PARENTING 101: Curiosity Anak, Orangtua dan Akses Dunia Maya

Parenting 101: Curiosity ( Foto;: Ivy Sudjana)

IVY SUDJANA

‘Mbak, need help! Gimana caranya menjelaskan kepada anakku bahwa ia nggak boleh nonton Squid Game?’

Sebuah pesan mewarnai malam saya. Seorang teman, sesama orang tua siswa kelas dua kemudian menceritakan latar belakang ia menuliskan pesan itu. Singkatnya anaknya begitu penasaran sehingga ketika diajak teman yang sekaligus tetangganya, mereka segera menonton bersama.

Sang Ibu panik karena tahu rating series itu 19+ dengan genre thriller yang berarti ada adegan kekerasan, sedikit bumbu seksual dan bukan merupakan tontonan keluarga. Namun, bagaimana membendung keingintahuan sang anak bersamaan dengan euphoria salah satu permainan Red Light, Green Light dengan penafsiran pengucapan senandung awal game Mugunghwa Kkoci Pieot Seumnida yang beraneka.

‘Sekolah kucing tiang bendera’

‘Kokoa kuci piacemida’

‘Mokoa Kuci Pia Semida’

Plesetan senandung awal itu riuh di kampung-kampung, termasuk di sekolah sebelah rumah saya.

Tak Setuju Nonton Squid Game

Ketika waktu istirahat tiba, teriakan plesetan senandung permainan Red Light, Green Light – Squid Game itu riuh rendah terdengar dari bangunan tersebut.

Sejujurnya saya ingin bertanya-tanya, apakah orang dewasa (orang tua dan guru) di sekolah tersebut memiliki rasa khawatir seperti teman saya yang tak menyetujui bila anaknya menonton Squid Game, meski hanya berupa rangkuman permainan yang ada di series tersebut, bukan film yang utuh.

Akhirnya saya menawarkan teman tersebut untuk melihat tulisan saya sebelumnya-ttg Squid Game

Film Squid Game yang penuh kekerasan yang menantang orangtua untuk tidak menontonnya

Saya menganjurkan tulisan itu dijadikan bahan diskusi dengan anaknya, dengan tuturan dan penjelasan yang dikemas kembali sesuai pemahaman anak.

Rupanya hal itu dipraktekkan teman saya sebelum tidur. Mereka ngobrol dengan seru, yang ternyata menemukan sebuah fakta. Ketertarikan anaknya kepada series tersebut lebih kepada jenis-jenis permainannya. Bukan kepada bagaimana plot maupun alur film tersebut, yang menunjukkan kecemasan Ibunya tak terbukti.

Obrolan itu rupanya disukai sang anak sampai ia berharap Ibunya punya bahan untuk mengobrol lagi di waktu berikutnya.

Terlanjur Terpapar

Kepanikan orang tua karena anak-anak usia sekolah penasaran akan sesuatu atau mereka sudah telanjur terpapar hal yang kurang baik, sepertinya makin terasa akhir-akhir ini.  

Rasio kemungkinan saya atau Anda dulu menemukan buku stensilan Bapak atau video BF kakak lebih rendah dari kemungkinan anak-anak Gen Z terpapar konten kekerasan maupun pornografi baik secara eksplisit maupun terselubung karena akses teknologi dan internet makin mudah saja.

Beberapa hari lalu, saya juga menemukan si bungsu saya yang dalam laman search di YouTube-nya muncul kata-kata Ga*ha G*y life atau Ga*ha wikwik sadis. Terkejut dan panik, iya. 

Meski ia berusaha menjelaskan hal itu adalah judul konten video game yang TIDAK pernah dilihatnya, muncul hanya karena ia menelusuri Ga*ha life. Namun, sejujurnya tetap saja saya syok. 

Ketika pemerintah dan instansi terkait berusaha menutup akses pornografi yang (mungkin) hanya diakses orang dewasa, para pembuat konten malah menyusupkan berbagai tampilan pornografi di berbagai laman. Hal yang malah memudahkan diakses termasuk oleh anak-anak.

Otak saya berputar cepat untuk merespons ini. Karena, seperti penjelasan saya juga kepada teman, tidaklah bijak menutupi atau menjegal rasa ingin tahu anak yang bisa menyebabkannya mencari tahu di tempat atau pada pihak yang belum tentu bisa mempertanggungjawabkan penjelasan mereka. Mencecar atau memojokkannya juga bukanlah hal yang tepat.

Peran Gen dan Lingkungan

Sebagai kesimpulan dari kepanikan saya, isu predator anak di dunia maya menjadi bahan diskusi dengan anak saya yang berlangsung seru. Dia menjadi paham untuk tidak menggunakan nama dan usia asli kalau sedang memberi komentar di game onlinenya, tidak menyebutkan dia berdomisili di mana, termasuk tidak memberitahu nama kedua orang tuanya.

Dalam jurnal Proceedings of Royal Society B, Biological Science yang terbit tahun 2007, para peneliti mengidentifikasi perubahan pada jenis gen tertentu yang lalu dikenal dengan mutase gen DRD4 yang sangat tertarik mencari hal baru dan mengeksplorasi lingkungan mereka. 

Hal itu membuktikan kebenaran penemuan sebelumnya bahwa gen dan lingkungan berperan banyak dalam cara kompleks untuk membentuk individu, membimbing perilaku termasuk rasa ingin tahu seseorang.

Katherine Twomey, Dosen Pengembangan Bahasa dan Komunikasi di University of Manchester Inggris mengungkapkan jika bayi tidak ingin tahu, mereka tidak akan pernah belajar apa pun dan tidak akan terjadi perkembangan pada diri anak tersebut.

Berbahagialah orang tua yang dianugerahi anak-anak yang ingin tahu dan senang bereksplorasi. Karenanya, kesiapan menjadi orang tua pada generasi terkini bukan hanya secara psikologis maupun finansial saja seperti yang umum dikatakan banyak orang.

Sama Sama Mencari Informasi

Orang tua harus siap DITANYA dan mau berusaha mencari JAWABAN pertanyaan tersebut. Beruntung kini laman pencarian Google maupun sejenis menampilkan fitur yang makin mudah dari waktu ke waktu. 

Laman pencarian itu juga bisa mengikis rasa malu sebagai orang tua semisal tertinggal dari perkembangan terkini. Tak ada salahnya mengakui bahwa kita belum tahu di hadapan anak, daripada berpura-pura sok tahu. Gunakan momen sama-sama mencari informasi tersebut sebagai sarana membangun kedekatan orang tua dan anak.

Membuka peluang untuk ditanyakan anak ketika mereka ingin tahu sesuatu, merupakan langkah awal berdiskusi hal-hal yang lebih kompleks seperti tentang seks dan pubertas, ketika mereka mulai menginjak remaja misalnya. 

Di sisi lain, sebagai orang tua tak ada salahnya kita menyisihkan waktu untuk meng-update situasi dan informasi terkini yang mungkin membuka peluang anak-anak terpapar hal tersebut.

Penuh Pertimbangan

Popularitas permainan Red Light Green Light yang menjangkau anak-anak di pelosok kampung perkotaan Indonesia, mungkin di luar dugaan sutradara series tersebut. 

Saya dan Anda boleh-boleh saja tak menyukai Squid Game dari sisi mengekspose kekerasan, tetapi jangkauan tangan kita belum mampu melindungi anak-anak agar tidak terpapar, kecuali semua anggota keluarga tak ada yang mengakses teknologi dan internet sama sekali.

Pada akhirnya, ketidaksukaan saya dan Anda sebagai orang tua akan sebuah hal yang sedang trending atau hits perlu dipertimbangkan lagi lebih dalam.

Tak menyukai sebuah hal yang sedang populer merupakan hak secara personal, tetapi saya dan Anda sebagai orang tua tetap memiliki kewajiban sebagai yang terdepan untuk mendampingi anak-anak memuaskan keingintahuannya.

TULISAN IVY SUDJANA LAINNYA:

Squid Game ? Apa Boleh Buat. Ada Kehebohan Yang Memukau

Disney+ akan Merilis Spin-off Running Man di Korea

Komik Asterix, Humor Stereotip Tanpa Sensitif

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta