Foto: thesaleshunter
Sejak usia 8 tahun, saya sudah akrab dengan istilah pawang. Baik pawang ular maupun pawang hujan. Saat di rumah ada hajatan, nenek menaruh sapu lidi terbalik, ujungnya yang runcing-runcing itu dipenuhi dengan cabe merah. Sebagia ada yang mencampiur dengan bawah merah.
Itu tanda dan upaya kami semua minta agar tidak turun hujan. Kalau hujan terjadi, hajatan ( apa saja) bisa kacau.
Setelah memutari sapu lidi itu,kami semua diminta meloncati sapu lidi itu, tanpa menyentuhnya. Jika menyentuh ? Doa kita untuk tidak hujan, tak akan dikabulkan. Akan ada hujan lebat, malahan.
Saya tak tahu – waktu itu- kenapa minta agar cuaca terang, tidak dengan cara semadi atau diam saja sambil berdoa. Nenek bilang itu syarat leluhur berdamai dengan alam semesta. Tak dijelaskan syarat itu siapa yang meminta. Namun itu memang sudah ribuan tahun lalu. Mungkin malah sejak zaman purba. Dan saat kami melakukan itu, cuaca mendung tak jadi hujan. It works.
Pawang Hujan Manusia Spiritual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI) kata pawang atau berpawang adalah orang yang mempunyai keahlian istimewa. Keahlian itu berkaitan dengan ilmu gaib, seperti perdukunan atau dukun, mualim perahu, pemburu buaya, penjinak ular dan lain sebagainya. Pawang selalu dikaitkan dengan alam semesta. Termasuk Pawang Hujan.
Pawang hujan biasanya diperlukan pada acara atau peristiwa yang diadakan masyarakat. Agar acara lancar, perlu udara cerah. Itu perlunya seorang pawang yang bisa membuat hujan jadi terang. Lebih tepatnya, bisa memindahkan hujan ke tempat lain, sehingga lokasi yang kita protek dengan doa itu, tak jadi hujan. Hujan bersedia dipindahkan ke tempat lain.
Zaman dulu – kemungkinan sejak era purba- pawang sudah ada dan dikenal dengan nama Shaman. Shaman ini tak hanya meminta atau mengusir hujan, tapi sekaligus tabib untuk pengobatan. Shaman ini selalu dikaitkan dengan kedekatan dengan para dewa.
Sejak dulu manusia berusaha mendekatkan diri dengan dewa, dengan para leluhur dan roh di alam lain. Tak semua bisa. Namun Shaman memiliki kemampuan itu. Dalam berkomunikasi, Shaman memanfaatkan media, seperti tanaman dan benda yang berasal dari alam semesta. Cara para pawang di Indonesia melakukan pekerjaannya berbeda-beda.
Pawang Hujan Merangkap Dukun dan Tabib
US Forest Service menulis bahwa budaya paling kuno di Afrika, Eropa, Asia , Australia dan Amerika, menyebut bahwa pawang, baik melalui klan, sekte dan suku, senantiasa mengkonsumsi tanaman untuk melakukan ritual.
Mereka menganggap tanaman adalah benda yang memiliki roh dan kehidupan seperti manusia, Itu sebabnya, hingga kini, banyak orang bisa bercakap-cakap dengan tanaman. Sulit menjelaskan ini dengan bahasa saintifik, toh di zaman sekarang pun masih banyak yang melakukan. Terutama ibu-ibu yang berlama-lama di kebun..
Menjelaskan mengapa orang berbicara dengan tanaman, sama sulitnya menjelaskan secara science bagaimana seorang pawang dapat mendatangkan atau mengusir hujan. Ketidakmampuan menjelaskan fenomena seperti yang dilakukan Mbak Sara di Mandalika hanya akan menambah cibiran orang yang mulutnya sudah terlanjur lebar.
Banyak budaya di berbagai suku yang menjadikan tanaman sebagai bahan suci untuk dijadikan alat komunikasi dengan dewa , yang kemudian ada yang menjuluki Herbalis itu, memiliki peran sebagai pemandu spriritual dan penafsir mimpi serta memimpin banyak upacara sakral.
Pada zaman dimana nilai-nilai spiritual memegang peran penting dalam kehidupan manusia, para pawang ini memiliki kekuatan untuk berkomunikasi dengan roh sehingga bisa dipercaya untuk mengusir roh jahat, penyakit serta mengendalikan cuaca. Ada tarian hujan untuk kasus seperti ini. Entah seperti apa gerakannya dan apakan ada kaitan dengan cara kami dulu mengelilingi sapu dengan ujungnya diberi cabe sambil meloncati beberapa kali.
Situs Pawang Hujan
Di Afrika Selatan, pernah ada situs pengendalian hujan yagn menjulang tinggi bagai karang menuju langit berwarna coklat setinggi 300 M berisi dua tangki batu. Namanya Ratho Kroonkop. Situs ini, sejak zaman dulu selalu diminta untuk menurunkan atau menghentikan hujan. Tentu dengan upacara tertentu.
Seorang peneliti, Simon Brunton, kandidat doktoral di Universitas Cape Town pernah menulis di LiveScience bahwa seorang dukun atau pawang akan naik ke puncak Ratho Kroonkop melalui terowongan alam di batu tersebut. Sampai di puncak, mereka menyalakan api utuk membakar sisa-sisa hewan sebagai bagian dari ritual hujan. Dan hujanpun menurut pada pawang ini.
Pawang Hujan dengan Garam
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, peran pawang mulai berkurang dan diganti dengan Badan Meterologi yang dapat meramal hujan akan terjadi dan kapan saja udara cerah.
Untuk mencegah banjir lanjutan pascabanjir besar pada awal 2020 di beberapa wilayah Indonesia, pemerintah melalui BPPT, BMKG, BNPB dan TNI AU, melakukan upaya Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). INi model pawang hujan di era digital dan tanda kaemajuan teknologi.
Teknologi tersebut bertujuan menambah ataupun mengurangi curah hujan, dengan cara menyemai garam ke awan. Garam yang disemai ke awan akan mempercepat pelembaban dan membuat awan menurunkan hujan di wilayah laut, jauh dari wilayah permukiman.
Keberhasilan teknologi ini antara 30-40%. Sedang pawang hujan, keberhasilannya 65%.
Pawang Memiliki Cara Berbeda
Di Indonesia, hampir semua daerah memiliki pawang hujan. Mbak Rara dari Lombok yang mengendalikan hujan di lapangan balap di Mandalika, hanya satu di antara ratusan Pawang Hujan yang masih bertahan.
Jika di Jawa untuk mengendalikan hujan memakai media sapu lidi dan ujugnya ditusuk dengan cabai merah, di Jepang lain lagi. Mereka menggunakan boneka putih yang digantung di jendela. Boneka itu disebut Teru-terus Bozu. Mereka menggunakan ini sudah sejak zaman dulu sampai kini, sebagai penangkal hujan.
Teru-teru bozu adalah boneka tradisional terbuat dari kertas atau kain putih yang digantung di tepi jendela dengan menggunakan benang. Jimat ini diyakini dapat mendatangkan cucara cerah dan menghentikan hujan. Ketika melakukan tradisi nenek moyang ini, tak seorangpun orang Jepang atau Afrika mencibir dengan konotasi penghinaan terhadap warisan leluhur.
Kearifan Lokal Ini Sulit Hilang
Pawang hujan di perhelatan balapan internasional Mandalika mendapat reaksi dari netizen seluruh dunia. Dikutip dari tulisan berjudul Tradisi Nyarang Hujan Masyarakat Muslim Banten (Studi di Kecamatan Cimanuk Kabupaten Pandeglang), ritual berkaitan dengan hujan ini, telah ada sejak turun temurun.
Tampaknya, masyarakat tidak gampang meninggalkan kebiasaan nenek moyang mereka. “ “Masyarakat tidak mudah meninggalkan kebiasaan nenek moyang mereka. Tingkah laku atau tradisi seperti itu terjadi dari generasi dahulu ke generasi berikutnya,” tulis Eneng Purwanti dosen di Fakultas Ushuluddin, Dakwah, dan Adab IAIN yang kini menjadi UIN Sultan Maulana Hasnuddin, Banten.
Dalam tulisan yang terbit di jurnal AlQALAM tersebut dijelaskan, masyarakat sebetulnya percaya pada kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Pun begitu, usaha tetap diperlukan untuk mewujudkan keinginan. Usaha diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan nyare’at dan doa yang dipanjatkan pawang.
Pawang Hanya Memindahkan Hujan
Peran pawang hujan sebenarnya bukan menolak hujan. Pawang hanya memindahkan hujan dari satu tempat ke tempat lain. Sama dengan pesawat penabur garam di awan. Terkait keberhasilannya, rata-rata responden menyatakan ini adalah bagian dari usaha manusia. Berhasil atau tidak dikembalikan lagi pada yang memiliki kuasa.
Sebagai pengetahuan yang diturunkan antar generasi, tiap pawang hujan memiliki mekanisme yang berbeda. Ada yang menggunakan beberapa jenis minuman atau sajian sebagai persembahan, media rantang nasi, payung hitam, sapu lidi atau tempayan. Pawang dan peminta jasa harus tidak mandi sebelumnuya, tidak menyentuh air dan berpuasa tidak makan minum dan tidur.
Selain tata cara di atas, masih banyak lagi tata cara pawang hujan tergantung dari daerah wilayah pengendalian.
Memberi peluang dan perhatian terhadap pawang hujan ini seperti sebuah sinyal bahwa di berbagai tempat di Indonesia, ada kearifan lokal yang masih layak dipertahankan dan dimunculkan, karena dari sanalah kita pernah ada…..
BACA LAINNYA
Rara Isti Wulandari Dipuji Sebagai “Indonesia Master Rain”






