Pasrah Kepada Cuaca

Saya nikmati langit di saat terang maupun gelap-gulita, juga saya nikmati ketika debur ombak membasahi sekujur tubuh. Saya nikmati pula makan dengan nasi yang ditanak setengah matang karena kompor terus-menerus diterpa angin dan gelombang

Oleh SYAH SABUR

SAAT pesawat terbang diadang cuaca buruk, rasanya tak jauh beda dengan naik mobil di jalanan tepi jurang yang berlubang dan berbatu. Itu pula yang saya alami hari Minggu lalu (27/03/2022) saat terbang dari Medan menuju Jakarta.

Pesawat yang berangkat sekitar pk. 21.00 itu memang langsung disambut hujan deras beberapa saat setelah take-off. Tak lama pilot pun mengumumkan agar semua penumpang tetap duduk di kursi, memakai sabuk pengaman, dan tidak pergi ke toilet karena cuaca buruk.

Sejumlah penumpang terlihat was-was mendengar pengumuman tersebut. Dan benar, tak lama kemudian tiba-tiba pesawat seperti melewati jalan berlubang dan berbatu disertai suara gemuruh di luar.

Yang mengejutkan, tiba-tiba seorang pria berperawakan tinggi besar yang duduk persis di sebelah saya mencengkeram pegangan tangan di kursi. Saya yang semula tenang, lansung kaget dengan reaksi pria tersebut.

Tenang dan berdoa sebisanya
Sebab, meskipun ada sedikit perasaan was-was, saya berusaha tetap tenang sambil berdoa sebisanya. Saya juga tidak terlalu kaget dengan goncangan pesawat dan suara gemuruh di udara karena sudah ada warning dari pilot.

Saya merasa tidak perlu tegang berlebihan menghadapi situasi seperti itu. Sebab, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain berusaha tenang dan berdoa. Sikap saya juga sama saat melayari lautan lepas dari Kotabato, Filipina Selatan ke Bitung di Sulawesi Utara selama sekitar 45 jam di tahun 1991.

Kenangan naik perahu di Filipina Selatan.
Foto dok pribadi.

Tentu saja awalnya saya juga agak keder. Mengapa? Karena ukuran perahu hanya sekitar 2,5 meter x 7 meter yang hanya cukup untuk 4 orang dan dengan perlengkapan seadanya. Tidak ada pelampung, tidak ada kompas, dan nyaris tidak ada atap, kecuali terpal kecil yang tidak cukup menutupi selutuh bagian perahu.

Tambahan lagi, saya nol besar dalam hal renang. Jangankan renang di laut, renang di kolam cetek saja saya tidak pernah.

Tapi setelah beberapa saat, rasa keder saya berubah jadi rasa senang. Saya benar-benar menikmati pelayaran. Saya nikmati ombak yang bergulung-gulung, kadang hingga 5-6 meter.

Saya nikmati langit di saat terang maupun gelap-gulita, juga saya nikmati ketika debur ombak membasahi sekujur tubuh. Saya nikmati pula makan dengan nasi yang ditanak setengah matang karena kompor terus-menerus diterpa angin dan gelombang.

Untuk apa takut?

Lalu kemana rasa takut? Untuk apa takut dan was-was ketika kita tidak punya kekuasaan untuk menghindari bahaya. Kan tidak mungkin saya merengek kepada jurumudi agar perahu balik badan. Tidak mungkin juga saya berenang sendirian ke pantai demi menghindari badai.

Sama halnya saat saya duduk di pesawat yang diserang cuaca buruk. Saya tidak mungkin minta pilot untuk balik arah atau melakukan pendaratan darurat tiba-tiba. Tidak mungkin juga saya melompat keluar pesawat untuk menghindari celaka.

Dalam kondisi seperti itu, satu-satunya yang bisa saya lakukan hanya pasrah dan sebisa mungkin menikmati suasana. Jangan lupa berdoa sebisanya, dalam bahasa apa pun.

Di depan dua anak kami ketika saya bercerita tentang pengalaman naik pesawat Medan-Jakarta, isteri saya bilang, “Saya memiliki kepasrahan tingkat dewa ketika menghadapi situasi yang sangat menegangkan.”

Saya hanya tersenyum karena tidak tahu istilah yang tepat untuk perasaan seperti itu. Mungkin pasrah tingkat dewa, mungkin juga cuek, hehehe. Yang pasti, saya tidak tahu sikap lain untuk menghadapi situasi serupa.***

Avatar photo

About Syah Sabur

Penulis, Editor, Penulis Terbaik Halaman 1 Suara Pembaruan (1997), Penulis Terbaik Lomba Kritik Film Jakart media Syndication (1995), Penulis berbagai Buku dan Biografi