HANDRAWAN NADEZUL
Tempat ibadah selalu penuh, namun yang korupsi tetap saja tidak berkurang. Mereka mengaku beragama, tapi tingkah lakunya masih saja orang sangsikan apa takut akan Tuhan.
Agama itu ibarat sekolah iman. Makin naik kelas iman seseorang, makin khusyuk beragamanya. Tak cukup hanya bersikap religius, terlebih perlu punya spiritualitas tinggi.
Orang religius masih merasa perlu memperlihatkan label agama. Pakai kalung salib, pakai kostum agama, supaya kelihatan label agamanya. Tidak demikian halnya dengan orang berspiritualitas tinggi. Orang dengan spiritualitas tinggi, berdoa, memberi, berderma, tak perlu ada orang lain yang melihat. Orang religius percaya Tuhan ada. Tapi bagi orang spiritualitas tinggi Tuhan hadir.
Mannernya Bukan Orang Terpelajar
Orang religius saja belum tentu terbilang orang baik. Keluar dari beribadah bisa saja marah-marah karena misalnya, mobilnya disenggol, atau menunjukkan sikap tak bersahabat kepada tukang parkir, atau satu jemaah, tapi tidak menyapa.
Dalam kehidupan mereka belum tentu juga beretiket. Perilakunya seperti bukan orang beragama, banyak tata cara, unggah-ungguh yang terlewatkan. Tergolong orang sekolahan tapi manners-nya seolah bukan orang terpelajar. Sopan santun berlalu lintasnya, cara merespons WA-nya, atau kebiasaan bertegur sapa, tidak menunjukkan orang yang religius. Serukun tetangga tapi tidak menyapa.
Saya acap menemukan orang-orang senior, orang beragama, tokoh, tapi abai mengucapkan terima kasih, meminta maaf, atau mengucapkan kata tolong ketika meminta bantuan. Dalam dunia pendidikan, sejatinya ini tiga pilar kesantunan elementer kita bergaul internasional yang universal, yang ditanamkan guru dan orangtua semasa sekolah perdana: perlunya membangun kebiasaan berterima kasih, meminta maaf, dan mengucapkan kata tolong. Konon kalau sudah luput membangun karakter elementer, ada ungkapan lebih sukar mendidik anak antre ketimbang mengajarkan matematika.
Orang Baik Belum Tentu religius
Kita menyangsikan kalau ada orang yang taat beragama, khusyuk beribadah, tapi tidak beretika, tidak beretiket, dan buruk kelakuannya. Sungguh mengherankan kalau sehari-hari rajin berbicara ayat-ayat kitab suci, tapi utang tidak membayar, misalnya.
Hanya apabila orang punya spiritualitas tinggi, tak cukup hanya religius saja, di situ kita menemukan sosok orang baik. Orang baik belum tentu religius, namun bisa saja mereka percaya kalau Tuhan ada. Ini urusan pribadi. Di banyak tempat, negara tidak berhak ikut campur urursan manusia dengan keniscayaan pribadinya akan Tuhan.
Orang religius dan orang baik itu diciptakan oleh pendidikan. Ada proses internalisasi nilai sejak sekolah perdana selain dari nasihat orangtua. Itu pentingnya memilih sekolah perdana yang mumpuni, demi terciptanya karakter, dan sehatnya kepribadian anak.
Dalam mendidik, secara kejiwaan kita mengenal proses internalisasi “hidup berdisiplin”. Artinya, membangun empat pilar dalam karakter anak didik, yakni menjunjung tinggi kebenaran, menerima tanggung jawab, menunda kepuasan, dan hidup seimbang dunia-akhirat.
Dengan menjunjung tinggi kebenaran, berarti menjauhkan anak didik dari sikap culas. Ada sekolah yang mewajibkan anak menuliskan komitmen, ikrar, tidak menyontek, dan bila menyontek dikeluarkan dari sekolah. Ini cara membangun sikap hidup tidak serong, tidak korup.
Menerima tanggung jawab, berarti memastikan yang dikerjakannya dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan di alur yang benar, maka berani mempertanggung jawabkan apa yang sudah dikerjakannya. Menunda kepuasan berarti mendahulukan prioritas dalam hidup, dengan cara demikian, target keberhasilan akan lebih mudah teraih. Dan pilar keempat, hidup seimbang dunia akhirat, agar pilihan hidup tidak kemaruk, hidup yang ugahari, tidak terlalu duniawi sehingga terjebak dalam hidup yang “treadmill hedonisme”, hidup yang terus tak putus mengejar duniawi, tapi kebahagiaan hidupnya hanya lari di tempat.
Aura Orang Baik
Pendidikan tata nilai non-formal juga diwarisi oleh filosofi kearifan lokal. Semua ditujukan untuk menjadikan anak manusia sebagai insan yang mulia, insan yang luhur. Dengan cara demikian, orang baik diciptakan.
Orang baik memancarkan energi positif, menjauhkan energi negatif. Berada di sekitar, dan bergaul, bersahabat dengan orang baik, menyehatkan jiwa. Tidak demikian berada di aura orang tidak baik. Mereka memancarkan energi negatif. Merekalah toxic person yang bikin orang lain tidak nyaman. Mereka yang hidupnya penuh dengan rasa iri dengki, pembenci, kepribadian hostil, yang bikin orang lain tidak merasa nyaman bersamanya.
Sekarang kita bisa menilai, siapa sosok seseorang yang kita jumpai dalam hidup, yang kita kenal. Nilai mereka ada pada status spiritualitasnya, pada norma beretikanya, beretiketnya, unggah-ungguhnya, dan semua manners yang disepakati pergaulan dunia, telah menjadi bagian dari karakter dan kepribadiannya.
(Gambar ilustrasi Energi Positif-Negatif mengutip dari akun sahabat Setya Alarsyadi)
Tulisn Menarik Lain : Muhammad Pakai Mukenah Dituduh Penista Agama
Di Joglo Palereman Kelun Madiun Makan Enak Tak Bikin Kantong Bolong