Nia Ramadhani antara Eksploitasi dan Eksplorasi

Pasangan yang nyaris sempurna yang terjebak narkoba. Foto instagram

Oleh SUNARDIAN WIRODONO*

Mengapa Nia Ramadhani menghisap sabu? Bisa jadi karena stress karena tak bisa mengupas buah salak. Sungguh bisa dimengerti. Mungkin akan bertambah tingkat stressnya, jika disuruh membuktikan, sebenarnya ada berapa sisik dalam susunan kulit pembungkus salak itu? Mungkin masih lebih mudah tebak-tebakan biji salak, ganjil apa genap.

Kita mesti memaklumi hal itu sebagai penderitaan yang luar biasa. Sebagaimana Ardi Bakrie, suaminya. Meski anak orang kaya, Aburizal Bakrie, Ardi tidak dilarang stress. Apalagi ketika bisnisnya terganggu pandemi Covid-19, yang bikin runyam semuanya. Kalau yang runyam cuma orang lain, mungkin tak seberapa. Tapi bagaimana kalau ia, yang punya deposito bisa beranak-pinak duit, juga kena? Bukankah aliran depositonya akan terganggu?

Dulu pada awal pandemi, kita tahu yang dialami taipan Michael Bambang Hartono, orang terkaya di Indonesia (bersama adiknya Robert Budi Hartono). Pada awalnya ia mengalami kerugian sekitar Rp23trilyun. Tak sampai satu kwartal, lagi-lagi mengalami kerugian sebesar Rp34trilyun.

Bedanya, Bambang Hartono tidak ngisep sabu. Dia main bridge. Ketika sebagai atlet Asian Games 2018, dan berhasil peraih medali perunggu dari cabor bridge, ia mendapat bonus Rp250juta dari Pemerintah Indonesia, sebagai bentuk apresiasi. Apalagi ia atlet Indonesia tertua waktu itu, dengan usia 79 tahun.

Pemilik saham majoritas BCA itu, tertawa saja ketika bonus diberikan dalam rekening bank BRI. Tidak masalah. Tidak menjadi beban. Tidak stress. Sebagaimana ia juga tidak akan stress mengupas buah salak. Karena meski dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia, 11 tahun berturut hingga 2021 ini, ia suka jajanan pasar. Suka sate kambing dan lontong sayur cap kaki lima.

Mungkin karena Bambang Hartono bukan bekas artis sinetron, sebagaimana Nia Ramadhani. Sementara Nia, muncul dari industri hiburan yang penuh tipu-daya dan polesan. Nia Ramadhani tetiba menjadi terkenal. Karena ayu. Dan karena itu, nama Prianti Nur Ramadhani harus diubah, yang lebih berasa mesra, Nia Ramadhani. Apalagi ia keturunan Norwegia-Belanda. Tapi karena sejak usia 9 tahun hanya diasuh ortutu (orangtua tunggal), yakni ibunya yang berdarah Sunda, kita bisa meraba latar belakang sosiologisnya.

Dunia hiburan di Indonesia, memang lebih dipenuhi keajaiban daripada kelogisan. Bukannya tak ada, namun jalan kelogisan adalah sesuatu yang jarang diakrabi media. Karena itu usia keartisan di negeri ini, sering terasa pendek. Apalagi untuk artis berjenis perempuan, dan lebih-lebih macam Nia Ramadhani, yang berpara elok. Begitu ia menikah, dengan lelaki tajir pula, selesai peran panggungnya. Jika pun dikabarkan hendak balik lagi ke panggung, setelah mempunyai tiga anak dalam usia muda, itu juga karena sistem dan pola industri hiburan kita. Jika tak penuh improvisasi, sebagiannya karena lebay.

Apalagi di industri hiburan layar kaca televisi. Ada banyak sinetron bermunculan, tetapi siapa mereka itu semua? Tak ada nama yang menjulang, menonjol, dan memenuhi perbincangan masyarakat secara umum. Bisa jadi karena medianya berubah, senyampang perubahan jaman. Tapi kita semakin tidak mudah menemukan nama yang relatif bertahan lama. Semisal Suzzanna, Yatie Octavia, Roy Marten, Slamet Rahardjo, Ratno Timoer, dan nama-nama segenerasi mereka dekade 70, 80, 90. Ketika bioskop kita juga masih bisa menyelipkan film-film Indonesia.

Perjalanan zig-zag itu, membuat seseorang juga punya nasib dan perilaku zig-zag. Ada tiba-tiba seseorang menjadi terkenal dan kaya. Tetapi tiba-tiba linglung. Sebagiannya bahkan terhempas tanpa kita tahu. Tak pernah terbayang, bagaimana dulu digilai para lelaki, kemudian berjualan lotek atau gado-gado. Dan cuek hanya mengenakan daster mulu.

Salah satu kejahatan dunia hiburan, lebih bertumpu pada eksploitasi bintang. Bukan eksplorasi. Hal itu disadari para artis Indonesia angkatan 80-an, di mana orang kayak Roy Marten, Robby Sugara, Dorris Callebaut, cum-suis, menginvestasikan duit yang dikumpulkan ke sektor bisnis non-artis. Roy Martin pernah bikin garment celana jins. Doris pernah membuka lahan pertanian bawang merah.

Entah berbuah atau tidak, yang bisa dipastikan mereka sadar kehadirannya hanya sementara. Akan datang bintang baru, dan mereka akan tersingkir. Apalagi dunia artis hanya mengeksploitasi kebintangan dari sisi rupa atau fisik. Karena itu hanya artis yang mampu melakukan eksplorasi diri, kemampuan dan pengetahuannya, yang bisa terus eksis. Bukan karena paras yang makin menua, melainkan karena kematangan dalam membangun sikap atau karakternya, awarenessnya.

Tentu saja tak ada yang mengetahui persis perjalanan hidup seseorang. Apalagi ke depannya. Dan apalagi mengenai orang lain. Sedang yang menjalaninya pun, bisa terkaget-kaget. Sampai amnesia. Tak bisa ngupas salak. Tak bisa membuka kunci kamar. Lha, ngapain kunci kamar dibuka? Pantes saja nggak bisa. Coba kalau pintu kamar yang dibuka, bukan kuncinya, mungkin akan lebih mudah. Kalau kunci, ya, serahkan ahli kunci. Di daerah Kwitang kayaknya banyak. | @sunardianwirodono

Sunardian Wirodono adalah penulis independen, tinggal di Yogyakarta. Pernah bekerja di media cetak, media televisi di Jakarta.

Avatar photo

About Sunardian Wirodono

Penulis, Pewawancara, Desainer TV Program, Penulsi Naskah, Penulis Lepas, tinggal di Yogyakarata