Oleh ARIES TANJUNG
Tak pelak, Olimpiade adalah momen olahraga, di mana mata dan telinga semua manusia di bumi tertuju. Olimpiade, mempunyai motto: Citius, Atius, Fortius. Yg berarti: Lebih cepat, Lebih tinggi, Lebih kuat. Pesta olahraga paling terkemuka di dunia yang digagas pertama kali di Athena Yunani ini, mempertandingkan hampir ‘semua cabang olahraga’ yang ada di bumi. Baik yang tradisional maupun modern. Indonesia, konon sudah ‘menawarkan’ Silat sebagai cabang olahraga ( cabor) di Olimpiade.
Cabor itu sedang dipelajari, tapi belum disetujui. Konon salah-satu syaratnya adalah jika olahraga itu sudah diketahui atau diikuti oleh sekian negara. Cabor silat yang diajukan oleh Indonesia ini, adalah olahraga beladiri. Olahraga ini baru dikenal oleh beberapa negara Asia Tenggara.
Banyak negara tentu berlomba-lomba menjadi penyelenggara pesta olahraga terbesar di dunia ini. Karena kesiapan menyelenggarakannya menyiratkan bahwa secara finansial dan infrastruktur, negara penyelenggara dinilai bonafid dan kaya.
Sedianya, Olimpiade diselenggarakan di Jepang pada tahun 2020. Suatu bentuk angka yg cantik untuk diuthak-athik, kata para pemuja bentuk. Tapi,…eng-ing-eng,…pandemi melanda dan melumpuhkan dunia di bidang apapun saja. Tak terkecuali olahraga. Sehingga penyelenggaraannya mundur ke tahun ini.
Itu pun, pertandingan-pertandingannya hanya boleh dihadiri oleh sedikit penonton dgn prokes ketat. Bahkan mungkin pembukaannya tak dihadiri penonton. Inilah kali pertama, pembukaan pesta olahraga terbesar di dunia, tak dihadiri penonton. Tentu, kecanggihan, keunikan dan kemegahan penyelenggaraannya tak berkurang. Yang berkurang hanya gegap gempita dari penonton yang memadati stadion ketika menyambut kontongen tim pujaan mereka.
Olahraga, tentu membuat siapapun berkeringat. Jangankan pelakunya, bahkan penontonpun jika melonjak-lonjak menyemangati atlet pujaan pun bisa sehat, berkeringat.
Aku suka menonton pertandingan olahraga. Yaa, yang standar dan banyak digemari banyak orang saja. Seperti sepakbola, bulu tangkis dan tinju. Itu yang kerap ada di televisi. Tapi, ketika ada Olimpiade, ada beberapa stasiun televisi menayangkan berbagai cabang olaharaga yang juga layak ditonton.
Televisi yang aku tonton, terus terang cuma 2, yaitu tv berita. Alasannya pun sangat personal dan agak norak. Karena tv berita yg satu adalah satu grup dengan tempat kerjaku dulu, yg satu lagi: tempat anakku sekarang bekerja.
Tempohari, anakku memasang wifi internet untuk digunakannya bekerja dari rumah. Dipilihnya wifi yang juga bisa buat tv. “Ayah mau?”/ “Siapa takyuuut?. Yg penting ada saluran Natgeo, dan Traveling”/ “Film?”/ “Yaa, bolehlaah satu-dua saluran”.
Kemarin, entah kebetulan karena ada momen Olimpiade atau tidak, humas wifi itu menawarkan kami seandainya tertarik menambah paket saluran yg bisa kami tonton. Istriku yang menerima telpon dari humas itu. “Murah kok bu, satahun cuma sekian…”(dia menyebutkan harga, yg menurutku murah sekali untuk jangka waktu setahun). Aku sempat sangsi karena murah. Lalu aku bilang untuk memastikan harga itu. “Takut salah dengar” kataku epada istri. “Betul bu,…pembicaraan kita ini direkam kok, untuk memastikannya”.
Bungkuuus, kataku. Jadilah kami bisa membuka semua saluran yg ada. Tapi, sasaranku hanya saluran yg menampilkan pertandingan-petandingan di Olimpiade.
Kita pernah “berharap” medali dari cabor: Panahan, Tinju, Angkat berat dan ‘the last but not least’:…Bulutangkis. Dari cabor Tinju ada sekitar 11-12 medali. Mendapat 1-2 saja sdh luarbiasa. Panahan malah bisa berharap Emas. Bulutangkis? Wah,…dulu sih kita boleh berharap banyak. Karena memang cabor itulah yg kita dan beberapa negara Asia ‘langganan’ berjaya. Itu dulu, kalau sekarang sih banyak negara yg kuat dalam cabang bulutangkis. Bahkan Spanyol punya pebulutangkis putri yang jago dan cantik pula. Tapi secara statistik kita lebih sering. Lagipula, di bulutangkis ada 7 medali!
Sepokbola? Waaah,…berat. Prestasi terbaik sepakbola kita di Olimpiade, mungkin sekitar 50 tahum lalu. Aku jadi saksi ketika itu.
Pertandingan final memperebutkan posisi untuk ikut meramaikan pesta olahraga sedunia dari sepakbola. Lawannya adalah Korea Selatan. Sampai paruh waktu, posisi masih seri. Akhirnya diadakan adu penalti. Kita kalah. Salah seorang yg gagal melakukan eksekusi penalti adalah Anjas Asmara. Pemain idola tampan berambut gondrong itu tertunduk lesu. Tubuhnya lunglai. Semangatnya seperti terbang entah ke mana.
Tak lama kemudian, dia menangis sesenggukan. Lengannya tak sanggup bahkan sekadar mengusap keringat dan airmatanya. Teman-temannya sampai memapah dan membujuknya memberi semangat untuk tetap mengangkat dagu dan melangkah. Sejak itulah frasa “kalah dengan terhormat” diperkenalkan kepada khalayak. Sekarang, Sepakbola Korsel sudah kelas dunia. Sementara kita, dengan Vietnam “anak kemaren sore” dalam sepakbola saja, kalah.
Ilustrasi: Kontingen Indonesia