Seide. id – Saya tidak pernah takut dikritik anak sendiri. Karena saya bukan penganut aliran orangtua yang selalu merasa paling benar.
Yang saya takutkan adalah kalau dia alergi ngobrol sama saya. Males minta pertimbangan dan saran saya.
Dulu yang paling saya sukai dari bapak saya, enak diajak ngobrol dan tidak suka terlalu mengatur atur. Kalau dimintai pertimbangan, tidak pernah maunya dia. Tapi yang saya maui kayak apa.
Ketika saya sudah bisa mengaji dan sholat, bapak tidak peduli dan tidak pernah maksa maksa kalau saya tiba-tiba tidak mau ngaji atau tidak mau sholat. “Itu urusanmu sama Tuhan. Mau jadi preman atau jadi manusia begajulan, itu pilihanmu. Yang penting ketika kamu sadar dan kembali ke jalan yang benar, kamu bisa melakukan sendirian tanpa minta bantuan orang lain.”
Bapak saya walau tidak paham parenting, tapi sadar betul bagaimana menjadi orangtua. Sadar betul bahwa suka mengeritik dan melarang ini itu, tidak baik buat masa depan anak. Sadar betul bahwa membanding-bandingkan anak yang satu dengan yang lain, juga gak bener.
Dan ini yang paling penting, bapak saya tidak pernah memberi nasihat ketika tidak saya minta. Bapak tahu betul, anak-anak butuh dinasihati, butuh arahan, tapi bukan dalam bentuk perintah. Apalagi saya tipikal yang kalau dikasih nasihat berbau perintah malah jadi membangkang.
Dan yang tak kalah pentingnya, jangan pernah membual kepada anak-anak. Misalnya, “Dulu waktu bapak seusiamu bapak sudah… bla bla bla…”. Apalagi cerita itu sering diulang-ulang, pasti lama-lama bikin eneg dan menjengkelkan si anak.
Anak-anak butuh teladan orangtuanya. Tapi orangtua juga butuh mengevaluasi dirinya bagaimana mengajarkan hal baik pada buah hatinya, supaya mereka kelak menjadi anak-anak yang tangguh.
Melihat penampilan Alam Ganjar, di satu sisi dia terkesan jiplakan orangtuanya. Tapi di sisi lain dia juga terlihat sebagai anak yang keras, cerdas, dan berani menempuh jalan hidup sendiri.
Contoh termutakhir tentu saja Kaesang Pangareb yang baru saja didapuk jadi Ketua Umum PSI. Apa ini sebuah pembangkangan terhadap orangtuanya yang PDIP itu?
Kalau dilihat dari kaca mata jaman orba, jaman Golkar jaya-jayanya di bawah Pak Harto, jawabannya iya. Orang seperti Kaesang bukan saja dianggap membangkang orangtuanya, tapi juga dianggap membangkang pemerintah, dengan konsekuensi bapaknya bakal dikucilkan dan dipersulit hidupnya.
Saya tidak tahu apakah di PDIP atau partai lain pada umumnya punya aturan bahwa setiap anggota partai, keluarganya otomatis dan harus ikut partai itu? Kalau iya. Orba sekale.
Yang jelas saya banggalah melihat anak-anak muda yang tidak mau jadi tulang ekor atau jadi bulu ketek bapaknya. Silakan lihat, siapa anak ketua partai yang anaknya tidak seperti itu? Baru satu orang.
Namanya, Didit Prabowo. Jangan salah, buat saya Didit ini sebagai pribadi hebat. Dia berani memilih jalan hidupnya sendiri. Tidak tertarik nempel-nempel dan mencari kekuasan di partai milik bapaknya. Bodo amat apa kata netijen tentang dirinya.
Bagaimana dengan Kaesang? Walau akhirnya terjun ke partai, pengusaha muda ini ternyata tidak tertarik ikut ke partai pilihan bapaknya, kakaknya, atau kakak iparnya. Dia memilih partai baru yang kedepan ketua partainya bisa siapa saja.
Terlepas dari bapak Kaesang yang presiden itu, minimal Jokowi, Ganjar, dan Prabowo, eh bapak saya jugalah, sebagai orangtua yang sudah memberi contoh bahwa jadi orangtua sebaiknya lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Kata penulis dan psikolog Amrik, Sean Grover, dengarkanlah cerita anak-anakmu tanpa penilaian, tanpa referensi diri, tanpa saran, dan perhatikan baik-baik tanggapannya. Kelak mereka akan jadi pemuda yang tangguh, berani, dan mandiri.
Pokoknya saya senang dan bangga melihat fenomena mulai banyak tumbuh orang-orang muda calon pembawa kemajuan bangsa.
Ilustrasi: Kaesang, Alam, Didit, Gilang anak saya
Ramadhan Syukur