Oleh DAHONO PRASETYO
PADA sebuah halaman masjid? seusai Sholat isya’, kami ngobrol sambil menikmati teh.
“Sebelum memulai dialog, kita mesti sepakat dulu bahwa hakekat manusia adalah mahluk sosial. Gimana sepakat?” kataku mencoba mengarahkan sudut pandangnya.
“Oke, mahluk sosial yang beragama, ” jawabnya tegas.
“Cukup mahluk sosial dulu. Kita berbicara ribuan tahun lalu ketika agama belum lahir. Oke?” tukasku tak kalah tegas.
“Hmm.. ya oke, ” jawabnya setengah ragu.
“Jadi apa yang menjadi ukuran seseorang menjadi baik atau jahat ketika belum ada agama?”
“Ilmu, perbuatan dan perkataannya” jawabnya yakin.
“Baik, aku tambah lagi satu yaitu ke Iman atau keyakinannya pada kebaikan. Dimana kebaikan itu berkorelasi dengan manusia lainnya. Manusia tidak bisa hidup sendiri, bahkan untuk di anggap baikpun butuh manusia lain untuk mengakuinya”
“Ya, untuk itu diturunkanlah agama sebagai tuntunan manusia ke jalan kebaikan” ucapnya memotong kalimatku yang belum titik.
“Lantas sebelum agama diturunkan, apa tuntunanannya?” kataku balas memotong. Sesaat dia berkerut jidat sibuk mencari argumen.
“Nasihat nasihat baik dari para pendahulunya” jawabnya kemudian.
“Betul. Lantas pendahulunya dapat tuntunan dari mana? Pendahulunya lagi dan pendahulunya lagi? “
“Begini, Bung. Sebagai mahluk sosial, manusia direkatkan oleh nilai nilai toleransi saat belum diturunkan agama. Selanjutnya Agama turun demi menyempurnakan nilai nilai toleransi itu. Lengkap dengan pengetahuan kepada sang Penciptanya, ” jelasku kemudian.
Sejenak dia terdiam, barangkali setuju dengan logikaku
“Tapi, Bung, agama yang terakhir dan terbaik sekaligus penyempurna ajaran sebelumnya adalah Islam. Janji Tuhan seperti itu, ” katanya kemudian.
“Betul, Bung. Islam yang tidak meninggalkan nilai nilai toleransi sebagai mahluk sosial. Anda tahu lambang salib?”
“Iya tahu, itu simbol keyakinan doa mereka, ” jawabnya.
“Bukan sekedar simbol. Kalau logika saya memahaminya sebagai garis vertikal horizontal. Vertikan kepada Pencipta, horizontal kepada sesama mahluk. Dalam Islam ada istilah Hablum Minna Allah dan Hablum Minna Naas. Berdoalah hanya kepada Tuhan dan berbaiklah kepada sesama”
“Jadi kesimpulannya apa, Bung?” tanya dia sambil beranjak berdiri.
“Yaaa.. kesimpulannya masing masing punya sendiri. Saya tidak berhak memaksakan kesimpulan sampeyan. Lha wong kita sama sama belum tentu masuk surga kok”
“Kalau Islam sudah dijamin masuk surga bung” jawabnya ringan.
“ Ooo gitu ya? Lha kalau begitu orang orang baik dan bijak yang hidup lalu meninggal sebelum Islam turun masuk mana? Alangkah tidak adilnya Tuhan jika mereka masuk neraka gara gara lahir di jaman purba sebelum ada Islam. Bukankah Tuhan itu Maha Adil dan Bijaksana?” jelasku lagi.
Pelahan dia duduk lagi, giliran aku yang berdiri
“Banyak jalan menuju Sorga Allah, asalkan selama di dunia kita tidak me-neraka-kan orang lain, membenci perbedaan dan memaksakan kehendak” kalimat terakhirku terhenti saat dia menatapku tajam.
“Kalau Albert Einstein, orang jenius yang bukan Islam itu bilang: Hidup itu ibarat naik sepeda, bisa melaju setelah kita bisa menjaga keseimbangan. Kita mau belok kanan atau kiri tetap yang terpenting adalah keseimbangan agar tidak jatuh terjerembab”
Penjelasanku meluncur begitu saja, tapi cukup menyimpulkan perbedaan dialog kami malam itu. Tanpa menang kalah, tanpa menyakiti.
Tiba tiba ingat nasihat lama, entah dari siapa : Bahwa setiap kita dilahirkan dengan harapan menjadi baik. Tumbuh dewasa lalu menjalani aneka persoalan. Dan ketika bertemu perbedaan, kita akan menjadi lebih baik atau justru menjadi jahat. ***