CERPEN: Natal Dari Bilik Lemari

CERPEN: Natal Dari Balik Lemari ( Foto:Meramuda)

EFFI S HIDAYAT

Kiri kanan berdesakan, dempet–dempetan. “Iih, minggiran dikit atuhEngap nih, susah napas! ” Si Kaus kuning menegur si Biru muda bergaris-garis putih. Sementara si Merah dan Jingga cuma senyum kecut mengalami hal sama.

Uhkelompok warnawarni itu cerewet sekaliBerbeda kelas dengan kami. Pikir si Hitam dan Abu yang tampil gagah di barisan depan. Sementara di pojok dalam bertumpuk kaus kaki, dan sapu tangan. Ada pula baju renang, stocking, dan baju senam. Heboh.

Di undakan  atas, bertumpuk tas berbagai merek. Di bawahnya lagi, jins dan sweater bercampur aduk. Tebal-tebal. “Aduh, kasihan. Pasti gerah betul di situ apa lagi di bagian  bawah itu kekurangan cahaya. Tak ada penerangan cukup seperti kami.” Hem putih memikirkan  teman-temannya ; piyama, daster, dan baju rumahan berada. Tidak berbeda dengan  lainnya, mereka juga saling himpit uyeluyelan.

“Ya, kita sih, jauh lebih beruntung walau  kerap tak digunakan, ” Gaun hitam menyahut. Dia menengok ke samping, hanger si Blazer digantung  tumpang tindih bersama gaun-gaun lainnya.

“Tengoklah, kami  berselimut debu! Masih lumayan si Merah itu terlindung berselubung plastik, ” Keluh kesah si gaun cokelat yang  kejepit puluhan blus dan rok.

“Ah, aku malah kepingin kayak kamu. Bebas tak ditutupi kayak di penjara gini. Bosan tau, tak diajak ke mana-mana…. ” Si gaun Merah elegan menghela napas sedih.

Ada suatu masa, dahulu. Ia menjadi primadona karena beberapa kali dalam sebulan ke luar dolan-dolan. Tidak hanya ngumpet di dalam lemari yang penuh sesak ini!

“Ha, aku rindu kita bisa keluar dari sini. “

“Iya, andai kita…, ” Si Jaket jins tiba-tiba terdiam, tak melanjutkan . “Sst, ada yang datang…. “, ia memberi instruksi kepada teman-temannya agar menutup mulut segera.

Nah, terdengar kunci lemari dibuka. Daun pintu terpentang lebar. Bukan hanya di sebelah kiri saja, tapi di kanan juga. Semua menghirup udara nyaman, tak pengap lagi. Lalu, terulur tangan-tangan  yang meraba, mengusap mereka.

Ada apa ini?

“Pilih sajalah, mana yang kau suka, ” Itu suara Maia, pemilik sang lemari.

“Aih, benarkah? Aku boleh mengambil yang aku suka? ” Terdengar suara riang Ester, sepupu Maia. Si Gaun Merah terlonjak. Ia mengenalinya dan senang sekali melihat gadis itu. Dia apik dan perhatian.

‘Pernah aku dipakainya, dan wangiku harum sekali. Disemprot minyak wangi, diberi bros cantik. Pokoknya, bersamanya aku menjadi perhatian orang. Sebelum digunakan bahkan terlebih setelah dipakainya, Ia memerlakukanku dengan hati-hati, rapi, dan penuh cinta’….

“Nah, ini dia favoritku! Boleh untukku, Mbak? “

“Hmm, seleramu memang mahal. Sebenarnya aku masih sayang…. “

Sayang? Si Gaun Merah mendelik  bersama Si Putih, dkk.” Kalau sayang mengapa kami diperlakukan seperti ini? Tak dilipat rapi, disetrika licin, dan diberi ruang memadai tak saling tindih bertumpukan hingga kesulitan bernapas?  ” Itu bukan sayang namanya, jika tak kau pelihara kami dengan baik…. “

“Ayo, Ester. Kata-mu mau merapikan isi lemariku. Sudah waktunya aku mengurangi koleksiku. Hampir dua tahun selama pandemi tak ke mana-mana, rasanya aku jadi mikir, buat apa baju-baju yang kubeli selama ini? ” Maia menghela napas panjang. Ia mengeluarkan beberapa kaus, lalu jins, lalu jaket, lalu…. lalu….

Nah, nah! Gaun Merah cs senang sekali. Mereka bisa merasakan sejuknya lantai yang dingin. Udara bebas yang tak bikin engap. Pengap. Duh, kaus-kaus kaki ramai  koprol bergulingan; sengaja menjatuhkan diri saking senangnya!

Eits, hati-hati, Mbak. Jangan main seradak-seruduk gitu. Kau harus memerlakukan mereka dengan rasa hormat.”

” Ha? “

“Ya, bukankah selama ini mereka sudah melindungi kita dari panas dan dingin cuaca? Sudah bikin kita cantik? Jadi, kita pun harus menyayangi dan menghargai mereka, ” Tak main-main dengan ucapannya, Ester gesit mengeluarkan, membopong kami, bahkan mengelus, membelai, dan…mencium sayang.

Lalu, katanya lagi, ” Baju koleksimu terlalu banyak. Apakah kau tidak berkeberatan jika menyumbangkan yang tak lagi terpakai untuk mereka yang membutuhkan? Lihat, ini… baunya sudah berubah. Kasihan, ” tuturnya membelai sweater pink yang telah bertahun tak tersentuh sehingga terlihat agak lusuh. Duh.

“Diberikan kepada siapa? ” Maia mengernyitkan alis. Kan, sayang juga. Baju-baju koleksinya selama ini tidak murah. Lumayan menguras koceknya.

“Natal kali ini aku rencana pergi ke panti asuhan. Baju-baju ini bisa kita sumbangkan ke sana, Mbak…. Lemarimu nanti dijamin bakal rapi-jali, deh. “

“Hmm,” Maia berpikir keras. Akhirnya….”Ya,boleh, bolehlah…, ” Tak terduga Maia menyambut baik. Dia sendiri tak mengerti. Apa sudah kena hipnotis sang sepupu? Dan, seharian itu dia belajar menata isi lemarinya.

Kata Ester, ” Lebih baik gunakan saja pakaian yang  benar-benar  kita suka. Daripada numpuk tak terpakai, donasikan agar tercipta ruang lapang di lemari dan hati. “

Ruang lega di hati! Aha, Maia tersenyum puas dengan kerja kerasnya. Betapa, oh, betapa hoarder-nya dia selama ini! Baju-baju yang tak digunakan entah sudah berapa lama, kenapa baru sekarang dia menyadarinya?

Ah, tak ada kata terlambat. Ester benar! Melihat isi lemari yang rapi dengan sedikit busana yang hanya perlu digunakan saja, bikin isi kepala dan juga hatinya tak ruwet lagi. Maia merasa lebih rileks.

Apalagi si Merah, dkk! Oh, mereka bahagia sekali.’ Terima kasih Ester dan juga Maia, sudah membuat kami berdaya guna lagi. Kami tak akan kesepian di dalam lemari yang pengap . Tak saling tumpang tindih, tak tersusun, berantakan semaunya’.

Lihat. Lihat-lah anak remaja itu! Dia girang sekali mendapat kaus polo dan burberry yang telah lama diidam-idamkannya. Juga temannya, yang mendapatkan jaket cokelat dan sweater. Ada juga blazer biru laut, wow, keren!

Dan, si Batik hijau bersama setelan rok berbunga kuning itu didekap bahagia oleh anak yang bernama Salma. Ia mencintai batik dan gaun ini. Sungguh cantik nian di matanya!

“Aih, rasanya hangat bersama orang yang menyayangi dan menghargai kita. Pasti mereka akan memelihara dan menjaga baik-baik kita semua, ” bisik lirih si Batik hijau. ” Selamat Natal, damai di bumi, damai di hati…. “

“Terima kasih, Ester. Terima kasih semua pakaianku. Maaf telah menelantarkan kalian semua selama ini. Semoga gembira bersama pemilik barumu…, ” dengan menyesal dan perasaan malu tergerus haru, Maia menatap kebahagiaan di sekitarnya dengan mata bening berkaca.

Natal kali ini berbeda. Ia tak hanya belajar berbenah seisi lemarinya. Tetapi juga belajar merawat, menghargai benda miliknya. Termasuk busana yang selama ini cuma ditumpuknya sepi sendiri di dalam lemari, tak digunakan….

Walau pun kini status mereka ‘hanya’ baju bekas, tetapi tetap memiliki makna. Maia menatap haru si bolero Batik hijau yang dia ingat dikenakannya dengan sumringah saat dia ulang tahun ke 16. Mama tercinta yang menjahit untuknya.

Lalu, sweater oleh-oleh Oma dari Beijing, dan syal dari Hongkong. Dan, itu… si kaus Nike kerap dipakai dengan bangga saat berolah raga. Bahkan, hangout bareng teman SMA-nya . …

Ah, sejuta cerita lama busana, tak akan menutup cerita. Mereka akan menjalin cerita baru lagi bersama pemiliknya yang sekarang. Maia ikhlas melepas mereka semua.

Toh, seperti kata Ester, “Simpan dan pakailah hanya pakaian yang benar-benar kita sukai. Belajar melepaskan segala sesuatu agar hidupmu ringan. Dan, berbagi dengan tulus suka cita. “

Natal kali ini adalah Natal terbaik yang pernah dialami Maia….

#251221, Selamat Natal. Damai sejahtera suka cita bagi semua makhluk dan segenap isi bumi.

LAINNYA

CERPEN : Nurani

SATU CERPEN DUA KARAKTER

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang