Sesungguhnya orang-orang dengan kekayaan besar harus bertanggung jawab secara sosial dan menggunakan aset mereka untuk membantu orang lain. Orang-orang kaya wajib mengembalikan uangnya kepada masyarakat. Tapi apa yang dikembalikan oleh para triliuner kita kepada rakyat yang ketagihan rokok, mie instan, dan kebutuhan membeli minyak goreng – yang bisnisnya selama ini mereka monopoli?
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
DI INDONESIA, orang orang kaya dan superkaya melipatgandakan kekayaannya dari merogoh dompet orang miskin dan paling miskin. Ada 65,7 juta perokok di negeri kita saat ini. Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah perokok paling tinggi. Jutaan orang, yang didalamnya juga jutaan penganggur, pekerja tak tetap, dengan penghasilan pas pasan, ketagihan merokok, dan membeli ketengan, yang pada ujungnya membuat orang orang paling kaya di Indonesia terus bertambah kaya.
Puluhan juta bahkan ratusan juta lainnya menkonsumsi miliaran bungkus mie instan selama bertahun tahun . Pada 2019 saja, konsumsi mi instan penduduk Indonesia mencapai 12,6 miliar bungkus setahun. Anak anak kost, kaum pas-pasan dan bahkan warga klas menengah menyiapkan stok mi instan di dapur masing masing untuk memastikan tidak kelaparan di malam hari, atau cadangan di saat kiriman orangtua seret.
Siapa pemilik industri mi instan? Dan dari akumulasi belanja orang seIndonesia – bahkan dunia – yang triliunan itu membuat pengusaha mie instan tetap anteng di jajaran terkaya di Indonesia.
Ibu ibu di kampung harus belanja sembako untuk harian, menyediakan minyak goreng, yang kesemuanya diproduksi industri yang dimiliki oleh orang paling kaya di Indonesia.
Jangan lupakan anak anak yang ketagihan kuota untuk hape mereka dan bagi yang cukup umur wajib memegang ATM untuk menarik dari bank yang dimiliki sahamnya oleh konglomerat juga.
Apa yang menjadi balasan para konglomerat kepada orang orang miskin itu ? Untuk kemakmuran yang mereka peroleh apa tanggapan balik para konglomerat terhadap rakyat Indonesia, konsumen produk mereka – selama bertahun tahun ini?
Apa yang mereka lakukan terhadap para perokok, yang keracunan paru parunya?
Apa imbalan balik para konglomerat terhadap emak emak yang harus menyisihkan jatah belanja untuk membeli minyak goreng, gula, yang sumbernya dikuasai oleh konglomerat itu.
Ya, mereka melakukan CSR – Corporate Social Responsibility – tapi atas nama perusahaan. Untuk pencitraan. Sedangkan kekayaan pribadi tak terusik. Sehingga kekayaan mereka dari tahun ke tahun terus bertambah.
Mereka membuat yayasan-yayasan yang konon untuk mengurangi kewajiban pajak. Mereka mendonasi kegiatan olahraga, konon juga, untuk mencuci uang haramnya.
Mereka menjalin hubungan baik, berteman, berbagi dan menyogok penguasa, politisi, pengacara, penegak hukum dan preman, yang semuanya melindungi dan mengamankan bisnis mereka.
Apa yang mereka berikan kepada orang orang miskin di jalan dan pelosok desa yang memperkaya mereka?
SEMAKIN kaya seorang manusia, maka semakin tamaklah dia. Ini berlaku di seluruh dunia. Indonesia tak terkecuali. Skandal Panama Papers (2016) dan Pandora Papers (2021), yang sedang heboh belakangan ini – menegaskannya.
Alih alih berbagi kepada sesama atau saudara sebangsa yang tengah membutuhkan, orang orang yang sudah kaya raya malah melarikan kekayaannya ke luar negeri, mencucinya, menyembunyikannya, melipatgandakannya – semata mata untuk kepentingannya sendiri. Dan keluarga besarnya, tentu.
Bahkan untuk sekadar melakukan kewajibannya, membayar pajak pada negara – yang terus berutang ke luar negeri untuk menomboki pembangunannya – mereka memanipulasinya. Berupaya menghindarinya. Ngemplang pajak.
Jangan kata lagi membalas keberuntungannya kepada rakyat jelata yang menggantungkan pada produk industri mereka?
Kapan cukup dirasakan cukup ? When enough is enough?
Teori-teori ekonomi nyaris tidak memberi peluang bagi nilai tambah kemanusiaan, sampai dirasakan manfaatnya. Orang-orang superkaya yang bertahan pada prinsip prinsip ekonominya, terus mengenggam uangnya ketat-ketat di tengah krisis ekonomi kita di Indonesia, saat ini.
Mereka aman nyaman dalam perlindungan elite penguasa dan politik yang memerlukan uang sogokan. Jatah preman dan perlindungan, yang datang berganti ganti dengan bermacam ambisi, tapi dengan watak yang sama: minta bagian.
Saat kerusuhan sosial terjadi, mereka yang pertama lari keluar negeri. Kabur, membawa asetnya. Saudara saudara mereka yang hidup dari toko kelontong di pinggir jalan – bagi sebagian besar merupakan satu satunya aset yang mereka miliki – menjadi pelampiasan massa. Dibakar habis. Sedangkan para konglomerat dan kaum superkaya kita aman nyaman nun di negeri jauh sana.
Dan ketika negara aman, mereka balik lagi tanpa rasa bersalah. Menyalahkan massa rakyat yang beringas. ***