Ni Luh Wiarsi seorang anak perempuan unting-unting, artinya anak perempuan tunggal. Ia anak yatim piatu, karena Meme dan bapaknya telah lama mati sejak ia berusia 10 tahun.
Ia tinggal bersama orang kaya bernama Bagus Diarsa. Walaupun ia bukan anak saudara, tapi perhatiannya kepada anak-anak miskin, terutama yang yatim piatu sangat besar.
Meme Bagus Diarsa sangat menyayangi Ni Luh. Sejak tinggal bersama keluarganya, ia telah dianggap sebagai anak perempuannya sendiri.
“Ni Luh Wiarsi, tengoklah tanaman gude di kebun kita dan ambillah beberapa yang masih muda untuk dimasak sayur lodeh hari ini,” kata Meme Diarsa.
“Iya Me, Ni Luh mau ke kebun memetik buah gude,” kata Ni Luh Wiiarsi.
Pagi itu hari sangat cerah. Matahari bersinar meriah. Burung-burung berkicau saling bersahut-sahutan.
Dengan membawa cething bambu Ni Luh pergi ke kebun. Ia mulai memetik sayuran gude. Ketika cething-nya hampir penuh, ia mendengar suara merintih dari kolam sebelah kebunnya. Kolam itu juga masih milik Bagus Diarsa.
“Tolong, tolong! perutku sakit!”
Ni Luh modekati suara dari kolam itu dan bertanya.
“Siapakah kamu?”
“Aku seekor kerang yang hina. Mungkin banyak salahku sehingga aku menderita sakit seperti ini. Perutku sakit sekali.”
“Lalu apa yang dapat kubantu?” tanya Ni Luh Wiarsi.
“Bukalah tutup kerangku ini!” katanya.
“Tidak! Aku tidak mau membunuhmu!” kata Ni Luh.
“Sudahlah jangan terlalu banyak pikiran aku sudah tak kuat menderita sakit seperti ini”.
Ni Luh tetap bersikeras tak mau membuka tutup kerang itu, sehingga akhirnya si kerang yang menderita itu mati dengan sendirinya.
“Kasihan sekali nasibmu. Maafkan aku yang tak bisa menolongmu,” kata Ni Luh dalam hati sambil menitikkan airmata.
Ketika ia hendak pulang, kata-kata kerang yang malang itu tak bisa ia lupakan.
“Tolonglah aku! Bukalah tutup kerangku!” Kata-kata itu selalu menghantui pikirannya, sehingga ia memutuskan untuk menghampiri jasad kerang yang malang itu. Ia ingin tahu penyebab rasa sakit dalam perut kerang itu.
Ia kaget, ketika tutup kerang itu dibuka. Ia mendapati sebuah luka dalam perut kerang itu, dan terdapat sebuah benda bercahaya.
“Hai, inikah yang dinamakan sebuah mutiara?” tanya Ni Luh dalam hati. Ia lalu mengambil mutiara yang indah itu dari dalam perut kerang, sedangkan jasad si kerang ditanam di tepi kolam milik Bagus Diarsa.
Ni Luh menyimpan mutiara itu di dalam kamarnya sebelum ia membawa sayuran gude dapur.
“Ni Luh, agak lama kau memetik gude di kebun?” tanya Meme Diarsa.
“Iya, Me. Sekalian Ni Luh memeriksa pohon-pohon gude lainnya. Siapa tahu beberapa hari lagi sudah ada buahnya yang bisa dipetik.
Siang itu Ni Luh dan Memenya memasak dan menyiapkan makanan untuk Bagus Diarsa. Ketika waktu makan siang telah tiba mereka makan dengan lahapnya.
“Ni Luh, jika kelak waktunya telah tiba, kau harus berpisah dengan kami. Apakah kiranya yang bisa kami berikan kepadamu?” tanya Bagus Diarsa.
“Ni Luh hanya minta doa restu dan nasihat bijak saja,” katanya.
Sungguh mulia hidupmu, Ni Luh. Jika kamu mau, Meme hendak memberikan sebidang tanah di tepi kolam dekat kebun kita,” kata Meme Bagus Diarsa.
“Oh, terima kasih sekali, Me”.
Ketika Ni Luh telah bersuami dan berpisah dengan keluarga Bagus Diarsa, ia beserta suaminya menempati kebun hadiah Memenya. Ia dan suaminya membangun rumah dari hasil penjualan mutiara, dan hasil kerja keras mereka.
Sebagai tanda terima kasihnya kepada si kerang, Ni Luh membuat taman bunga di sekitar tempat ia menanam jasad kerang itu. Dari taman buatannya itu telah tumbuh beraneka ragam bunga yang mekar setiap pagi dan bertabur wangi sepanjang hari. Ni Luh Wiarsi dan suaminya hidup tentram, damai dan bahagia.
*
(Cerita ini hanya dongeng. Baik sekali untuk anak-anak, karena memberikan pelajaran, bahwa orang yang sabar, rajin, bekerja ikhlas, lahir dan batin bakal menemui jalan lapang. Hidup tentram, damai dan bahagia)
Keterangan
Luh= panggilan anak perempuan pertama.
Meme= ibu.
Sumber lukisan dari jaringan.
/ 28 November 2022
Elisabeth Philip, Tokoh Pembangkit Ekonomi Warga Desa Tlogoweru Demak