… kalau bisa sih, nggak usah terjadi lah sama anakku.
Yang kuharapkan terjadi padanya adalah hidup penuh perhitungan, sederhana, tapi semua kebutuhan dasar terpenuhi dengan nyaman… dan sukses besar kemudian.
Catatan :
Kutulis dengan tujuan membagikan kiat-kiat dan nasihat oang tua bagi anaknya yang akan terjun ke dunia nyata.
Mari, ikut berbagi apa kiat dan nasihat yang pernah kau berikan ke anak-anakmu…. Atau kiat dan nasihat dari ortumu dulu, kepadamu.
Semoga tulisan KITA SEMUA bisa menjadi bekal bagi anak-anak yang tidak terlalu beruntung mendapatkan orangtua yang sempat memberikan petuah dan ‘jimat’ pemikiran….
Membutuhkan seluruh dunia untuk membangun sebuah generasi…
Membutuhkan seluruh generasi untuk membangun peradaban…
(Nana Padmosaputro)