Oleh DAHONO PRASETYO
LEBIH dari dua dasawarsa semenjak momentum Reformasi, kita sudah masif mendapat serangan Arabisasi. Berkembangnya kelompok dan ajaran anti kapitalis dengan mengembalikan fungsi penyatuan Agama dan Negara dalam skema pemerintahan, mendapatkan ruang berinteraksi sosial.
Sementara ide warisan kaum konservatif yang berusaha mempertahankan zona nyaman, menjadi prespektif “abu abu”. Menolak perubahan pada tuntutan era globalisasi, menuntun mereka pada pada polarisasi mayoritas minoritas.
Arabisasi diterima menjadi ide penyelesaian sengkarut persaingan global. Menjadi skema defence, bertahan dalam gempuran “kreatifitas” isme isme lain. Kaum malas berubah bertemu politisasi agama dalam bernegara menjadi satu paket meleburkan hegemoni kaum mayoritas.
Orba dan Arabisasi khilafah tumbuh subur di tengah suhu geopolitik Barat dan Timur dalam bersaing memenangkan penguasaan sektor ekonomi yang menjadi fundamental negara.
Tiongkok sebagai negara sekuler terkuat di Asia, paham bahwa medan pertempuran Barat Timur berpusat di Khatulistiwa. Negara dengan populasi penduduk majemuk terbesar yang rentan ter-infiltrasi bernama Indonesia.
Jika ingat pepatah : Saat dua gajah bertarung, pelanduk mati ditengah-tengah. Itulah Indonesia yang sedang bertahan di tengah medan pertarungan dengan cara membuat para gajah tidak saling bertarung. Membagi adil jatah kue dua kepentingan gajah, bukan hal yang mudah. Namun setidaknya itu yang bisa membuat mereka tidak saling gebug di negeri kita.
Belum usai dengan serangan Chinaisasi, muncul Arabisasi dalam cara bernegara. Perdagangan bebas di Indonesia mendapat perlawanan hebat dari persengkongkolan Konservatif orba dan syari’ahnya Khilafah. Mereka yang sudah lebih dulu “mencuci otak” mempersenjatai kita dengan doktrin kafir, jihad, pribumi, non pribumi untuk melawan pertarungan para kapitalis. Menyatukan aneka perjuangan kepentingan dengan menambah perbedaan egosentris, jelas sebuah kemustahilan. ***
Pertanyaannya dimanakah para kaum Nasionalis yang dulu berjasa menyatukan kemajemukan menjadi satu Indonesia? Yang pasti jumlahnya semakin berkurang. Nasionalisme yang awalnya sepakat menjadi dasar ideologi, kini harus mengalah.
Nasionalisme berubah menjadi salah satu pilihan dari beberapa ideologi baru yang muncul. Regenerasi mengalami stagnasi, kalah kreatif, atau memang sengaja dikubur pelan pelan.
Sedikit berseloroh : Kaum Nasionalis mesti punya “musuh” yang jelas. Barulah mereka bersatu hebat menghadapi musuh bersama. Celakanya mereka santai nyaman saja merasa tidak ada “musuh” dan yang terjadi mereka berantem sendiri. Mudah dipecah belah, adu domba.
Para Nasionalis yang tersisa kebanyakan memilih sekedar berceloteh, beropini, berkomentar, tapi tidak melakukan apa-apa untuk “praktek” perlawanan pada perubahan.
Cek fakta, hitung berapa jumlah sosok Nasionalis sejati yang justru anak cucunya bermutasi menjadi kaum jenggot, berdaster, jidat hitam dengan hobby menghujat negerinya sendiri.
Regenerasi sudah gagal sejak dalam keluarga sendiri. Nasionalisme dalam praktek sudah mati atau jika masih hidup hanya menjadi zombie-zombie.
Belum terlambat untuk bersatu bergerak kembali. Khilafah Arabisasi jadikan musuh utama Nasionalis penjaga NKRI. Jika itupun tidak disadari berarti benar bahwa kita sudah sama “tercuci otaknya”.
Tinggal menunggu waktu kapan Indonesia masuk dalam galian kuburan sendiri, atau benar benar mati sebagai pelanduk.