Cerpen : Operasi Katarak

Jarum jam sudah mendekati pukul dua belas malam. Cericit burung malam terdengar dari pepohonan di luar jendela. Kusingkapkan gordyn, melongok mencari tahu apa yang terjadi di luar sana, semuanya sepi, sesepi malam yang tenang tanpa desiran angin. Aku kembali ke tempat tidur, mencoba mengatupkan mata, pikiranku merambah entah kemana dan berputar-putar mencoba menerjemahkan peristiwa demi peristiwa yang mengendap di ruang ingatanku. Beberapa detik kemudian, dering Hp bergema cukup nyaring, ketekan tombol hijau di kiri bawah Hp-ku, suara Bapakku terdengar jelas malam itu.

“Nak, Bapak sudah di RSCM, sebentar lagi dipanggil dokter. Tim dokter akan segera mencungkil mata Bapak. Beberapa saat lagi operasi segera dimulai!”

Apa? Mencungkil? Dua kata itu membuatku gentar dan menggelayut di dadaku. “Pak, kan sudah saya bilang besok saja perginya. Nanti saya antar,” jawabku kesal bercampur cemas.

“Saya takut terlambat, ini kesempatan langka. Bapak nggak mau kehilangan kesempatan ini!”

Suara Bapakku begitu riang, impiannya untuk diambil selaput yang mengganggu penglihatannya itu, membuat nada bicaranya begitu bening, begitu jernih. “Ya sudah, kalau begitu besok saya susul ke rumah sakit.”

“Iya, Nak. Bapak tunggu, tapi by the way, sekarang Bapak lapar.”

Duh! Aku kembali gelisah. Tidak mungkin dini hari begini aku naik bis ke RSCM, dan tidak mungkin juga aku minta antar suami dan anak-anakku, mereka asyik terlelap, mereka tampak lelah sekali. “Pak, Bapak bawa duit nggak?” tanyaku.

“Bawa Nak, seratus ribu, yang lima puluh ribu buat bayar karcis berobat, lima puluh ribunya lagi periksa kornea. Tadi Bapak pinjam sama pasien yang sama-sama akan dioperasi, lima puluh ribu rupiah untuk periksa urine. Nanti, kalau sudah sampai, kau ganti ya, Nak.”

Aku menelan ludah, getir. Di luar, suara burung malam tampak makin jelas. Tak lama rintik-rintik hujan terdengar dari atap rumah. Udara dingin mulai menelisik masuk di tiap celah jendela kamarku. Aku membaringkan diri, mencoba mengatupkan mata. Namun baru beberapa detik mataku terpejam, Hpku kembali berdering.

“Nak, jangan lupa besok bawa makanan ya, Bapak lapar sekali!” kalimat bernada sama kembali terlontar.

“Ya, Pak. Dokter sudah panggil Bapak?”

“Belum. Di sini ada dua orang yang juga akan dioperasi. Kami menunggu pemeriksaan selanjutnya. Sepi, nak, jangan-jangan dokternya tidur dulu.”

“Di situ ada tempat untuk tidur-tiduran, nggak?”

“Tidak ada, yang ada hanya kursi. Tapi biarlah, sambil menunggu dipanggil, Bapak tiduran di kursi ini sebentar. Ingat, besok jangan lupa bawakan makanan ya, Bapak lapar sekali!”

Aku mengangguk, Bapak tidak melihat anggukanku. Jelas dia tidak melihat, di antara anggukkanku ada air mata yang mengalir membasahi pipi.

Pagi sebelum pukul enam aku sudah selesai mandi. Usai menyiapkan sarapan dan bekal untuk anak dan suamiku, aku segera berdandan, lalu memanggul tas ranselku, pamitan pada semua yang ada di rumah, bergegas menuju rumah sakit untuk melihat keadaan bapakku. Sepanjang jalan pikiranku merambah entah kemana, membaur bersama deru KRL Jabodetabek yang melesat cepat menembus udara pagi yang masih terasa dingin. Sebelah kiri mata bapak sudah dioperasi di sebuah rumah sakit mata bertaraf internasional beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku dan Bram suamiku, masih sedikit bersinar, maksudnya dalam hal keuangan. Bram belum mengundurkan diri dari perusahaan minyak tempatnya bekerja dan aku belum dirasionalilsasi dari sebuah perusahaan media yang bangkrut tiba-tiba (versi si pemilik perusahaan).

“Satu dulu ya, Pak. Nanti satu lagi kalau uang saya sudah terkumpul. “ kataku waktu itu.

Bapak setuju. Dan nyatanya aku memang cuma bisa membiayai operasi katarak bapak hanya satu mata saja. Satunya lagi hanya mampu terucap dalam kalimat penuh janji yang sampai saat ini tak pernah menjadi wujud nyata. Sejak aku dan suami benar-benar tak memliki pemasukan, terus terang kami mati kutu. Pengeluaran yang terus menggelembung, biaya anak masuk ke universitas, disusul kemudian aku harus operasi rahim dan menikahkan anak tertuaku, semua peristiwa itu bagai tangga yang menimpaku bertubi-tubi, menggerogoti hampir semua uang pesangon kami. Bapak di penghujung waktu, kutahu masih berharap kapan mata kanannya bisa kubiayai untuk dioperasi. Maka ketika ada operasi katarak gratis di RSCM, suaranya riang dan bening mengabarkanku. Bapak berharap dua matanya bisa normal kembali, tapi kegembiraan bapak merupakan pukulan telak buatku. Aku tidak bisa membantunya, terutama dari segi keuangan.

Tiba di RSCM, kucari tempat operasi seperti yang diinstruksikan bapak. “Kau naik lift ke lantai empat Nak, dari situ belok kiri. Tunggu di kursi-kursi panjang yang ada di luar ruangan yang bertuliskan ‘Klinik Mata’, nanti Bapak telpon.” Begitu pesan singkatnya melalui SMS. “Tapi Bapak lapar sekali,” sambungnya lagi.

“Saya bawakan Bapak nasi Padang, apa boleh makan sebelum operasi dimulai?” Sms-ku.

“Tidak bisa, Bapak sudah puasa sejak semalam.”

Hhhh…aku mengeluh perlahan. Ribuan pasien yang memenuhi rumah sakit pemerintah ini berseliweran di hadapanku. Beragam penyakit menggerogoti mereka. Seperti slogan yang kerap kubaca di spanduk-spanduk, sehat itu mahal ternyata benar. Aku jadi teringat akan penyakitku sendiri, diabetes! Dan dalam hati aku berdoa, semoga Tuhan memberiku umur panjang, semoga penyakitku tidak mengoyak-ngoyak seluruh pertahanan tubuhku, semoga aku bisa melihat anak bungsuku lulus kuliah, menikah dan memiliki anak, semoga aku bisa mengurus bapakku hingga akhir hayatnya, semoga…Hp-ku kembali berdering.

“Ya, Pak? Sudah mau masuk kamar operasi?”

“Betul Nak, Bapak menuju ke lantai dasar. Kau susul kesana, ya!”

Begitulah, seperti yang diperintahkan, aku bergegas menuju lift, menekan lantai dasar, menuju ruang operasi mata. Beragam manusia yang sakit mencari kesembuhan membuat mataku nanar, air mata mengambang di pelupuk mata. Aku berdoa semoga operasi berjalan lancar dan bapakku bisa melihat dengan jelas. Kutelusuri koridor panjang gedung tua ini dengan langkah cepat. Ruang operasi tampak sepi, seorang wanita paruh baya duduk santai ditemani seorang anak perempuan kecil.

“Maaf Bu, numpang tanya, apakah di sini ruang operasi mata?”

“Betul. Siapa yang mau dioperasi?” tanyanya.

“Bapak saya, Bu.”

“Oh, tadi baru masuk seorang Bapak, dia sendiri tidak ada yang mengantar. Kasihan…”

Duh, aku membisu. “Sudah berapa lama Bapak itu ada di dalam, Bu?”

“Sekitar satu jam yang lalu.”

“Satu jam?” kuperhatikan jam dipergelangan tanganku. Lima belas menit yang lalu Bapak baru menelponku. So, di mana dia sekarang?

Kekhawatiranku terjawab. Hp-ku kembali berdering, bapak menelpon dan mengabarkan kalau dirinya ada di kantin rumahsakit.

“Operasinya tidak jadi.” Katanya, “saya lapar makan dulu di kantin.”

Ough! Aku menepuk keningku. Terik matahari membakar kulitku. Waktu telah terbuang beberapa jam, beradu dengan beragam kegetiran membayangkan pisau tajam mencungkil mata bapakku. Ada tanda tanya menyeruak di balik benakku, mengapa bapak tidak jadi dioperasi, adakah sesuatu dalam dirinya yang membuat ia batal memiliki kornea yang jernih, terbebas dari lapisan kabut? Aku terus bertanya bersama lintasan beragam manusia yang berupaya mengembalikan kesehatan di tubuh mereka.

Bapak menerima makanan yang kubawa dengan mata berbinar. Segelas kopi susu yang dipesannya masih mengepulkan asap. “Mana, mana nasinya. Tolong buka, Bapak lapar sekali.” Kubuka bungkusan nasi Padang yang kubeli di restoran depan rumah sakit. Bapak melahapnya dengan nafas memburu. “Hhhh lega, setelah kenyang harkatku sebagai manusia pulih,” katanya sambil menepuk-nepuk perutnya.

“Maksudnya?”

“Iya, di saat lapar manusia berada di titik nol keberadaannya sebagai manusia. Dia menjadi mudah marah, nilai kita sebagai manusia tidak ada. Lapar bisa membuat orang melakukan apa saja, bisa membunuh, bisa korupsi, bisa menipu, bisa pula menghasut. Di saat lapar kita bisa menjadi binatang, menyeruduk apa saja yang bisa kita seruduk, nalar menjadi buntu. Kita bisa menjadi orang sakit dari yang benar-benar sakit. Jadi, berbahagialah orang yang bisa menahan lapar…” celoteh bapak sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya. Ia seolah-olah berpacu dengan perasan usus yang ada di perutnya.

“Mengapa tidak jadi operasi?”

Bapak membisu.

Sepanjang jalan kembali ke rumah, bapak tidur di atas kereta. Deru KRL Jabodetabek pun seakan membungkam suara bapakku untuk menceritakan mengapa matanya tak jadi dibedah. Aku membiarkan ia tenang dengan pikirannya. Keinginannya untuk bisa melihat dengan jelas dan ucapannya beberapa bulan lalu kembali terngiang di benakku. “Nak, penulis seperti Bapak,, mata adalah satu-satunya alat untuk menyampaikan apa yang ada di benak. Jika mata Bapak sudah tidak bisa digunakan lagi, maka habislah semuanya. Bapak tidak bisa berkarya lagi. Bapak tidak bisa menulis, Bapak tidak bisa menceritakan keindahan alam Indonesia ini kepada dunia. Bapak akan tergantung pada kalian, karena sebagai penulis, Bapak tidak punya pensiun.” Mungkin itulah yang membuat bapakku diam. Aku mengerti apa kegundahannya. Keesokkan harinya, kutemui ia di rumah adikku, tempat selama ini ia menetap. “Apa masalahnya, Pak? Mengapa Bapak tidak jadi dioperasi?”

“Ternyata untuk operasi gratis tidak semudah yang Bapak duga. Dokter meminta Bapak untuk memeriksakan jantung, tekan darah, trigliserid, hingga paru-paru. Selain itu ada lagi, ini yang paling penting…”

“Bapak harus bayar?”

“Bukan itu, Bapak diminta membuat surat miskin. Surat itu penting untuk membuktikan kalau Bapak benar-benar tak punya uang. Nak, kau bisa buatkan surat miskin itu? Itu syarat utama karena operasinya gratis. Bapak kan memang penulis miskin, tidak punya pensiun dan tidak punya asuransi kesehatan.”

Aku mengangguk. Ada rasa bersalah mengiris-iris hatiku. Kusesali ketidakberdayaanku hingga aku tak mampu membiayai operasi katarak bapakku. Kala kulihat bapak tertunduk lesu di samping berbagai penghargaan jurnalistik, serta award lainnya yang ia peroleh dari dalam dan luar negeri, aku makin miris. Seluruh penghargaan itu menjadi kenang-kenangan indah baginya. Siapa pun yang datang ke rumah, selalu memperoleh kisah yang sama bagaimana ia memperoleh beragam penghargaan itu. Bapak selalu bangga dengan masa lalu. Kini, di saat ia tua, di saat matanya sudah rabun, di saat tulisannya di tolak oleh para redaktur muda yang tidak mengenal dirinya, di saat ia kurang mahir lagi menatap huruf-huruf pada tuts komputer, ia seakan terlupakan. Ia benar-benar tak berdaya. Bahkan untuk operasi demi sebuah penglihatan yang cemerlang pun, ia harus menyertakan ‘surat miskin’ agar semuanya gratis.

Aku mengambil fotokopi KTP bapak dan memasukkannya ke dalam dompet. Siang itu, aku berjalan ke rumah RT, RW, keluharan, hingga kecamatan untuk memperoleh surat pernyataan tidak mampu yang menjadi persyaratan operasi katarak gratis bapakku.

Oleh : Fanny Jonathan Poyk

Cerpen : Layla, Mengapa Kau Campakkan Cinta yang Telah Ada

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis