Sampek Engtay adalah lakon terpanjang dan terlama yang dibawakan Teater Koma, sejak grup ini berdiri di tahun 1977 dan masih bertahan usianya yang ke 45 di tahun ini. Sudah lebih 85 kali dipentaskan.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
KISAH cinta “Sampek – Engtay”, sebagaimana “Romeo – Juliet” dan “Pronocitra – Roro Mendut”, sesungguhnya kisah cinta yang menyayat hati. Tapi di panggung Teater Koma dalam arahan sutradara Nano Riantiarno, menjadi sajian yang “nano nano” alias rame rasanya. Ada romantika, satire, komedi, musik asyik dan curcol para pemainnya.
Lakon “Sampek Engtay” pertama kali dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 1988 selama 18 hari.
Saya beruntung menyaksikan pertunjukan sejak pertama kalinya di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) Pasar Baru itu dan mendapat kesempatan nonton pergelaran terbarunya, Sabtu malam (5/3/2022) lalu di Ciputra Artpreneur Kuningan, Jakarta.
Pada pergelaran 1988 saya nonton bareng dan duduk bersebelahan dengan alm. Teguh Karya, yang bersama sama Nano Riantiarjo juga merupakan pendiri Teater Populer. Kemarin malam saya diajak nonton bareng (dan bersebelahan dengan) Budi Suryadi, aktor senior Teater Koma yang absen pentas lantaran tahun lalu sempat terpapar Covid dan masuk karantina di Kemayoran.
Ratna Riantiarno, Idries Pulungan, Budi Ros, Sari Madjid dan Idrus Madani selaku penggarap musik merupakan “orang lama” yang masih terlibat selain N. Riantiarno sebagai sutradaranya. Dulu Ayah Engtay diperankan oleh almarhum Didi Petet.
Lakon “Sampek Engtay” di Ciputra Artpreneur seharusnya digelar tahun 2020 lalu – tapi tertunda lantaran pandemi Covid-19. Padahal 1.200 lembar tiket sudah terjual.
Dalam suasana rezim Orde Baru yang anti pada simbol simbol Budaya Tionghoa, pada 1989, pentas ini sempat mengalami pencekalan di Medan.
Setelah itu, pementasan ini kembali disuguhkan pada 1997 untuk memeriahkan Pasar Tontonan Jakarta (Pastojak).
Selain di Indonesia, lakon ini pernah dipentaskan di Singapura dalam bahasa Inggris pada tahun 2.000 oleh kelompok The Theatre Practice dan tetap disutradarai oleh Nano Riantiarno.
Pada 2004, Teater Koma mendapatkan sertifikat MURI berkat lakon Sampek Engtay yang telah dipentaskan 80 kali selama 16 tahun (1988-2004).
Tanpa mengubah pakem dan tidak merusak alur cerita, Nano memindahkan setting ceritanya ke tanah Jawa dalam nuansa Cina Betawi.
Menurut kisah aslinya, Engtay yang aslinya berasal dari Zhejiang menuntut ilmu ke Hangzhou. Sedangkan versi Teater koma Engtay berasal dari Serang dan Sampek dari Pandeglang, mereka sama sama sekolah di Glodok.
Selaku penulis naskah dan sutradara, Nano Riantiarno sangat piawai memgemas lakon lawas dengan dialog kekinian.
“Nona Engtay itu perempuan yang serba bisa. Dia bisa menjahit menyulam dan memasak, ” puji pembantu perempuannya. “Selain itu, Nona Engtay juga pandai main Tik Tok dan Bitcoin”.
Gerr penonton tergelak.
Saat di sekolah, Engtay berhasil memanipulasi kepala sekolah agar ada peraturan semua siswa wajib kencing duduk. Engtay, yang tak bisa kencing berdiri, dengan segala argumennya menjelaskan pentingnya kencing dalam posisi duduk. Lebih bersih dan sehat Kepala sekolah merangkap guru panjang lebar pun mendukung dan membahas soal kencing yang benar.
“Jadi demikianlah, pelajaran hari ini, pelajaran tentang kencing! ” teriak guru dengan lantang – disambut gerr penonton.
Sebelumnya, Engtay berhasil memaksa orngtuanya untuk merestui sekolah ke Betawi. Dengan menyamar sebagai lelaki dia berkenalan dengan Sampek yang bersama bujangnya menuju Glodok. Engtay juga menipu kepala sekolah sehingga ditempatkan satu kamar dengan Sampek pemuda tampan, lugu dari keluarga pas pasan.
Setelah setahun bersama, Sampek baru tahu bahwa Engtay ternyata perempuan. Keduanya saling jatuh cinta. Namun tak lama setelah itu, Engtay dijemput bujangnya untuk dibawa pulang ke Serang dan dinikahkan. Sampek patah hati, sakit dan meninggal. Engtay menjanjikan mereka akan terus bersama. Dan itu terwujud saat dalam iring iringan jelang pernikahan, Engtay melewati kuburan Sampek.
Dengan izin melayat makam teman, Engtay masuk ke pemakaman. Dan sesuai janji, kuburan terbuka dan mereka menyatu. Rombongan gempar.
Saat kuburan digali, dua sejoli terbang sebagai kupu kupu. Adegannya nampak megah, dramatis sekaligus memilukan.
TEATER KOMA adalah teater modern yang berhasil menghidupkan kembali romantika dan kejayaan “Komedie Stamboel” di Prinsen Park, Manggabesar, Jakarta, di awal 1900an.
Komedie Stamboel adalah tiruan opera yang disisipi adegan hiburan. Dalam beberapa babak, tontonan itu diisi lawak, lagu, tarian. Sebutan “komedie” di sini bukan berarti lawak melainkan “pertunjukan”.
Konon, “Komedie Stamboel” pertama kali muncul di kota pelabuhan, Surabaya, pada 1891. Pelopornya adalah seorang Indo bernama August Mahieu. Si Indo berbekal kepiawaian bernyanyi, sedangkan urusan dana dipegang Yap Goan Thay, sebagaimana ditulis Misbach Yusa Biran dalam buku, “Sejarah Film 1900 – 1930: Bikin Film di Jawa”.
Nama Stambul dipungut dari topi ala Istambul, Turki, dimana anggota kelompok Mahieu senang mengenakan topi warna merah, topi tradisional Turki, dengan semacam kucir di bagian atas. Orang di Hindia Belanda mengucapkan ibu kota Turki, Istanbul, sebagai Stambul, maka jadilah kelompok komedi Mahieu disebut Komedie Stamboel.
HAL yang mengagumkan dari Teater Koma adalah stamina mereka dalam mengabdi ke seni panggung di tengah gempuran seni berbasis teknologi seperti bioskop, televisi dan internet kini.
Padahal seperti curcol (curhat colongan) pemainnya di pembukaan cerita, pemain sandiwara tak bisa hidup dari seni sandiwara. Mereka ada yang harus jadi guru les untuk menghidupi anak isteri.
Bahkan dalam perlindungan dan sponsor Djarum Faundation tetap saja pemainnya harus merangkap kerja untuk memenuhi kebetuhan hidupnya. Tak bisa mengandalkan sepenuhnya dari teater.
Dengan begitu tak beda dengan seniman tradisional Ketoprak dan Wayang Wong di Jawa Tengah, yang kadang harus merangkap sebagai abang becak di siang harinya. Padahal di malam hari, di atas panggung, tampil gagah dalam peran sebagai raja. Atau Raden Gatotkatja. ***