Negara Agama Menurut Farag Fouda (1945 – 1992)

FARAG FOUDA

Oleh HERMAN WIJAYA

Beberapa negara di dunia menempatkan agama sebagai dasar untuk menjalankan pemerintahan. Hukum berdasar agama diberlakukan. Kini ada kelompok-kelompok masyarakat di berbagai negara yang ingin menggantikan demokrasi ke dalam pemerintahan berdasarkan agama. Salah satunya yang baru menyatakan kembali ke Hukum Agama adalah Afghanistan, setelah Taliban berhasil merebut kekuasaan, setelah Amerika menarik diri dari invasi 20 tahun yang sia-sia. 

Cendekiawan Mesir Farag Fouda, 40 tahun lalu sudah mengecam semangat kaum yang ingin mendirikan negara agama. Berikut pendapat Farag Fouda, yang dimasukan ke dalam buku “Kebenaran yang Hilang” karyanya. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, pada 30 Juni 2008. 

Berikut salah satu hasil buah pikirannya. 

Satu-satunya kendala terbesar bagi para pendukung negara agama adalah, mereka sadar betul bahwa mereka  sedang menutup diri dari inovasi dan iklim yang terbuka yang memanjakan insting dan ijtihad akal budi. 

Setiap  sesuatu yang dihidupi dan diterima oleh masyarakat dengan sewajarnya, selalu tidak dapat diterima oleh  standar-standar negara agama. 

Lagu dilarang, alatlat-alat musik (kecuali yang dibuat dari kulit binatang) dicekal, penyanyi, pengiring, dan semua yang terlibat di dalamnya dikutuk. Orang yang melantunkan selain zikir dan pujian untuk Nabi dianggap fasik, melenakan dari mengingat Allah, dan mengajak ke dalam nista. 

Aktivitas olahraga perempuan petaka, dan selalu akan mengundang petaka. Percampuran mereka dengan kaum laki-laki adalah kefasikan yang terang-terbuka. Drama tercela, karena ia adalah kebohongan. Melukis gambar makhluk hidup haram, mengoleksi atau membuat patung bagian dari syirik. 

Demokrasi harus ditolak, karena mengandalkan  pemrrintahan oleh manusia, bukan pemerintahan oleh Tuhan. 
Memperlakukan kaum zimmi secara setara, paling kurang dianggap: tercela, kalau bukan perbuatan hina. 

Memberi kesempatan karir tertinggi kepada mereka dianggap  melanggar sesuatu yang sudah prinsipil di dalam agama.  Tidak ada jabatan karir buat perempuan, juga bagi kaum zimmi.
Singkat kata, mereka harus menghancurkan, bertindak seriena-mena, melarang segala sesuatu. Negara mereka dirikan di atas puing segala sesuatu. Tentu perbinicangan tentang kebebasan berpikir teramat mewah dan kesia-sian belaka. 

Mengakui perlunya kebebasan berkeyakinan, adalah bahan tertawaan. Membayangkan kebangkita seni dan sastra pastilah mimpi di siang bolong.  Negara tidak bisa berkompromi dengan kenyataan, dan kenyataan pun tidak dapat berkompromi dengannya. 

Mungkin inilah salah satu rahasia mengapa para pendukungnya tidak pernah mampu mengembangkan agenda politik yang terencana; yang mengandung kadar retorika dan kalimat bersayap yang paling minimal,  dengan gambaran kenyataan dan bagaimana cara hidup di dalamnya dalam kadar yang maksimal. Tentu, di dalam agenda itu, kita berharap hendaknya juga ada sedikit ruang untuk menghargai akal pikiran, bahkan perasaan insani kita. 

Farag Foda lahir di Kairo, 20 Agustus 1945.  Ia adalah seorang pemikir berpengaruh, aktivis hak asasi manusia, penulis, dan kolumnis Mesir.  

Ia adalah doktor di bidang ekonomi. pertanian. la juga pernah berafiliasi dengan partai politik, seperti Partai ‘Wafd dan Partai Istiqlal. Tetapi, ia lebih dikenal sebagai pemikir, penggiat hak asasi manusia, dan komentator sosial. 

Pada 8 Juni 1992, Farag Fouda Guga sering ditulis Faraj Faudah/Fuda, termasuk dalam edisi terjemahan Indonesia ini) ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo. Seorang anaknya dan beberapa orang lain terluka parah dalam insiden yang sama. Ia dibunuh dua penyerang bertopeng dari kelompok Jamaah Islamiyah  3(Gamaa Islamiyya). 

Beberapa hari sebelum dibunuh, tanggal 3 Juni, sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar mengeluarkan pernyataan bahwa Fouda, berdasarkan pikiran dan tulisannya, telah menghujat agama dan karenanya keluar dari Islam. Ini berarti, ia adalah musuh Islam dan halal darahnya. Di sini, labelisasi halal berarti boleh dibunuh. Sebelumnya, kelompok ulama yang sama menerbitkan daftar nama-nama orang yang memusuhi Islam dan Fouda berada di urutan pertama. Para pembunuhnya bertolak  dari dua dokumen ini. *

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer