Orang Sukses, Cerdas Imu Membawa Diri

Seide.id -Dari mana kita belajar membawa diri? Dari nasihat dan wejangan rumah semasa kita kecil, selain dari sekolah, dan dari pergaulan. Anak Jepang menghabiskan 4 tahun untuk dibekali tata nilai, hormat pada orang lain, unggah-ungguh, tata krama, serta kesantunan.

Sekolah tinggi, IQ tinggi, kaya raya, belum jaminan sukses dalam hidup. Karier bisa putus gara-gara kurang tahu diri. Banyak yang tidak sadar kalau dirinya kurang tahu diri, kurang cerdas membawa diri.

Repotnya kalau yang tidak sadar tidak tahu diri ini sudah dewasa, sudah berumur, terlebih kalau sudah berstatus tinggi, punya otoritas, siapa yang mengingatkan kalau dirinya tidak elok. Kalau adapun yang mengingatkan belum tentu digubris.

Sudah bersatus anggota DPR, misalnya, apalagi kalau merasa statusnya paling hebat, salah pun merasa benar sendiri. Tengok ada cara bicara oknum anggota DPR di depan umum yang tak elok, bahkan mendebat senior mantan menteri, melecehkan para pembantu presiden, sampai presidennya sendiri. Sudah konten yang didebatnya gagal paham, kurang elok pula cara bicara dan tingkah polahnya terasa petantang petenteng. Bicara benar pun kalau tak elok cara bicaranya, rakyat belum tentu bersimpatik.

Nah, kalau nama besar berstatus tinggi tak elok membawakan dirinya, siapa yang mengkoreksinya. Tidak ada yang berani menegur, mengingatkan, apalagi menasihati.

Hanya apabila ada hierarki dalam karier, secara sistem tentu bisa ditegur dengan sanksi administrasi, bila tidak etis. Tapi apa sanksinya kalau kurang tahu aturan, tidak tahu diri, tidak beretiket?

Siapa yang menghukum kalau kurang beretiket, bertata krama, tak elok pembawaannya? Kita masih melihatnya ada oknum di kalangan wakil rakyat setelah kita melihat dan mendengar pembawaannya di forum dan media massa. Menyaksikan ulah polah seperti itu, kita hanya bisa mengelus dada. Tidak ada hukumnya bertingkah tak elok. Hukum sosial saja, yang bisa dipermalukan publik.

Bila berada dalam suatu hierarki itu, ada otoritas yang lebih tinggi bisa memecat bawahannya, bukan saja kalau tidak beretika dalam profesi maupun pekerjaannya, termasuk bila tingkahnya tidak beretiket, tidak berunggah-ungguh. Presiden bisa memecat pembantunya, juga kalau tidak tahu diri, buruk pembawaannya. Pintar, cerdas, rajin, jujur saja belum tentu jaminan bisa bertahan dalam status terbaiknya bila tidak beretiket. Ngono yo ngono ning ojo ngono. Caranya itu lho. Jangan begitu caranya.

Itu berarti hal di luar siapapun dia, kalau tidak tahu aturan, kurang cerdas membawa diri, bisa tumbang juga kariernya. Dalam Kabinet Jokowi saya membaca sudah ada korbannya.

Dalam perusahaan, CEO sekalipun bisa dipecat pemilik perusahaan, bila sampai ke tingkat status CEO pembawaannya yang buruk itu, yang tak elok itu, tidak ada yang mengkoreksi. Sok, arogan, tidak berempati, ego tinggi, kurang hormat pada orang lain, hanya bisa digulingkan oleh kekuasaan yang lebih tinggi, bila tidak ada orang sendiri yang mengingatkan sebelum terlanjur ditumbangkan.

Tapi pembawaan buruk itu bagian dari karakter. Karakter diciptakan. Itu maka sekolah perdana anak menentukan apakah karakter anak kelak akan elok, termasuk beretiket.

Dalam pembawaan yang buruk juga terkandung kecerdasan emosi (EQ: Emotional Quotient) yang peranannya bisa lima kali lebih menentukan dibanding peranan IQ dalam sukses hidup. Misal, mengambil keputusan saat sedang emosi, bisa menumbangkan karier. Misal, ungkapan emosional “Kalau bukan kamu yang keluar, aku yang keluar”, itu keputusan emosional, yang bila terjadi merugikan diri, yang emosional bisa kehilangan status dan jabatan yang mungkin sudah tinggi.

Saya suka miris dan aneh menyaksikan banyak tokoh, nama besar, seleb, menteri, wakil rakyat, siapapun, ada yang kurang atau malah tak elok pembawaannya. Bukan saja bikin tidak simpatik, malah bikin muak.

Jadi cerdas saja tidak cukup untuk sukses hidup, dan untuk mempertahankan kesuksesan, kalau pembawaannya tak elok, tidak tahu diri, tidak santun tidak pantas. Itu maka banyak nama besar yang belum tentu orang besar. Politikus mumpuni belum tentu negarawan kalau tak elok pembawaannya.

Bangsa ini butuh insan yang paripurna, yang bukan saja cerdas isi kepalanya, melainkan juga elok pembawaannya. Banyak orang sukses yang IQ rata-rata saja, hanya lulusan sekolah biasa, lulus dengan hasil biasa saja, tapi dipakai oleh pemilik perusahaan sepanjang hayatnya, atau dipercaya konglomerat sampai uzur umurnya, karena memang cerdas membawa diri, tahu menempatkan diri. Inilah yang disebut orang yang memiliki IQ sosial tinggi. Kemampuan yang tidak bisa dipelajarkan, selain internalisasi sejak masa kecil lengkap bekal beretika dan beretiketnya, luwes hubungan antar manusia (human relationship), pandai bergaul.

Salam hidup sukses,
Dr Handrawan Nadesul

Empat Penyakit yang Bisa Bikin Tekor BPJS yang Tak Perlu Kita Alami

Avatar photo

About Handawan Nadesul

Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet