Para Desertir Negara

Para desertir negara

Sebutan apakah yang pantas bagi pejabat yang meninggalkan negara demi kampanye Capares pilihannya ? ( Foto: AI/ Bing, Seide)

Mahmud MD, Menkopolhukam Kabinet Indonesia Maju, menyatakan mundur dari pemerintahan presiden Joko Widodo. Mahmud yang saat ini menjadi Cawapres No. 3 Ganjar Pranowo,  meletakkan jabatan  dengan alasan sangat tepat. Ia tak mau menggunakan uang dan memanfaatkan fasilitas negara. Baik untuk dirinya maupun untuk kepentingan kampanye pencalonannya. 

Mahmud MD adalah pejabat yang memahami hukum sekaligus etika pejabat negara dalam berpolitik. Ia tahu kapan bekerja untuk negara dan kapan untuk dirinya dengan cara yang bijak. Meski ia kurang setuju dalam beberapa hal dengan Presiden, ia tetap bekerja sebagai abdi negara. Namun ketika dirinya terpanggil untuk mencalonkan diri memimpin negeri ini dalam pencalonan Pemilu, ia memilih di tempat yang tepat dengan bijak. Ia mengundurkan diri karena tak ingin  memanfaatkan fasilitas negara demi kepentingan pribadi.

Mundurnya Mahmud MD, berbeda dengan pejabat lain yang diisukan ramai-ramai mundur dari jabatan negara sebagai tempat mereka mengabdi. Mereka beralasan mundurnya dari jabatannya, karena tidak sepaham dengan arah politik Presiden Jokowi.

Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) menyatakan mundur dari Komisaris Utama di Pertamina dengan dalih agar tidak bingung arah politik dirinya dalam Pemilu 2024 ini. Bisa diartikan, alasan Ahok mundur karena arahan PDIP alias permintaan Megawati, dan keinginan sendiri. Ahok adalah kader PDIP. Sementara Jokowi sudah meninggalkan PDIP meski belum dikeluarkan secara resmi. 

Mundurnya Ahok diikuti oleh beberapa pejabat lainnya yang tidak sedang mencalonkan diri. Mereka mengundurkan diri dari jabatan negara demi menyongsong masa depan dirinya dan Capres yang didukungnya. 

Mundur Karena Calon

Ada semacam skenario, para pejabat yang mundur itu berseberangan dengan arahan politik calon Kepala Negara, dalam hal ini Prabowo-Gibran Rakauming Raka ( Peserta Nomor 2). 

Celakanya lagi, Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa Presiden dan Menteri boleh berkampanye. Secara etika, BUMN membuat aturan bahwa pejabat dan abdi negara yang berkampanye harus mundur dari jabatannya untuk menjaga netralitas. Termasuk Presiden. Apakan mereka semua harus meninggalkan istana negara demi politik yang tidak jelas ? 

Para pejabat  yang  memilih mundur dari pemerintahan  yang masih berjalan ( 6 bulan ke depan) demi Pemilu, demi politik, demi kemenangan partainya dan melupakan tugas negara, merupakan contoh buruk dalam bernegara. Termasuk Presiden, jika ia juga ikut berkampanye. 

Peristiwa seperti ini yang telah berjalan semenjak dulu, merupakan contoh pejabat yang meninggalkan tugas negara demi dirinya sendiri dan kelompok yang ia dukung, merupakan ketidaksetiaan pada negara. Apapun alasan, apapun dalihnya. 

Seorang pejabat negara memang dipilih menjadi pejabat karena kepentingan politik atau kemampuan yang dibutuhkan untuk negara. Namun ketika dia bekerja sebagai abdi politik, mestinya ia meninggalkan dirinya sebagai petugas partai. Ia harus fokus pada negara. Kepentingan negara lebih utama dari kepentingan partai dan dirinya. Harusnya sih begitu. 

Aturan dan Undang Undang

Dalam pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang disebutkan presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk melaksanakan kampanye. Begitu pula dengan pejabat negara lainnya yang merupakan anggota partai politik.

Hak untuk kampanye itu dapat dilakukan dalam dua kondisi, yakni tidak menggunakan fasilitas negara dan dilakukan saat cuti. Sementara itu, pejabat negara yang bukan anggota partai politik boleh berkampanye apabila berstatus sebagai calon presiden atau calon wakil presiden serta anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU. Pejabat negara yang menjadi anggota tim kampanye atau pelaksana kampanye dibolehkan untuk mengambil cuti satu hari dalam sepekan di luar hari libur.

Aturan yang sudah tepat adalah surat edaran dari BUMN bahwa jajaran Direksi, Komisaris, dan karyawan BUMN yang akan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD, DPD, Capres-Cawapres, Gubernur hingga Wali Kota harus mengundurkan diri atau diberhentikan. Ini adalah aturan etika yang wajib ditatati pejabat negara agar tidak menggunakan uang dan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. 

Mundur Setelah Pemilu

Fenomena beberapa pejabat yang mundur kali ini, sedang tidak sedang mencalon diri sebagai peserta Pemilu atau calon legislatif atau pejabat negara. Mereka mundur dari sebuah tata kelola dan operasional negara yang masih berjalan demi aspirasi politik. Ini bukan pilihan bijak dan profesional. Termasuk jika presiden ingin berkampanye. Pejabat negara seperti ini jelas lebih mementingkan parpolnya, kemenangan Partainya, serta peluang bagi dirinya di pemerintahan baru, nantinya.. 

Jikapun ada undang-undang pejabat negara harus mundur karena sedang mencalonkan diri, seharusnya undang-undang dipertegas: setiap pejabat negara boleh mengundurkan diri setelah Pemilu, kecuali pejabat yang sedang dalam posisi mencalonkan diri. Bukan pejabat yang tidak mencalonkan namun mengundurkan diri saat akan menjelang Pemilu. Jika semua pejabat yang ingin berkampanye mengundurkan diri- termasuk para menteri dan presiden- bisa kacau negara ini. 

Jika hal ini terjadi, jika semua pejabat berpikir mundur untuk menyongsong harapan baru bagi partai pilihannya, dan meninggalkan tugas negara yang sedang berjalan, maka ada sebutan paling tepat: desertir negara.

Untung Rugi Nomor Urut Pemilu 2024

Pilih Pemimpin Berdasar Prestasi dan Rekam Jejak

Pengin Budidaya Jamur Tapi Tak Punya Lahan, Tak Punya Kumbung Jamur ? Sewa Saja dan Nikmati Passive Income

Avatar photo

About Mas Soegeng

Wartawan, Penulis, Petani, Kurator Bisnis. Karya : Cinta Putih, Si Doel Anak Sekolahan, Kereta Api Melayani Pelanggan, Piala Mitra. Seorang Crypto Enthusiast yang banyak menulis, mengamati cryptocurrency, NFT dan Metaverse, selain seorang Trader.