Para pemimpin masih mencintai Pancasalah; salah kaprah, salah lihat, salah asuh, salah tafsir dan salah kelola, mengakibatkan negara tertinggal dan masuk jebakan negara berpendapatan menengah (midle trap income). Seharusnya Indonesia sudah sejajar dengan Tiongkok dan Korea Selatan, tapi masih sekelas Vietnam dan Kamboja.
SEIDE.ID – Lama tak terdengar kabarnya, Laksamana Sukardi mendadak muncul di Bimasena Club – Hotel Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022) petang. Bankir yang pernah menjadi menteri BUMN ini meluncurkan buku Pancasalah. Buku esei refleksi berbangsa, hasil perenungannya selama mengelola ekonomi dalam masa Kabinet Gotong Royong, setelah Presiden Suharto jatuh di tahun 1998.
“Buku ini merupakan hasil pemikiran saya yang dirangkum dari studi literatur dan berbagai diskusi formal serta diskusi tidak formal,” katanya, petang kemarin.
Menurut bankir yang terjun ke politik sejak era Megawati dan Gus Dur ini, selama beberapa dekade Indonesia telah mengalami opportunity lost atau kerugian hilangnya kesempatan untuk menjadi negara maju berpenghasilan tinggi. Indonesia yang seharusnya kini sejajar dengan Singapura, Taiwan dan China. Tapi nyatanya, masih berada di belakang bersama sama Vietnam, Kamboja dan Bangladesh.
Buku esai tipis yang padat isinya itu mengupas persoalan tata kelola negara, dimana Indonesia yang telah merdeka selama 77 tahun belum bisa maju sampai saat ini. Indonesia masih jauh tertinggal dibanding beberapa negara yang tidak memiliki sumberdaya alam, seperti Korea, Jepang, bahkan dengan Taiwan, Singapura, Thailand dan Vietnam. “Dulu kita lebih maju dari Tiongkok. Sekarang jarak kemajuannya antara langit dan sumur,” ujarnya.
Salahsatu sebab yang mendasar, Indonesia memiliki produktivitas sumber manusia yang jauh lebih rendah dari negara-negara tetangga tersebut. Kemampuan meningkatkan produktivitas manusia tersebut pada umumnya terbelenggu oleh “Lima Kesalahan” atau “Pancasalah”, yaitu salah kaprah, salah lihat, salah asuh, salah tafsir, dan salah tata kelola.
Ke lima kesalahan ini, menurut Laksamana Sukardi merupakan faktor destruktif dan penyakit kronis yang harus dibasmi jika Indoensia ingin menaikkan kesejahteraan rakyat menjadi setingkat dengan negara berpendapatan tinggi pada umumnya. “Pancasalah tak boleh dibiarkan agar Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan klas menengah, “ tegasnya
Kesempatan mensejahterakan selama beberapa dekade telah hilang akibat pembiaran Pancasalah di Indonesia, jelasnya.
Selanjutnya,Pemimpin Otoriter, KKN, Mengubah Idologi Negara
Dalam memaparkan Pancasalah pertama, Laksamana menyebut munculnya pemimpin yang otoriter, KKN dan rasis . Juga munculnya pemimpin ormas yang memaksakan kehendak mengubah dasar konstitusi. Mengubah ideologi negara.
“Akte kelahiran Indonesia adalah Pancasila, seharusnya tak membiarkan adanya ideologi lain dipasarkan di sini. Jangan biarkan rakyat diadu domba oleh negara negara besar yang berkepentingan merusak kita,” katanya. Pengalaman kudeta 1965 seharusnya menjadi pelajaran penting. Bahwa Indonesia berpotensi diobok obok negara lain.
Pancasalah ke dua adalah salah lihat, dimana dengan maraknya media sosial, peranan parta buzzer dan penyedia konten yang makin tidak terkontrol, membuat rakyat salah lihat. Rakyat dibuat mabuk di antara ilusi dan kenyataan, karena mereka berpikir menurut apa yang dilihatnya. Masyarakat harus dibimbing agar tidak menelan mentah mentah agitasi dan propaganda melalui media sosial.
Lembaga lembaga penunjang demokrasi seperti partai politik harus bertanggungjawab dalam memilih calon anggota DR, Bupati, Gubernur dan Pejabat Tinggi penyelenggara negara, agar tidak membuat rakyat salah lihat.
Dalam Salah Asuh, Laksamana menyebut para pejabat diasuh untuk mencari cukong, dan para pengusaha juga diasuh untuk mencari pejabat untuk dicukongi. Konglomerat di Indonesia diasuh oleh upaya monopoli tanpa kompetensi membuat mereka tak bersaing di bisnis global. Semua akibat salah asuh. “Budaya” itu juga merambat kader partai yang dimintai setoran untuk menduduki posisi strategis, lalu diminta cari uang untuk partainya. Jajaran kepegawaian di pemerintah, ASN, dan kepolisian juga ketularan. Posisi dan jabatan diperjualbelikan.
Sedangkan dalam salah tafsir Laksamana menyebut, bagaimana hukum dan aturan disalahtafsirkan sesuka hati, sesuai kepentingan yang punya kuasa dan yang punya uang. Salah Tafsir digunakan kolektif atas perintah penguasa kepada penegak hukum untuk memenjarakan lawan politik. DI masa Orde Baru, salah tafsir dilakukan secara terbuka dan menjadi alat stabilitas penguasa.
Dalam Pancasalah ke lima, yaitu Tata Kelola Laksamana menyebut tumpang tindih dan perangkapan tugas dan tanggung jawab, dominasi partai yang terlalu besar padahal kontrol di dalam partai kurang transparan membuat negara terjebak dalam salah kelola.
“Tata kelola yang baik tidak ada pihak yang membuat peraturan untuk dirinya sendiri dan mengawasi dirinya sendiri, “ katanya. Skandal di DPR dan Kepolisian kini, merupakan contoh tata kelola itu.
Saat peluncuran buku, juga dilaksanakan bedah buku oleh sejumlah tokoh nasional, diantaranya Eros Djarot, Yudi Latif hingga Dahlan Iskan.