Refleksi oleh Belinda Gunawan
Pagi-pagi buta berangkatlah aku ke Misa pagi. Sendirian, karena waktu itu suamiku (sekarang almarhum) baru beberapa hari pulang dari perawatan di rumah sakit. Aku sengaja berangkat sebelum ia bangun, dengan harapan sudah pulang tak lama setelah ia terjaga.
Ketika itu belum zamannya taksi online, maka kendaraan yang bisa kuandalkan hanyalah bajaj. Berjalanlah aku sambil memasang telinga, kalau-kalau ada bajaj yang lewat. Tapi setelah menempuh jarak yang lumayan jauh, belum juga aku menemukan si roda tiga.
Di kejauhan sudah kulihat jalan raya. Dari situ, berbelok ke kiri kemudian ke kiri lagi, akan sampailah aku ke gereja. Sekalipun saat itu ada bajaj yang lewat, mungkin aku akan tetap berjalan kaki sebab sudah “tanggung”.
Ketika aku sampai di sebuah belokan di kiri jalan, di sisi lapangan, mendadak timbul keinginan untuk berbelok. Itu memang jalan pintas yang biasa ditempuh umat lingkunganku yang berjalan kaki ke gereja kami. Jalan di situ penuh kerikil, dan biasanya aku enggan melaluinya karena takut tergelincir.
Tapi pagi itu hambatan kecil tersebut tidak menciutkan niatku. Berjalan hati-hati tak jauh dari belokan, baru sadar aku, bahwa aku menuju ke arah timur, karena tampak di depanku … mentari pagi. Ia merekah dan mengintip dari balik rumah penduduk, menampakkan warnanya yang jingga berlatar belakang birunya langit dan beberapa gerumbul awan.
Teringat ketika aku dan suami ikut tur ke salah satu negara Asia Tenggara, dan pagi-pagi buta keluar dari hotel, bergegas menuju ke pantai menunggu matahari terbit. Kami berdiri di pasir, kadang kaki terhempas ombak yang naik lalu surut, hening menyaksikan sang surya pelan-pelan merangkak naik. Itu salah satu kenanganku bersama almarhum suamiku, yang sesekali melintas.
Masih berjalan menuju gereja, angin fajar berhembus semilir dan mengantarkan wangi yang khas. Aku menoleh dan tampaklah di halaman depan sebuah rumah penduduk, sepokok kemuning dipenuhi bunga-bunganya yang putih bersih.
Wangi kemuning yang khas mengingatkanku akan rumah keluarga kami semasa aku kecil. Di rumah sudut yang luasnya 500 meter persegi itu, ibuku memagari pekarangan depan dan samping dengan entah berapa banyak pohon kemuning.
Dengan telaten dan teratur Ibu memangkas pagar hidup itu supaya bentuknya tidak berubah, tapi menunda melakukannya bilamana kemuning sedang berbunga. Jadinya, rumah kami selalu wangi, apalagi bila ada hembusan angin.
Semakin jauh aku berjalan, semakin mereda wangi kemuning. Lalu kudengar keloneng lonceng bertalu-talu dari menara gereja, mengundang semua umat untuk datang ke rumah-Nya. Aku teringat pertanyaan cucuku kepada ibunya, “Mengapa kita harus ke gereja, kalau kita bisa berdoa di rumah?” Anakku menjawab dengan sigap, “Karena kedekatan harus dipelihara dengan selalu datang ke rumah Tuhan.”
Waktu akhirnya aku sampai ke gereja, keringat membasahi kudukku tapi hatiku terasa damai. Sinar mentari pagi, wangi kemuning, keloneng lonceng, kenangan manis, membuat indera-inderaku terbangkit dan terbuai berbarengan. Rupanya untuk pengalaman inilah, pagi ini aku “terpaksa” berjalan kaki. Terima kasih, Tuhan…. (BG)
Foto: Google
“Tubuh kita memiliki lima indera: peraba, penciuman, perasa, penglihatan, dan pendengaran. Tapi jangan diabaikan pula indera jiwa kita: intuisi, kedamaian, firasat, percaya, dan empati.” ― C. JoyBell C., penulis