Sudah lama, ulama yang sesungguhnya mempersoalkan organisasi ini. Kini terbukti tokoh teroris dan kaum radikal bersarang di sini.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
KINI terkuak mengapa pengurus teras ormas MUI – Majelis Ulama Indonesia – cenderung alergi pada Densus 88 dan menuntut lembaga anti teroris ini dibubarkan. Petinggi MUI didukung politisi oposisi selalu mengalihkan perhatian aparat pada konflik Papua dan daerah lainnya, agar mengganggu kenyamanan para agamawan di sana.
Terbukti kini, MUI menjadi sarang radikalis dan teroris. Seorang pengurus di antaranya ditangkap, boleh jadi akan menyusul lainnya.
Sikap tegas aparat – khususnya Densus 88 – pada teroris harus kita apresiasi. Mengorbankan satu, 10, bahkan 100 ulama radikal dengan pendukungnya tidak masalah, demi menyelamatkan bangsa dengan 270 juta warganya dan keutuhan NKRI.
Tanpa MUI Indonesia baik baik saja. Ada Nahdatul Ulama dan cendekiawan muslim lain – ulama yang sesungguhnya – yang bisa menerima negara kesatuan dalam bingkai NKRI, menerima UUD 1945, merah putih dan ideologi Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Membangun masyarakat yang toleran dan setara bagi semua agama dan penganut keyakinan yang ada.
Mari kita belajar dari konflik di Suriah, Yaman dan Libya. Banyak tokoh ulama di sana, tapi tak berdaya melawan kaum radikalis. ISIS, Al Qaeda, Taliban lebih berkuasa. Juga Palestina dengan Hamas-nya. Akhirnya menjadi negara konflik, bahkan gagal. Mudah diadu domba oleh elit politisi yang memiliki kepentingan, negara asing dan korporasi yang ingin memanfaatkan sumber daya alam, dengan mengadu domba penduduknya. Mengobarkan konflik lewat perbedaan suku dan aliran agama mereka.
Di sini, sudah lama kita dijajah oleh tokoh tokoh penjual akidah, syariah yang mengatur masyarakat dan negara sesuai kemauan mereka, berkedok ayat ayat.
Setelah kontrak kontrak pengelolaan migas dari negara asing, korporasi global, direvisi dan sebagiannya jatuh ke dalam negeri, sebagiannya tak bisa menerima. Mereka menggunakan proxy – politisi lokal dan orang orang berpengaruh sebagai kepanjangan tangan untuk kepentingan mereka – dengan menciptakan ketidakstablian, membangun kebencian pada pemerintah yang sah, menjatuhkan presiden, dan mencari celah untuk kembali.
Para politisi oposisi, orang orang parlemen dan ormas ormas radikal serta MUI termasuk dalam jaringan yang dijadikan proxy tersebut.
MUI – Majelis Ulama Indonesia – dibentuk oleh rezim Soeharto pada 16 Juli 1975, sebagai bagian dari “politik wadah tunggal” – agar mudah dikontrol pemerintah dan penguasa rezim. Tokoh yang mendesaign adalah Ali Moertopo, tangan kanan Soeharto. Wadah tunggal seperti PWI, IDI, KNPI, SPSI merupakan organisasi persatuan – organisasi yang dianggap sah – yang menampung wartawan, dokter, dan pemuda, serikat pekerja, dimana pengurusnya harus direstui rezim dan kemudian dikendalikan.
Wadah wadah tunggal itu difasilitasi dan dimanjakan pemerintah agar mengikuti maunya rezim penguasa masa itu. Tokoh tokohnya masuk parlemen. Mereka kemudian berjasa dalam setiap Pemilu, menjelang pergantian pemerintah, selalu ada “pernyataan sikap” mendukung kelanjutan pemerintahan Suharto sehingga pemerintahan rezim Orde Baru bertahan hingga 32 tahun.
Dalam perkembangan, setelah rezim Suharto jatuh di tahun 1998, MUI tidak melakukan merubahan dan mereformasi diri – tetap mengabdi pada pewaris Suharto dan keturunannya. Langsung atau tidak langsung “orang orang Suharto” masih mengatur MUI. Sehingga muncullah sosok ulama yang anti pemerintah reformis, karena pemerintah reformis giat mengusut kasus kasus di keluarga Soeharto.
MUI adalah kumpulan wakil ormas, bukan kumpulan ulama. Sudah lama, ulama yang sesungguhnya mempersoalkan organisasi ini. Kini terbukti tokoh teroris dan kaum radikal bersarang di sini.
Saatnya MUI dibubarkan atau mereformasi diri. Mengganti ulama yang politis menjadi ulama toleran pecinta perdamaian. Bukan penjual label halal untuk memperkaya diri sendiri. Dan menjadi agen asing, yang menyebarkan nilai nilai intoleran radikal. Atau ormas yang dimanfaatkan oleh politisi politisi oposisi dan asing yang berkepentingan dan mengancam eksistensi negara. ***