Seide.id -Di sanggarku dulu, kami tak ‘saling mengajar’. Tak ada yang merasa ‘lebih pelukis’ daripada pelukis lain. Lucunya, semua merasa perlu ‘mengajar dan belajar’. Tapi bukan sebagai ‘guru dan murid’. Semua merasa perlu belajar dari siapa pun dan semua merasa bisa mengajari siapa pun. Karena ‘mengajari’ sangat berbeda dengan ‘menggurui’. Seru. Tepatnya istilah kami dulu adalah: ‘berbagi pengalaman’.
Hal yang penting dalam belajar melukis adalah melukis ‘on the spot’. Istilah kami dulu: Nyeket. Nyeket adalah kata kerja. Apa boleh buat, kita comot dari bahasa Inggris: sketch. Kata kerjanya sketching atau to sketch(?). Orang yang melakukannya disebut sketcher.
Acara nyeket selalu kami jadwalkan secara rutin. Biasanya kami mendatangi tempat-tempat umum yang kegiatannya mengasyikkan untuk nyeket. Dinamis dan ramai dengan aktifitas. Suasana yang ‘hidup’. Misalnya pasar, pusat-perbelanjaan, pelabuhan, stasiun kereta api, terminal bus, perkampungan nelayan, tempat-tempat rekreasi dll.
Tempat yang paling digemari adalah: pelabuhan. Karena, pelabuhan adalah objek yang lengkap. Ada aktifitas manusia yang datang dan pergi ke dan dari pelabuhan. Aktifitas porter-porter mengangkut, menaikkan dan menurunkan barang. Kapal-kapal, parahu-perahu, barang-barang dan -tentu saja- laut. Lokasi favoti lainnya adalah perkampungan nelayan.
Nyeket, penting. Mungkin dalam olahraga bulutangkis disebut stroke. Pukulan, smesan, dropshot, netting, pukulan tipuan, backhand, lob dll.
Yang agak berbeda dgn ‘sekadar melatih stroke’ ketika membuat sket langsung di tengah-tengah objek, pelukis tak hanya melatih stroke, tapi juga (justru hal ini lebih penting menurutku) adalah: melatih kepekaan sang pelukis terhadap objek di sekitar pelukis. Terutama objek yang hendak dilukis. Dan -menurut istilah kami dulu- menghirup atmosphere-nya. Jika di perkampungan nelayan: “menghirup bau amis ikan-ikan, aroma keringat nelayan dan segarnya udara laut”
Jika tak sedang keluyuran mendatangi tempat-tempat keramaian itu, paling-paling kami saling membuat sket tentang sosok masing-masing atau siapa yang bersedia menjadi relawan sebagai objek lukisan, di sanggar.
Seorang teman fotogarafer pernah menghadiri workshop fotografi. Pembicaranya punya kiat yang ‘agak lebay’ menurutku.
Dia bilang: “Kita harus benar-benar menghayati objek. Jika perlu kita menghayati dan merasa menyatu dengan objek”.
Eh temanku tak tahan untuk nyeletuk: “Tapi,…jika sekadar memotret tiang listrik, kita tak harus menjadi tiang listrik ‘kaaan?!” Sang pembicara hanya nyengir kuda.
Kembali ke Nyeket. Sketch adalah semacam bagan atau garis besar dalam lukisan. Sketch, secara keseluruhan, masih rancangan kasar belum detail, tetapi sudah utuh sebagai ‘calon lukisan’. Ada bentuk, pencahayaan, proporsi dan perspektif. Bahkan style atau gaya.
Awalnya, sketch dianggap ‘belum lukisan’ karena memang ‘lukisan yang belum selesai’. Tetapi entah bagaimana mulanya,…toh sketsa kemudian juga ‘layak’ dianggap sebagai lukisan yang ‘sudah selesai’ dan layak dipamerkan.
Banyak pelukis yang memamerkan sketsa-sketsanya. Bahkan berpameran tunggal…
(Aries Tanjung)