Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane hari ini telah kembali ke haribaan Sang Pemilik Kehidupan. Banyak kenangan yang ditinggalkan almarhum di mata jurnalis Seide, Herman Wijaya dan Dimas Supriyanto. Untuk mengenang kebaikan almarhum sebagai sahabat, seide akan menurun beberapa tulisan bersambung, mengenai sosok almarhum.
Para petinggi di kepolisian maupun kalangan wartawan olahraga dan hukum, rasanya tidak ada yang tidak mengenal nama Neta S. Pane. Yang pertama, Neta S Pane adalah Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) lembaga nirlaba pemantau kinerja kepolisian, yang sangat tajam kritik-kritiknya terhadap institusi berbaju coklat itu. Kedua, di kalangan wartawan hukum, Neta adalah narasumber yang pernyataan-pernyataannya gurih, layak jual. Itu bagi kalangan wartawan yang masih aktif, bagi kalangan wartawan hukum warakawuri (sudah bebas tugas) Neta adalah teman seprofesi. Sebelum memutuskan focus mengelola IPW, Neta adalah seorang wartawan. Dia pernah meliput dunia hiburan, olahraga dan hukum.
Sampai hari-hari terkahir hidupnya, Neta masih sangat dekat dengan kalangan wartawan yunior maupun senior. Tempat perhentian Neta sebelum pulang ke rumah bila keliling-keliling Jakarta, adalah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Kandang Ayam”, sebuah kantor tak resmi yang menempati sebuah pavilion di Kompleks Dosen UI, Jalan Daksinapati Raya, Rawamangun, Jakarta Timur.
Di Kandang Ayam, selain untuk beristirahat, Neta juga kerap menerima wartawan yang ingin mewawancarainya, bertemu kolega, mengerjakan siaran pers yang akan dikirim atau sekedar berbincang-bincang dengan penghuni maupun tamu-tamu yang datang. Bahkan hari ulangtahunnya yang jatuh pada tanggal 18 Agustus – ia lahir tahun 1964 dirayakan di Kandang Ayam. Tuan rumah, Yoseph Erwiyantoto atau biasa dipanggil Mbah Cocomeo biasanya dengan sigap memesan makanan dan minuman untuk tamu-tamu yang datang.
Setidaknya ada dua hal yang ditunjukkan pada moment itu, yakni betapa luasnya pergaulan Neta S. Pane, dan betapa dermawan hatinya. Selama ini Neta memang tak pernah segan-segan merogoh kocek, bila sedang makan bersama di rumah makan atau di warung tenda. Biasanya dia mengajak penghuni Kandang Ayam makan di Warung Solo, Rumah Makan Sederhana atau Sop Betawi Tiga Saudara di depan Terminal Rawamangun yang menjadi favoritnya.
Meskipun namanya cukup besar, Neta tidak pernah membeda-bedakan seseorang dalam pergaulan. Siapapun diterimanya dengan senang hati. Padahal dia dengan mudah untuk bertemu dengan seorang Menkopolhukam Mahfud MD, Ketua KPK Firli Basuri, Ketua BIN Budi Gunawan atau banyak petinggi militer dan kepolisian lainnya. Tetapi di Kandang Ayam, dia tidak pernah menunjukkan dirinya hebat. Dia tidur di kursi panjang bila mengantuk, dan minum kopi yang sama dengan penghuni Kandang Ayam lainnya. Yang menunjukkan dia berbeda adalah: sepatu mahalnya (Hermes) yang tidak pernah dibuka bila datang ke Kandang Ayam, dan mengisap cerutu.
Mengisap cerutu adalah salah satu kegemarannya selain makan enak. Demi cerutu pula ia bisa sampai ke pabriknya di Havana, Cuba, atau pasar cerutu terkenal di Spanyol. Namun jangan salah, bagi Neta cerutu bukan soal kegemaran atau gaya hidup, tetapi juga bisnis. Di luar kiprahnya sebagai Ketua LSM pemantau kinerja kepolisian, Neta diam-diam juga berbisnis cerutu. Langganannya adalah kalangan The Haves dan pejabat-pejabat tinggi di negeri ini. Dia hapal siapa saja pejabat penyuka cerutu, bahkan cerutu-cerutu berharga 5 juta / batang.
Selama pandemic corana ini diakui bisnis cerutunya agak berkurang, karena stok yang dimilikinya tinggal sedikit. Itu pun sebagian dihisap sendiri. Belum lagi yang dibagi-bagikan kepada sahabat-sahabatnya. Walau pun berharga mahal, Neta tak pernah segan-segan menawarkan cerutu kepada teman-temannya….
Sebagai Ketua IPW Neta dikenal berani. Dia tak segan-segan mengkritik korps baju coklat maupun petingginya bila ada hal-hal yang dirasa kurang patut. Banyak pernyataan-pernyataan yang dibuat Neta pada gilirannya terbukti. Salah satunya adalah ketika ia mengungkapkan skandal red notice yang dikeluarkan Interpol untuk buronon kepolisian Joko Tjandra. Pernyataan Neta terbukti. Joko Tjandra ditangkap, dua orang Jenderal di Kepolisian yang terlibat dalam penerbitan red notice itu kemudian dicopot.
Terhadap kawan, dia adalah lelaki setia yang berani pasang badang untuk membela. Dia juga banyak menolong orang yang menghadapi kesusahan karena terjerat kasus di kepolisian. Apakah dengan begitu dia menjadi musuh kepolisian? Ternyata tidak, banyak jenderal-jenderal kepolisian yang menjadi sahabatnya. (Bersambung)