Nenek Tahu Yang Terbaik

Seandainya tak jadi “tukang gambar”, boleh jadi aku akan jadi “tukang masak”. Bukan karena aku sering masak, melainkan karena merasa ge-er bahwa masakanku:… layak santap, haha. Paling tidak untuk lidahku sendiri. Meski setiap selesai ngoprak-ngoprek, klonthang-klontheng, gdubrak-gdabruk… dapur hampir selalu berantakan. Lantai licin berminyak-minyak. Serpihan kulit bawang berserak, tangkai rawit dan cipratan bumbu instan belepotan di sekujur dapur atau kompor.

“Ah, ukuran enak kalok tolok ukurnya Ayah sih, nggak bakalan gathuk,” kata gadis bungsuku. “Karena, bagi Ayah, makanan itu tak ada yang tak enak. Adanya enak dan… enak banget.”

“Eh… tapi inget nggak waktu kalian (Si Adek dan Kakaknya) kecil? Kalok bosen dengan makanam buatan Ibu, kalian minta Ayah buatkan nasi goreng? Sampai-sampai kalian punya istilah: Nasi Goreng Ayah.”

Sebetulnya, Nasi Goreng Ayah itu boleh jadi rasanya biasa saja. Tapi cuisine bourgeoise (hahaha… bahasa Prancis yang artinya sih: masakan klasik, nasi goreng itu masakan klasik bukan?) adalah “paket komplet”. Sensasi dan keseruan karena boleh ikut merecoki dan membuat dapur berantakan itulah, aku rasa, yang membuat masakan jadi enak.

Ketika kita menonton tayangan kuliner, tentu daya tariknya bukan kepada rasa (karena tak bisa merasakan), melainkan tontonan, atraksi.

Di rumah, sejak dulu sudah “telanjur” bahwa dapur adalah wilayah ibu kita, atau wilayah perempuan. Jika ada anak lelaki nongkrong di dapur, maka ada komentar dari ibu (mengusir tepatnya): “Anak lelaki kok di dapur. Pergi main bola sana!”

Tapi, ironisnya, dari beberapa tayangan tentang kuliner di TV, didominasi oleh lelaki. Aku sebut beberapa host yang aku ingat.

Mulai dari Rudy Choirudin, awal-awal di RCTI. Gordon Ramsay, berkebangsaan Inggris, chef yang mengakui “bersyukur” karena gagal jadi pemain bola. Sekarang ia memiliki belasan restoran di kota-kota besar dunia. Jamie Oliver, chef Inggris yang menanam sendiri sayur-sayuran yang akan dimasaknya. Tonny Bordain, lelaki Prancis warga New York, chef ganteng yang tak ragu blusukan dan pernah menikmati makanan murah di pelosok Jakarta, idola istriku.

Kiran Jethwa Lelaki macho berayah India, beribu Inggris, yang tinggal dan punya restoran di Uganda. Peter Kuruvita. Chef berayah Srilangka, beribu Inggris, yang tinggal dan punya restoran di Australia. Martin Yan, chef yang sempat terkenal dengan “Yan can cook”. Acaranya adalah parodi dari Wok wit Yan, yang lebih dulu terkenal. Luke Nguyen, chef kelahiran Vietnam yang tinggal dan punya restoran di Australia. Shane Delia, chef Turki, bertubuh atletis, dengan lengan bertatoo. Semua yang aku sebut itu lelaki.

Hanya tiga perempuan yang aku ingat menjadi host, yaitu: Farah Quinn (entah mengapa, setelah berpisah dengan suaminya, Quinn masih ada di belakang nama Farah). Ili siapa gitu (nama belakangnya aku tak ingat, dari Malaysia). Lalu ,Ririn Marinka.

Ironisnya juga, hampir semua lelaki host di TV itu, ketika ditanya siapa yang pertama kali mengajari masak, jawaban mereka: Ibu.

Sekarang-sekarang ini, aku dan istri lagi suka nonton: Granny Knows Best.

Tentang seorang chef berkebangsaan Inggris bernama Jamie Bilbow. Jamie sangat ramah dan menyenangkan. Seperti judulnya, dia selalu menyambangi wilayah pedesaan di China yang tampak hijau, beriklim sejuk, di dataran tinggi nan asri. Di sebuah desa sepi, karena ditinggal oleh kaum mudanya untuk merantau ke kota.

Jamie, sangat terasa bahwa dia menarik hati para perempuan sepuh yang rata-rata berusia kepala 8, masih sehat dan mengajarinya memasak. Menurutku, salah-satu hal yang membuatnya seperti disukai bahkan disayang oleh para perempuan sepuh itu adalah… karena Jamie sangat lancar berbahasa China.

Jamie Bilbow memang serius mempelajari bahasa, budaya China dan memasak. Dari Inggris, dia merantau ke Hongkong. Setelah merasa bahasa China-nya semakin lancar dan cukup berpengalaman, dia bahkan berani menjadi instruktur di Korea Utara.

Di kota Beijing-lah hatinya tertambat. Di sini dia menetap dan memiliki restoran. Dia semakin terkenal setelah menjadi host di TV Cihna. Tapi, yang paling terkenal, mendunia dan paling disukainya adalah: Granny Knows Best.

Banyak iklan rumah makan yang menonjolkan bahwa suasana di rumah makan itu menyenangkan atau anak milenial menyebutnya cozy. Ada yang menonjolkan bahwa pelayannya ramah. Tempatnya nyaman, bersih, pemandangannya indah, dll, dst, dsbg.

Tapi, sesungguhnya, rumah makan merupakan bisnis menjual rasa. Senyaman apa pun tempatnya, jika masakannya tak enak, yaaa… jangan harap orang akan kembali lagi.

Coba iseng-iseng hitung, berapa banyak warung yang dunsanak cintai, nikmati dan kangeni karena rasa masakannya, meski warungnya terletak di tepi jalan bahkan lorong sempit. Yang ketika menyantap kita was-was karena kuatir diserempet angkot?

Aku pernah diajak seorang teman, makan di warung seperti itu. Boleh jadi warung itu punya dua gelar sekaligus, yaitu salah-satu warung soto paling enak dan paling berbahaya! Haha…