Masyarakat kita sudah cerdas. Mereka paham betul, mana tayangan semata untuk mengajak pada kebaikan dan mana yang mengajak untuk memilih bacapres.
OLEH SYAH SABUR
KEHADIRAN aktivitas keagamaan bacapres Ganjar Pranowo dalam tayangan azan di dua stasiun televisi, RCTI dan MNC, sontak menimbulkan polemik. Tayangan tersebut dibuka dengan suasana pemandangan alam saat magrib dan kumandang azan. Lalu, tampak Ganjar sedang berwudu, dilanjutkan dengan salat berjamaah.
Tayangan tersebut langsung menimbulkan beragam reaksi. Sebagian pihak menganggapnya sebagai hal yang wajar, bahkan baik karena tayangan tersebut menampilkan kebaikan, seruan untuk salat.
Tapi tak sedikit yang menganggapnya sebagai kampanye terselubung. Ada juga yang menilainya sebagai praktik politik identitas. Pertanyaannya, betulkah tayangan tersebut merupakan hal yang wajar dan baik atau sebaliknya, bisa dianggap kampanye terselubung dan praktik politik identitas?
Dalam hal ini, kita bisa membandingkannya dengan tayangan serupa ketika Presiden Jokowi muncul dalam tayangan salat Idul Fitri atau Idul Adha. Artinya, Jokowi muncul dalam konteks berita yang ditayangkan hampir semua stasiun televisi.
Hal ini beda dengan Ganjar. Bacapres dari PDI Perjuangan ini muncul tiba-tiba dan bukan dalam kerangka pemberitaan. Ganjar muncul dalam tayangan azan yang ditayangkan hanya di dua stasiun televisi milik Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo.
Kalau itu bukan kampanye terselubung, mengapa yang muncul hanya Ganjar tanpa memberikan kesempatan serupa untuk bacapres lain? Pertanyaan lain, mengapa aktivitas keagamaan Ganjar muncul menjelang Pilpres?
Bukan politik identitas
Tapi saya juga sepakat dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang menyebut kemunculan Ganjar dalam tayangan azan bukan bagian dari praktik politik identitas. Menurut Hasto, tayangan tersebut merupakan hal positif untuk mengajak masyarakat untuk melaksanakan salat.
Hasto juga mengingatkan, Ganjar merupakan sosok yang religius. “Istrinya, Bu Siti Atikoh juga dari kalangan pesantren,” kata Hasto saat dijumpai di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (9/9/2023).
Saya juga setuju dengan Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas bahwa kemunculan Ganjar dalam tayangan azan hanya ajakan untuk berbuat baik. Meskipun demikian, karena tayangan tersebut muncul menjelang Pemilu, tanpa menyajikan bacapres lain dan hanya muncul di dua televisi, saya tetap menilainya sebagai “ada udang di balik batu”.
Karena itu, sulit untuk menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tayangan biasa dan tidak mengandung kampanye terselubung. Ayolah, jangan seperti “kura-kura dalam perahu” atau pura-pura tidak tahu. Masyarakat kita sudah cerdas. Mereka paham betul, mana tayangan yang semata untuk mengajak pada kebaikan dan mana yang mengajak untuk memilih bacapres.
Dengan demikian, menarik untuk menyimak pernyataan lain dari Anwar Abbas yang mengingatkan, jika tayangan Ganjar dalam azan menimbulkan kegaduhan dan pro-kontra, sebaiknya semua pihak kembali pada ajaran agama. Menurut Abbas, agama Islam mengajarkan agar kita lebih dulu untuk meninggalkan kemafsadatan (keburukan) sebelum melaksanakan kemaslahatan (kebaikan)
Di lain pihak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mempermasalahkan tayangan tersebut. Alasannya, menurut Ketua Divisi Teknis KPU, Idham Holik, saat ini belum masuk masa kampanye dan belum ada pendaftaran bacapres dan bacawapres di KPU.
Ranah KPI
Lebih dari itu, menurut Idham, soal tayangan di televisi merupakan ranah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sedangkan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja menyatakan pihaknya kini sedang melakukan kajian tentang kemunculan Ganjar dalam tayangan azan.
Sementara itu, anggota KPI, Aliyah menyatakan, pihaknya sudah meminta penjelasan kepada dua stasiun televisi yang menampilkan tayangan tersebut. Dia berjanji akan melakukan kajian mendalam sebelum sampai pada kesimpulan.
Tapi mestinya KPI bisa berpegang pada aturan yang ada, khususnya Peraturan KPI No 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran. Bab VII pasal 11 (2) menyatakan, “Program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya”.
Karena stasiun televisi tersebut hanya menayangkan ibadah Ganjar (tanpa disertai bacapres lain) menjelang Pemilu, bukankah itu bisa diartikan bahwa stasiun televisi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi? Bukankah kampanye terselubung seperti itu bisa dianggap melanggar aturan KPI? Dalam hal ini, pakar komunikasi Ade Armando mengingatkan, jangan karena pemilik stasiun televisi merupakan pendukung Ganjar Pranowo maka mereka seenaknya memasukkan iklan kampanye dalam tayangan azan.
Kita lihat saja, apakah KPI dan Bawaslu akan menjadi kura-kura (dalam perahu) atau menjadi lembaga kredibel? Selain itu, apakah RCTI dan MNC serta koalisi pendukung Ganjar mau jadi kura-kura yang tak berotak atau mau jadi manusia normal yang dibekali akal sehat? Lagi pula, bukankah aktivitas azan maupun salat hanya sebagian dari bukti kesalehan?
Kalau Ganjar ingin menunjukkan kesalehan, hal itu bisa ditunjukkan dengan berbagai perbuatan baik setiap saat. Dengan cara tersebut misalnya, masyarakat akan mudah memaafkan pengakuan Ganjar beberapa waktu lalu bahwa dia suka nonton video porno.
Jika kemunculan Ganjar dalam tayangan azan dibiarkan, saya khawatir hal itu akan diikuti bacapres lain. Anies Baswedan dan Cak Imin (Amin) mungkin tidak meniru Ganjar untuk tampil dalam tayangan azan melainkan menyajikan koor di televisi yang isinya ucapan “amin” berulang-ulang. Mengutip ucapan Cak Imin dalam wawancara dengan Rosi di Kompas TV, jika hal itu terjadi, “Apa gak bahaya ta?”. (end/dms)