Oleh NESTOR RICO TAMBUN
Beberapa orang berkomentar heran dan bertanya kepada saya setelah membaca esei “Manghuling Mudar… Menghidupkan Jiwa Batak.” Iya, kok bisa segitunya, ya Bang? Banyak sekali perusahaan di Indonesia ini, tapi nggak begitu amat. Orang Batak pintar-pintar dan hebat-hebat, kok itu bisa berlangsung sampai 35 tahun? Apa yang bisa membuat begitu, Tulang? Begitulah inti komentar heran dan pertanyaan-pertanyaan itu.
Saya tak bisa memberikan jawaban pasti. Tapi, yang pernah ditulis bere Fitzerald Kennedy Sitorus di facebook ini, menanggapi tulisan lae Suhunan Situmorang mengenai konflik-konflik dan masalah sosial akibat Pilkada di Bonapasogit, mungkin bisa memberi gambaran jawaban.
Menurut bere Fritz, doktor filsafat dengan predikat magma cum laude dari Universitas Goethe, Frankfurt, Jerman, konflik-konflik yang kini banyak melanda orang Batak, salah satu contoh konkret dari apa yang dikatakan oleh filsuf Habermas mengenai patologi masyarakat modern. Berikut kutipan lengkap tulisan DR. Fritz:
Sekalipun mungkin hingga tingkat tertentu masyarakat Tapanuli atau Tano Batak masih hidup secara tradisional tapi sekarang, dari segi nilai, mereka hidup dalam dunia dengan nilai-nilai modern tertentu. Patologi atau penyakit sosial ini terjadi karena dinamika masyarakat tidak berlangsung secara wajar, atau dalam bahasa Habermas: kolonisasi dunia kehidupan oleh dunia sistem (Kolonialisiserung der Lebenswelt durch die Systemwelt).
Berdasarkan tujuan dan orientasi-orientasi tindakan, masyarakat, kata Habermas, terdiri dari dunia sistem (Systemwelt) dan dunia kehidupan (Lebenswelt). Kedua dunia ini berbeda. Dunia sistem adalah dunia dimana orang bertindak dengan berorentasi pada hasil, bersifat pragmatis, untung-rugi. Rasionalitas yang berlaku di sini adalah rasionalitas instrumental.
Contoh dunia sistem adalah kegiatan jual-beli di pasar, dunia birokrasi, dunia ilmu pengetahuan, politik. Dalam masyarakat modern dunia sistem ini ditentukan oleh uang. Artinya uang berperan penting dalam meregulasi dan menentukan sukses sebuah tindakan. Tapi dalam masyarakat primitif ada juga dunia sistem, misalnya tukar-menukar di “pasar“ diatur oleh tindakan yang berorientasi hasil.
Sementara dunia kehidupan adalah dunia kultural, dunia kekerabatan, dunia asli komunitas itu sendiri. Hubungan kekeluargaan, parsahutaon, adat istiadat, agama, termasuk dalam dunia ini. Orientasi tindakan di sini bukan untuk hasil-hasil pragmatis untuk kepentingan sendiri atau kelompok, melainkan demi saling pehamaman bersama, harmoni, solidaritas. Nilai-nilai kelompok, nilai-nilai kebudayaan, moral/etika dihayati, dipelihara, dikembangkan dan diwariskan di sini. Dalam konteks ini kita bicara mengenai nilai-nilai Habatahon atau nilai-nilai agama, misalnya.
Dalam masyarakat pra-modern, nilai-nilai dari dunia kehidupan masih mempengaruhi nilai-nilai dunia sistem. Artinya, bagaimana orang berperilaku di pasar, itu sangat dipengauruhi oleh nilai-nilai kelompok dari mana ia berasal. Contoh konkretnya adalah buku Max Weber mengenai bagaimana nilai-nilai Protestan (dunia kehidupan) mempengaruhi semangat kapitalisme (dunia sistem) yang 1berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan kita atau para politisi pada awal kemerdekaan dulu, saya pikir masih berhasil mentransfer nilai-nilai kultural dari dunia kehidupan ke dalam dunia sistem (politik dan ekonomi). Itu terlihat dari bagaimana mereka berpolitik secara santun dan bermartabat. Idealnya memang nilai-nilai dunia kehidupan harus dapat menentukan atau mempengaruhi nilai-nilai dalam dunia sistem, atau paling tidak saling berdialektika.
Persoalannya dalam masyarakat modern, kata Habermas, adalah terjadinya kolonisasi dunia kehidupan oleh dunia sistem (Kolonialisierung der Lebenswelt). Artinya, dunia sistem yang berprinsip pragmatis, berorientasi hasil, untung rugi dan instrumental itu menjajah dunia kehidupan. Sehingga dunia kehidupan yang tadinya berprinsip harmoni, kelestarian tradisi, solidaritas, pengutamaan dan perawatan nilai-nilai kultural itu kemudian menjadi diatur oleh prinsip-prinsip sistem yang egois dan berorientasi sukses itu.
Dalam era yang disebut dengan Neoliberalisme sekarang, memang hampir tidak ada lagi bidang kehidupan masyarakat yang bebas dari pengaruhi nilai dari dunia sistem. Pendidikan dan agama (dunia gereja) misalnya justru telah diatur melalui prinsip-prinsip dunia sistem. Padahal, yang ideal adalah, sebaliknya. Hubungan-hubungan sosio-kultural (dunia kehidupan) juga telah diregulasi atau dilihat berdasarkan kaca mata nilai dunia sistem (untung-rugi), jadi seperti hubungan antara pedagang – pembeli di pasar. Koloniasi dunia kehidupan oleh dunia sistem itu sangat nyata terjadi dalam kegiatan Pilkada (dunia sistem) yang merusak nilai-nilai dunia kehidupan, sebagaimana yang banyak terjadi di Tano Batak.
Akibat dari penjajahan dunia sistem atas dunia kehidupan ini, kata Habermas, adalah rusaknya tatanan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat, karena yang berlaku kemudian adalah nilai dari dunia sistem. Semua diatur dan diukur berdasarkan sukses, materi. Akibat dari keterjajahan dunia kehidupan ini dapat terlihat jelas dalam tiga bidang: bidang kebudayaan, individu dan sosial.
Dalam bidang kebudayaan terjadilah situasi hilangnya atau tumpulnya nilai sebagai pegangan dalam bertindak, hilangnya penghargaan terhadap tradisi (karena dianggap tidak berfungsi lagi). Dalam bidang individu, akibat yang terjadi adalah krisis pendidikan dan orientasi, karena tidak ada lagi pegangan nilai dalam bertindak. Akhirnya orang menjadi aneh-aneh, seperti tulisan Tulang Nestor Rico Tambunan beberapa waktu lalu, mengenai pesta-pesta di bonapasogit yang tidak jelas lagi didasarkan atas prinsip atau nilai apa.
Dalam bidang kehidupan sosial, ia mengakibatkan hancurnya solidaritas (karena nilai/tradisi pengikat bersama sudah hilang). Itulah yang disebut Habermas dengan patologi modernitas. Dan menurut saya itulah yang terjadi di masyarakat Batak di bonapasogit (atau mungkin juga di hampir semua daerah lainnya di Indonesia).
Bagaimana mengatasi hal ini? Habermas memberikan obat yang tapi mungkin menurut kita kurang manjur. Yakni bahwa itu tergantung pada komunitas itu sendiri, yang harus sungguh-sungguh menyadari krisis yang sedang terjadi dan lalu secara komunikatif, bersama-sama dan tanpa bermaksud untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, membicarakan cara bagaimana menjinakkan penjajahan dunia sistem atas dunia kehidupan tersebut. Tapi, masih mungkinkah?
Semoga teman-teman yang berkomentar heran dan bertanya, atau siapapun, jadi bisa memahami kenapa satu wilayah, satu suku bangso bisa seperti dilecehkan satu perusahaan yang tidak terlalu hebat (sebagai perbandingan saja, pabrik pulp di Riau sebelas kali lebih besar dari pabrik TPL), dari artikel ringkas dan lugas ini. Penjajahan dunia sistem terhadap dunia kehidupan ini bukan hanya terjadi di negerti kita, terjadi di seluruh dunia, dan sedihnya termasuk di bonapasogit dan di tengah bangso kita. Horas!