– Berapakah usia yang pantas bagi seseorang untuk memiliki cucu? 50, 55 atau 60? Atau bahkan 40..?
Baik, mari kita berhitung, eh ngerumpi. Seandainya seseorang dalam usia 40 sudah mempunyai cucu, bukankanh dia menikah dlm usia yang sangat muda?.
Seandainya dia lelaki yang katakanlah ‘sudah cukup dewasa untuk menikah’ yaitu 21 tahun, berarti anaknya ‘harus menikah’ di usia di bawah 19 tahun untuk ‘mencapai jumlah’ 40. Katakalah 17-18. Tahun berikutnya, dalam usia 40 barulah dia bisa menjadi kakek.
Jika merujuk diriku. Perbedaan usiaku dengan istri terpaut 10 tahun. Berarti ketika usiaku 21 tahun,…”Aku berusia 11, kata istriku”,…Kamu bisa digelandang ke pengadilan atau paling tidak dibully oleh khalayak (kalo sekarang media sosial, ‘kali yee), karena dianggap pelaku paedophilia”…
Aku langsung teringat syair lagu Farid Harja, “Karmila”, begini potongan syairnya:
…kau berulang tahun/ kutuang minuman ke dalam gelas/ pada saat itu kutau usiamu baru sebelas…
Tentu tak ada ‘ukuran baku’ untuk seseorang berumahtangga, selain kesiapan mental, keinginan dan ‘suratan’. Banyak orang percaya bahwa jodoh, rezeki dan kematian adalah rahasiaNya yg tak bisa kita ganggu-gugat.
Temanku yang sudah memiliki cucu ketika dia ‘baru’ berumur 40an, ketika temanku yang lain baru ‘berani’ menikah, sering mendapat ledekan. Mulai dari: “Menikah karena tertangkap”, Menikah karena terpaksa”, “Menikah karena terjebak”,…sampai yang agak norak: “Menikah hanya beberapa bulan setelah disunat”.
Temanku yang lain bahkan ada yang punya anak, usianya lebih muda daripada usia cucunya. Kok bisaa?. Yaa,…bisa aja.
Kemarin, kami menghadiri akikah anak kakakku di sekitar Depok. Di sana bertemu dengan beberapa teman saat remaja, di mana aku tinggal selama beberapa tahun. Teman-teman kakakku, otomatis juga teman-temanku. Kakakku bergurau. Orang-orang seusia kita, jika bertemu yaah.. , paling-paling di acara akikah seperti ini, di acara resepsi pernikahan anak (atau pernikahan teman untuk kali ke sekian.. ) dan di… pemakaman.
Pertanyaan teman yang sudah lama tak bertemu umumnya adalah: tentang kesehatan dan keturunan.
Itu adalah hal yang positif. Karena hampir tak pernah terdengar, terlontar pertanyaan yang bersifat ‘keberhasilan’ dalam hal-hal material.
Setelah berbasa-basi, tibalah pertanyaan inti: “Sudah berapa cucumu?”.
Jika kita katakan belum, maka sang penanya bukannya berhenti, tapi terus mengejar dengan beberapa pertanyaan lanjutan. “Cucuku sudah sekian. Seharusnya (yeee, emang siapa yang mengharuskan, haha…) lo sdh punya cucu. ‘Kan umur kita sama?”. Atau: “Lo, telat menikah, ye. Umur berapa sih lo menikah?”.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, nampaknya serius dan sang penanya melakukannya terdengar seperti interogasi di telinga kita. Padahal mungkin saja pertanyaan-pertanyaan seperti itu sangat berbasa-basi.
Ucapan ‘selamat berjumpa’ biasa saja. Daripada bengong tidak ada yang diperbincangkan. Pertanyaan penghapus bosan. Petanyaan pengisi waktu sambil menunggu tuan rumah mempersilakan tamu menikmati hidangan. Nanti, bahkan sang penanya mungkin akan lupa kepada kita dan pertanyaan-pertanyaannya yang berbau interogasi itu setelah sampai di rumah. Terhapus, tertiban atau tertutup oleh kegiatan rutinnya sehari-hari.
Jawaban yang aku lontarkan pun, biasanya standar juga: “Aku belum punya cucu, dari anakku sendiri. Karena aku memang menikah agak terlambat. Tapi, cucu dari keponakan sih sudah 8 orang..”
(Aries Tanjung)