Penulis Jlitheng
Tenzing Norgay namanya. Pemuda kampung dan anak seorang petani dari Khumbu, Nepal, di kaki pegunungan Everest itu tak ikut menjadi setenar Edmund Hillary, penakluk pertama puncak Gunung Everest, Pegunungan Himalaya, yang tertinggi di dunia.
Tenzing adalah sherpa Edmund Hillary. “Sebagai sherpa, posisi Anda pasti lebih di depan,” kata seorang reporter berkomentar.
“Ya, benar sekali,” jawab Tenzing Norgay.
“Ketika tinggal selangkah lagi mencapai puncak, saya berhenti dan persilakan (Edmund) menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama yang berhasil menaklukkan puncak tertinggi di dunia ini,” tutur Tenzing.
“Ya, tapi mengapa?” lanjut reporter itu.
“Karena, menjadi orang pertama penakluk puncak gunung tertinggi dunia itu mimpi Edmund, bukan mimpi saya. Mimpi saya adalah menolong Edmund berhasil mencapai puncak Everest pertama kali,” jelas Tenzing.
Kemampuan diri yang hebat sekali: membantu orang lain meraih mimpi dengan melepas “mimpi” yang sudah digenggamnya .
Masihkah orang sehebat Tenzing ada di sekitar kita? Bukankah jalan berpikir seperti Tenzing itu nyleneh alias tidak waras jika umumnya orang lebih suka merebut dan menimbun daripada membagi?
Syukur masih banyak anak muda berintegritas seperti Tenzing. Mereka rela jadi nyala, jembatan, garam, apapun namanya… demi menolong sesama meraih mimpi, lewat aksi pelayanan.
Sikap Tenzing itu sangat mirip dengan sikap hidup Yohanes Pemandi: “DIA harus makin besar dan aku harus makin kecil.”
Banyak orangtua bermimpi anak mereka sukses (dadi wong) dan “Yen wis dadi wong, eling kiwo lan tengenmu.” Begitu pesan simbok ketika pamit pergi jauh, merantau ke negeri orang.
Inti pesan itu mirip dengan pesan Paus Franciskus: “Hidup bahagia itu baik, tetapi lebih baik lagi jika makin banyak lagi yang bahagia karena kita. Asalkan, kekatolikan kita tidak suam-suam.”
Salam sehat dan tetap tekun berbagi cahaya.