“Kagetan, panik, dan bingung berlebihan,” itulah potret keseharian yang kita lihat belakangan ini.
Di mana-mana kita jumpai orang mengantre untuk membeli minyak goreng. Mengular panjang dan berdesak-desakan.
Tidak saja di mall, pasar swalayan, pasar tradisional, tapi juga di jalan yang tengah menggelar operasi pasar minyak goreng.
Pemandangan yang membuat hati ini miris dan sakit, karena pembelian minyak goreng dibatasi cuma dua liter per orang.
Yang menyakitkan lagi, meskipun telah mengantre lama, panas, dan membuang enerji, toh tidak semua orang kebagian. Persediaan yang terbatas, membuat orang kecewa.
Sebegitu bergantungkah kita pada minyak goreng, sehingga kita rela berebut untuk mengantre dan berdesak-desakan demi dua liter minyak?
Di sisi lain, bahagiakah si tamak yang menimbun minyak goreng sambil menari di atas penderitaan orang lain?
Berjuta orang bergantung pada minyak goreng, baik untuk industri rumahan, warungan, dan seterusnya.
Minyak goreng langka. Padahal, setiap rumah tangga membutuhkan minyak goreng. Hal itu yang membuat banyak orang kelabakan, uring-uringan, sewot, dan stres.
Minyak goreng merupakan kebutuhan utama rumah tangga untuk memasak. Tapi, tidak seharusnya, gara-gara minyak goreng langka, kita menjadi kalang kabut.
Kita harus berani menyiasati, berinovasi, dan mencari terobosan baru untuk mengurangi ketergantungan kita pada minyak goreng.
Semula masakan yang bumbunya disangrai atau digoreng, bisa direbus atau dipanggang. Kerupuk digoreng tidak menggunakan minyak, tapi pasir. Dan, seterusnya.
Lebih daripada itu, makanan yang direbus atau ditanak itu juga lebih sehat, ketimbang yang digoreng dengan minyak.
Kebutuhan makanan harian dalam keluarga jangan menjadi ketergantungan kita, ketika bahan makanan langka. Kita harus terus berinovasi untuk mencari bahan pengganti.
Tidak ada gunanya, kita bergantung pada bahan komoditas yang langka, karena Allah menganugerahi alam Indonesia yang kaya raya dan subur.
Bersyukurlah! Kelola alam dengan bijak menuju Indonesia Jaya!