Seide.id -Pada awal ‘70an ada wabah penyakit bernama eksim. Eksim adalah penyakit gatal-gatal yang menyerang tubuh di tentang bagian yang berlipat atau di sela-sela lekukan tubuh. Seperti sela-sela jari-jari kaki, lekukan kaki di belakang lutut dan sela-sela jemari tangan. Biasanya banyak menyerang anak-anak. Semakin digaruk, semakin gatal. Kulit jadi memerah, berbintik-bintik kecil berisi air, semakin lama bintik-bintik semakin banyak dan membesar, berisi…nanah. Sangat jelek dan menjijikkan.
Tak jelas benar, apa yang memicu penyakit gatal-gatal itu. Apakah, kulit yg sensitif, virus atau terjangkit hewan peliharaan. Ketika wabah eksim menyerang, seingatku dari 3-4 orang teman pasti ada 1 orang terjangkit eksim. Aku adalah 1 dari 3-4 orang itu. Orang-orang jadul, pasti ingat akan wabah itu. Dan tentu ingat juga pada sebuah merk salep untuk mengobati gatal-gatal itu.
Ndilalah, patokan tempatku berhenti dan selalu disebut oleh penumpang yang ingin turun atau selalu disebut oleh kondektur adalah nama itu: “Eksim,…eksim,…ada yang eksim,…eh ada yang turun?!”
“Yaak,…kiri!”
Sebetulnya ada 2 tempat perhentian kendaraan, baik oplet, L-300 atau bus “Ajiwirya”, sebelum dilanjutkan jalan kaki sekitar 2 km menuju sekolahku. Pertama, patokan eksim tadi dan sekitar 1 km lagi di depan menyebut nama sekolah itu. Eksim (ditulis memakai huruf ‘x’ Exim) adalah kependekan dari: Ekspor-Impor, nama sebuah bank yang pernah berjaya di zamannya dan sudah tak ada lagi kini.
Meski jalan kaki menuju sekolah dengan patokan eksim (yang membuat beberapa orang tersenyum, mungkin teringat akan gatal-gatal di sela-sela jemarinya ketika kecil dulu) sedikit lebih jauh ketimbang jika turun dengan patokan nama sekolah, tapi aku lebih suka yang pertama. Karena jalan itu menyenangkan. Teduh, dirimbuni batang-batang pohon karet tinggi di kedua sisi, malahan ada pohon-pohon karet yang ujung-ujung daunnya bersentuhan, seperti payung melindungi kami yang melintas di bawahnya. Lapisan jalan aspal cukup baik, cukup terawat meski ‘disiram’ aspal tipis, alakadarnya. Semak-semak, rerumputan dan bunga-bunga liar, jika pagi masih terlihat sisa-sisa embun sehingga bunga-bunga liar nampak elok dan segar.
Menjelang menikung landai ke kiri untuk sampai di pekarangan sekolah di kejauhan sebelah kanan terdapat perumahan Bank Exim. Bangunan sekolah yang warnanya sama dengan perumahan itu tadinya kuduga karena ‘sponsor’ dari pabrik cat yang sama (haha), ternyata sekolahku memang dibangun atas kebaikan bank itu.
Di halaman sekolah sudah ada bbrp calon murid yang akan mendaftar, diantar orang tua masing-masing. Oya, aku dan kakakku pun tadi datang bersama bbrp calon murid baru bersama ayah mereka.
Awalnya heran juga. Para calon murid baru itu kok, sepertinya sudah saling kenal. Mereka bergurau, ketawa-ketiwi di bawah keteduhan pohon-pohon beringin, soka dan kemuning yg nampak terawat di sisi lapangan basket. Ada juga gerumbul bakung. Oh, ternyata mereka berasal dari SMP yang sama. Tepatnya dari SMEP yg sama. Wuiih.., ternyata seusia SMP sudah belajar ilmu ekonomi?
Acara pendaftaran, berjalan lancar. Pakai test?. “Pakai test, tapi cuma formalitas saja. Kau pasti diterima” kata kakakku.
Pulangnya, menjelang siang, kami melewati jalan yang lebih singkat itu. Di seberang jalan terdapat warung bakso enak, tempat aku dan beberapa teman (kelak) kongko setiap pulang sekolah. Pedagangnya lelaki gemulai yang naksir pada salah satu temanku yang tampan, gondrong seperti pemain bola Anjas Asmara (tapi nanti saja aku cerita soal itu, ya?).
Bus Ajiwirya, ditunggu-tunggu tak juga muncul. Jika pun muncul pasti penumpangnya sudah penuh. Kami tak bisa terangkut, sekali pun siap bergelantungan. L-300 yang lewat pun penuh. Apalagi para pendaftar pulang berbarengan. Akhirnya kami menunggu sampai agak sepi, meski perut sdh keroncongan. Kenapa pula perut lapar disebut keroncongan. Bukan rock’n rollan, jazzan, fushionan atau… ah dangdutan mungkin lebih cocok?
Akhirnya kami menumpang oplet tua yang suara mesinnya seperti tarikan nafas uzur dan terbatuk-batuk. Penumpangnya berdesakan. ‘Tubuh’ oplet tua yang terbuat dari kayu itu berderit-derit. Jendelanya seperi jendela kereta api kuno yang jika akan ditutup, bingkainya diangkat ke atas dengan mengangkat semacam handel berlubang atau cekungan sebesar sekitar 5 cm, terbuat dari alumunium, cukup untuk memasukkan 4 buah jari.
Bedanya, jendela keretaapi terbuat dari kaca berbingkai besi atau alumunium, sedangkan jendela oplet tua itu terbuat dari plastik tebal yang kerap dipakai sebagai taplak meja makan dan bingkainya terbuat dari kayu. Jika kita bersandar, siap-siaplah untuk punggung terjepit. Karena jika mobil melintasi jalan berlubang, maka oplet terguncang dan jendela tersentak turun.. jegleeg!
Seorang mbak cantik, mungkin karena takut rambutnya yang sudah diblow tertiup angin (padahal blow artinya tiup, ya? haha ), menutup jendela oplet. Aku ingatkan: “Hati-hati mbak, gak usah nyender”. Tapi si mbak menatapku, jutek, tak bersuara, tak tersenyum.., lempeng. Tatapannya seolah-olah berkata: “Punggung, punggung gw.. mau nyender atau gak urusan apa sama lo. Urus aja punggung lo sendiri!”.
Tak lama kemudian, oplet terguncang karena lubang. Jendela turun…jegleg! Punggung si mbak terjepit! Aauwww! Meringisnya tertahan. Penumpang lain yang melihat peristiwa itu, menahan senyum.
Menjelang sampai di tepi jalan menuju ke rumahku, tiba-tiba ada bus “Ajiwirya” berjalan ugal-ugalan mengambil jalan berlawanan. Sopir oplet (dan tentu saja kami semua terkejut). Sopir membanting stir. Oplet oleng ke kiri. Terguling ke selokan, persis di depan pemakaman. Oplet terbelah.
Kendaraan tua berbadan kayu itu betul-betul terbelah. Terlepas, terpisah dari ‘ruang pengemudi’. Untunglah kami tak apa-apa. Cuma luka-luka ringan, lecet-lecet atau benjol.
Orang-orang berlarian, merubung untuk menolong dan ‘menonton’. Mereka heran, karena alih-alih kami mengerang-ngerang dan meringis.., kami malah tertawa-tawa setelah ‘tumpah’ dari oplet tua yang terbelah…
(Aries Tanjung)