PAJAK, DEMOKRASI DAN FEODISME

Negara berdaulat karena rakyat. Rakyat pula yang memilih pemimpin sehingga sistem pemerintah terbentuk. Kekuasaan dari rakyat dan untuk rakyat. Agar pemerintahan bisa berjalan sebagai sistem yang ada, maka wajar saja kalau rakyat pula yang harus mengongkosi sistem negara itu. Dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi anda pasti berhubungan dengan konsumi dan itu ada pajaknya. Siapapun kena pajak. Dari anak bayi sampai orang tua, dari yang sehat sampai yang sakit, dari yang cantik sampai yang ugly. Artinya setiap penduduk Indonesia harus bayar pajak tidak terkecuali. 

Begitu logika berpikir sederhana dalam konteks pajak dan demokratisasi. Bahkan rakyat sangat euforia dengan demokrasi. Sangking euforia nya orang boleh bermimpi jadi apa saja dan ngomong apa saja, termasuk menghujat presiden atau gubernur. Tapi euforia besar terhadap hak demokrasi tidak inline dengan kontribusi pajak. Engga percaya? Rasio pajak terhadap PDB tahun 2019 adalah 9,76 persen. Bagaimana negara lain? Rata rata anggota OECD sebesar 34,2%. Sesama anggota OECD, kita termasuk salah satu negara dengan rasio pajak terendah. 

Mari kita bedah. Mengapa rasio pajak kita rendah? perhatikan. Porsi APBN penerimaan pajak langsung (Pph) sebesar 60% dan pajak tidak langsung ( PPN, Ppn BM, Cukai ), 40%. Karena trend pajak tidak langsung terus naik, sementara pajak langsung justru turun. Porsi penerimaan pajak, trendnya mendekati hampir sama antara pajak langsung dan pajak tidak langsung.  Artinya dalam sistem negara kita , paradigma membangun masih feodalistik. Belum sepenuhnya menerapkan demokratisasi. Ini politik. Engga percaya.? 

Mari kita lihat data sederhana sumber pembiayaan defisit anggaran. Data tahun 2021,  Total hutang negara dalam bentuk SBN ( Surat berharga Negara ) sebesar 86,63%. Darimana sumber  dana SBN itu? ya dari social security contribution/SSC atau pengelola dan pensiun, asuransi, BPJS tenaga kerja. Apa artinya? sistem negara kita memang diongkosi disamping dari pajak juga dari security contribution/SSC. Tahun 2020 APBN sebesar 2.739,16 triliun, sementara utang dalam bentuk SBN sebesar  1.071,9 triliun atau 40% disediakan oleh para pekerja, bukan oleh konglomerat.

Porsi pajak tersebut diatas jelas tidak sehat. Walau kita sudah jadi negara demokrasi tetapi pendekatan pajak masih feodalistik atau berpihak kepada  kelas penguasa dan pemodal. Maklum yang paling sulit dalam proses reformasi adalah reformasi pajak. Sejak reformasi sudah 5 kali revisi pajak dilakukan. Apa artinya? elite politik engga berani melakukan revisi total pajak era Soeharto. Walau rezim berganti namun paradigma politik kekuasaan era Soeharto tetap diminati. 

Yang lucunya yang paling menentang reformasi pajak itu adalah partai islam dan partai ex Orba lainnya termasuk ormas islam. Sejak bulan maret 2021 Jokowi sudah ajukan RUU KUP. Tetapi sampai sekarang belum dibahas oleh DPR. Padahal Jokowi sudah kirim surat agar DPR segera membahas RUU KUP. Dengan adanya ribut ribut soal pajak sembako,  knalpot, pendidikan maka  pembahasan RUU semakin sulit terlaksana. Apalagi ormas islam juga ikut bersuara. 

Memang Orba dan feodalisme itu engga mudah diubah. Mereka kaum statusquo tetapi kalau bicara seperti malaikat atau Nabi seakan paling peduli kepada rakyat. Srigala berbula domba. Alias predator sadis dan culas.

Avatar photo

About Erizeli Jely Bandaro

Penulis, Pengusaha dan Konsultan