Parni Hadi, ‘’Wong Ndeso’’ Tak Melupakan Desanya.

parni hadi

Oleh RAHAYU SANTOSO

Kalau kita masuk Desa Rejosari, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Madiun, semua orang yang kita tanya, pasti tahu di mana rumah masa kecil Parni Hadi. Jangankan orang tua, anak-anak kecil pun tahu.  Bukan karena Parni Hadi termasuk seorang tokoh. Tapi kepeduliannya terhadap desa kelahirannya membuat ia sangat dikenal di Desa Rejosari dan sekitarnya.

Rumah masa kecilnya diwakafkan untuk Rumah Belajar bagi anak-anak desa itu. Dan sepetak tanah pekarangannya pun didirikan sebuah bangunan untuk Gerai Sehat, untuk melayani kesehatan warga Rejosari dan sekitarnya.

Sebagai inisiator Dompet Dhuafa, baik Rumah Beljar dan Gerai Sehatnya dititel dengan nama Dompet Dhuafa. Gerai sehat Dompet Dhuafa, dilengkapi seorang dokter – dokter Herry—yang standbye setiap hari dari pagi hingga sore. Warga desa yang sakit mendapat layanan gratis, termasuk obatnya sekalian. Gerai Sehat itu juga dilengkapi sebuah ambulans yang digunakan bila ada pasien yang perlu dirujuk ke Rumah Sakit drSoedono atau RSU Sogaten, Kota Madiun.

Saya sempat mencicipi naik ambulans itu saat pulang dari dirawat di RSUD dr. Soedono lantaran stroke. Ambulans itu disopiri sendiri oleh dr. Herry.  Pimpinan Dompet Dhuafa Rejosari (saat itu) Enang Subagyo. Sempat jadi guyonan. Karena dr Herry tak biasa membawa ambulans. Ia kesulitan saat menurunkan brankar. Karena dikira sopirnya, maka petugas rumah sakit di situ menertawakannya. Baru setelah Endang Subagyo bilang kalau itu dokternya, mereka langsung membantu.

Inginkan Generasi Penerus

Sebagai sosok yang terlahir di Rejosari, Parni Hadi yang juga mantan Direktur LPP RRI, juga berharap agar dari desanya kelak akan muncul Parni Hadi–Parni Hadi yang lain. Karena itulah, saat Rumah Belajar Dompet Dhuafa mulai memberikan pelajaran jurnalistik, Pak Parni secara khusus datang dari Jakarta. Ia sendiri yang meresmikan dimulainya pengajaran jurnalistik yang diikuti mulai anak SD dan SMP itu.

Perihal pengajaran Jurnalistik untuk anak-anak desa itu, diharapkan akan tercetak insan- insan bermental wartawan seperti juga dirinya. “ Wartawan itu kritis dan komprehensif,” katanya.

Bahkan sebagai mantan wartawan Pak Parni Hadi menilai wartawan profesional itu tidak bisa dibeli, punya ketegaran sikap. Karena itu menurutnya, Jurnalistik sangat perlu dan penting diajarkan kepada anak-anak penerus generasi bangsa. Belajar jurnalistik, menurut dia sangat perlu diberikan sejak usia dini untuk membentuk generasi pekerja keras, ikhlas, jujur dan mandiri

Pak Parni Hadi, begitu saya menyebutnya, minta kepada saya (penulis) sebagai pengajar jurnalistik di situ. “Didiklah mereka dengan baik, bukan hanya sekadar bisa menulis, tapi juga punya prinsip yang kuat,” kata mantan dosen saya di Lembaga Pers Dr Soetomo, Jakarta ini.

Selain jurnalistik, ada pembelajaran Seni Tari, Seni Beladiri, dan Bahasa Inggris. ‘’Bahasa Inggris itu perlu,’’tegasnya. Tak hanya itu, saat liburan sebelum pandemi, anak-anak diajak rekreasi ke Kota Batu. Sebelumnya mampir di Agrowisata Bumi Maringi Peni.  Maringi Peni, adalah nama almarhumah istri Pak Parni yang diabadikan sebagai nama agrowisata itu.

Parni Hadi  lahir di  Desa Rejosari, Sawahan, Madiun, Jawa Timur, 13 Agustus 1948.  Ia memulai karier sebagai wartawan di Kantor Berita ANTARA tahun 1973, Pendiri/Kepala Perwakilan LKBN ANTARA untuk wilayah Eropa di Hamburg, Jerman Barat (1980-1986), ikut mendirikan danmenjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi ANTARA (1998-2000), Direktur Utama LPP RRI (2005-2010).

Penerima Bintang Mahaputra Utama sebagai Tokoh Pers Nasional 1999 ini, sampai sekarang masih aktif menulis di beberapa surat kabar dan media online. Sebagai salah satu bentuk dakwah, tahun 1993 mendirikan Yayasan Dompet Dhuafa Republika dan mencanangkannya sebagai program pengentasan kemiskinan.

Program tersebur lahir dari inspirasi di Gunung Kidul bersama para aktivis dakwah yang ada disana (Corps Dakwah Pedesaan). Bersama teman-teman memulai Dompet Dhuafa di sebuah rubrik di halaman muka Harian Umum Republika dengan tajuk “Dompet Dhuafa”, sebagai gerakan kecil pengumpulan dana dari masyarakat untuk program-program sosial. Berkat gagasan dan inisiasinya, Dompet Dhuafa terus berlanjut hingga berkembang manfaatnya di seluruh Nusantara bahkan tingkat global.

Selain itu, juga pegiat program Green Radio selama memimpin 2012, pegiat seni budaya tradisional (pemain ketoprak) dan perintis Information Safety Belt, dengan mendirikan stasiun RRI di sejumlah titik perbatasan NKRI.

Ia juga menjadi Ketua Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) bidang Relawan dan Peduli Bencana, Ketua HIPPRADA (Himpunan Pandu dan Pramuka Wreda), dan pernah menjabat Waka Kwarnas/Ketua Satgas Pramuka Peduli. Pendekar Silat Setia Hati Terate ini pun pernah juga menjabat sebagai Ketua Umum IRSI (Ikatan Relawan Sosial Indonesia).**

Avatar photo

About Rahayu Santoso

Penulis, editor, studi di Akademi Wartawan Surabaya, tinggal di Madiun