Waktu itu umur kami mungkin 11-12 tahun (orang ramai menggunakan 11-12 untuk menyatakan: mirip atau sama saja). Aku dan temanku memang nakal dan kerap menyerempet-nyerempet bahaya kata orangtua kami. Tapi bagiku sih biasa saja.
Rumahku di tepi jalan kecil, biasa kami sebut gang. Beberapa rumah dari jalan besar. Jika ke kiri Ciputat, ke kanan, pasar Kebayoran Lama.
Kami, aku dan temanku suka ndompleng di belakang mobil bak yang kosong setelah membawa pasir, batu bata atau triplex. Mobil bak itu milik toko bangunan. Jika sopirnya baik, ketika ndompleng, jika hendak turun, kami memukul-mukul bak mobil. Setelah mobil melambat, kami melompat.
Suatu ketika, aku dan temanku bernasib sial. Mendompleng mobil yang sopirnya agak nakal, atau mungkin malah jahat. Ketika minta turun dengan memukul-mukul bak, mobil tak kunjung melambat. Padahal sopirnya tahu jika kami ndompleng. Akhirnya kami nekad melompat. Hasilnya? Lututku bonyok, dagu berdarah. Temanku,…bibirnya jontor. Gigi sempal. Kami cuma bisa mengumput-umpat. Sementara mobil yang didomplengi terus melesat.
Menurut KBBI, kata ndompleng atau mendompleng berarti: ikut bertempat tinggal, makan, duduk, naik mobil, dan sebagainya dengan cuma-cuma. Tapi menurutku, kata ndompleng punya arti lebih beragam lagi. Jika seseorang atau suatu fihak mengikuti seseorang atau sesuatu yang sudah ‘jadi’ apalagi terkenal kita akan menyebut: ndompleng.
Anak Jakarta juga menyebut kata lain dari ndompleng (yang juga singkat dan enak didengar), yaitu: nebeng (‘e’-nya dibaca seperti mengeja ‘obeng’).
Orang Minang -dan Melayu pada umumnya- pun punya istilah yang ‘lebih nyastra’ (haha), yaitu: manumpang anyuik. Manumpang anyuik (menumpang hanyut) secara harafiah berarti segala sesuatu yang mengapung (biasanya sampah) di sebatang sungai yang sedang mengalir deras. Dalam arti lebih luas, yaa mirip-mirip ndompleng itu. Yaitu mengikuti saja apa yang sedang berlangsung. Boleh dibilang tanpa usaha yang berarti. Atau tanpa usaha sama-sekali, tapi ‘berhasil’ sampai kepada tujuan yang diinginkan.
Seperti kita tahu, SCBD adalah singkatan dari Sudirman Central Business District. Gedung-gedung perkantoran yang menempati lahan sekitar 20-25 hektar. Lalu ada fenomena menarik.
Remaja Sekitar Citayam Bogor dan Depok, jika hendak beraktifitas, bekerja dan sebagainya, mereka biasanya menggunakan moda transportasi umum. Kerumunan remaja dari pinggiran selatan Jakarta itu terkonsentrasi di sekitar stasiun Sudirman. Seperti galibnya remaja, jika ingin menarik perhatian lawan jenisnya (sesungguhnya tak cuma remaja), maka akan berpenampilan seatraktif mungkin. Mereka bergaya habis dengan pilihan selera berbusana masing-masing.
Kemudian, entah dimulai dari mana, atau siapa yang melontarkan. Aktifitas kerumunan atau interaksi di antara mereka, lalu bergulir begitu saja, ditambah keahlian orang Indonesia yang memang terkenal ahli menguthak-athik singkatan, maka kerumunan itu disebut SCBD (Sudirman Citayam Bogor Depok).
Lalu,…eng-ing-eng…banyaklah fihak yang berebut ingin ndompleng atau ‘manumpang anyuik’ kepada fenomena itu. Bahkan sampai ada yang mendaftarkan dan mematenkan. Entah sudah dipatenkan atau belum, entah apa nama lembaga yang mempatenkan itu, tapi akhirnya tak jadi. Beberapa hari kemudian ada berita bahwa seorang pejabat menegur orang yang akan mempatenkan. Adakah tak jadi mempatenkan itu karena teguran sang pejabat? Entahlah.
Yang melahirkan berbagai pertanyaan adalah. Apa yang mau dipatenkan? Sebagai merk dagang? Jika hak paten itu dibuatkan sertifikat, bagaimana kira-kira bunyi redaksinya? Bisakah sebuah fenomena dipatenkan? Nanti jika ada orang yang memakai fenomena itu sebagai judul, harus membayar atau meminta izin? Bisakah fenomena menjadi hak paten seseorang, apalagi fenomena itu bukan digagas oleh pemohon hak paten?
Aku jadi ingat peristiwa beberapa waktu lalu. Ketika itu ada seseorang atau suatu fihak mendaftarkan kata: ‘mendoan’ sebagai merk dagang.
Mendoan adalah tempe tipis, digoreng nyemek-nyemek nan lezat itu, apalagi ditambah rawit, atau ada yang mencocolnya dengan bumbu kacang pedas,…wuiiih. Nah, jika hendak memakai kata ‘mendoan’ orang atau fihak lain harus membayar atau paling tidak meminta izin kepada sang ‘pemilik hak paten mendoan’. Hlaaa,…permohonan konyol dan tak nasuk akal seperti itu kok yaa,…diberikan, disetujui oleh Pemda! Entah apa yang ada di dalam fikiran staf pemda.
Konon ketika itu, masyarakat Jawa-ngapak-ngapak: Banyumas, Purwokerto, Tegal, Pemalang, Purbalingga, Brebes, Cilacap dan sekitarnya, marah besar (ya karuuuan). Lalu,…konon hak paten itu tak jadi dikeluarkan. Lalu berita itu menguap.
Hlaa,…nanti jika ada seseorang atau suatu fihak mendaftarkan hak paten sebagai merk dagang, diberikan. Terus jika ada fihak lain ingin menggunakan kata itu, izin dulu kepada sang pemilik hak paten untuk kata: rendang, asinan, soto atau tahu gejrot,…hlaaa piyeee?
Beberapa waktu lalu, juga ada berita lucu. Seorang artis, mendaftarkan hak paten untuk kata pusing. Menurut sang artis, bukan kata pusingnya yang dipatenkan sebagai miliknya, melainkan cara mengatakannya. Yaitu:…”Pusssiiing…!” Dengan lantang, sengit dan telapak tangan ditemplokkan di kening. Untunglah tak jadi dipatenkan. Sebab kalau jadi dipatenkan,…bolehjadi jika kita pusing,…jika ingin berkata pusing dan meletakkan telapak tangan di kening, harus tengak-tengok kiri-kanan dulu,…siapa tahu ada mata-mata sang artis.
Ada sebagian anggota masyarakat yang memang mempunyai gagasan orisinal nan fenomenal. Tapi sebagian lagi…SCBD (Sanggupnya Cuma Berperilaku nDompleng)…
Aries Tanjung