Pelajaran Dari Afghanistan

Oleh DAMAI K

Pemandangan menyedihkan terjadi di Bandara Internasional Hamid Karzai, Kabul, Afghanistan, Sejak Minggu hingga Senin (16/8/2021), ribuan orang berusaha masuk ke bandara. Orang-orang berebut masuk ke pesawat, meski belum tahu jadwal keberangkatan pesawat tersebut.  Ada pula yang mengejar- ngejar pesawat yang masih bergerak. Sebanyak lima orang tewas saat terjadi kekacauan itu.

Tujuan mereka adalah agar bisa menaiki pesawat, ke luar dari Afghanistan secepatnya. Mereka tidak peduli lagi dengan tanah airnya sendiri. Bayangan mengerikan Taliban telah mengalahkan kecintaan mereka terhadap tanah air. Peristiwa ini terjadi setelah ibu kota negara tersebut jatuh ke tangan kelompok Taliban.

Sebelumnya dalam perang merebut wilayah-wilayah yang dikuasai pasukan pemerintah, Taliban sudah menunjukan wajah ganasnya, antara lain dengan mengesekusi orang-orang pemerintah dan orang yang bekerjasama dengan pasukan asing.

Taliban menggeledah rumah penduduk satu persatu untuk mencari orang yang bekerja bagi pemerintah. Puluhan warga sipil diseret dari rumah mereka dan ditembak mati.

Di antara korban tewas terdapat seorang pelawak terkenal Nazar Mohammad, dalam serangan yang berlangsung di Kandahar. Sohail Pardis, seorang penterjemah,  dipenggal kepalanya setelah dikeluarkan dari mobil yang ditembaki Taliban, saat ia ingin menjemput saudara perempuannya untuk merayakan Idul Adha.

Di mata Sebagian warga Afghanistan, Taliban ibarat monster yang membawa bayang-bayang kegelapan. Ketika berkuasa dulu, Taliban menerapkan Hukum Syariah yang ketat. Wanita tidak diijinkan ke luar rumah tanpa pendampingan. Mereka harus menutup seluruh tubuhnya dari wajah hingga telapak kaki, hanya bagian mata saja yang terbuka untuk melihat. Itu pun ditutupi oleh semacam jaring halus.

Wanita tidak boleh menempuh pendidikan atau bekerja di luar rumah. Siapa saja yang melanggar akan mendapat hukuman berat, termasuk kematian.

Hal-hal yang tidak islami dilarang. Patung-patung Buddha setinggi 55 meter dan 38 meter yang diukir dengan susah payah di bukti batu di lembah Bamiyan yang indah, dirusak oleh Taliban dengan  menembakkan roket dan dinamit pada Maret 2001. Sejak itu pariwisata di Bamiyan mati.

Jika berkuasa lagi, Taliban juga berjanji akan menjalankan Hukum Syariah yang ketat.  

Seorang warga lelaki menangis melihat anak kecil berdarah setelah dipikuli, sementara sang ibu ditembak mati karena tak memakai burka.

Janji Akan Berubah

Dalam jump pers di istana presiden usai merebut Kota Kabul, Taliban memang berjanji akan menunjukkan wajah yang  lebih   inklusif  kepada dunia. Taliban berjanji menjamin  pendidikan  bagi perempuan dan bersikap lebih  toleran  terhadap agama lain.

Taliban juga menawarkan amnesti kepada siapa saja yang telah bekerja dengan pemerintah atau pasukan asing.   

“Kami telah memaafkan, siapa pun, semua orang yang telah berperang melawan kami. Kami tidak ingin mengulangi perang.”

Pernyataan Taliban tentu harus diuji lagi. Waktulah yang akan mengujinya. Bisa saja apa yang dijanjikan hanya untuk menarik simpati dunia. Tetapi bila melihat sepak terjang kelompok ini sebelum menguasai Kabul, banyak kekejaman dan balas dendam berdarah yang dilakukan terharap musuh maupun kolaborator asing.

Pelajaran bagi Indonesia

Apa yang terjadi di Afghanistan patut menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia yang masih menerapkan demokrasi dan menghargai pluralisme, walau tak bisa dipungkiri juga bahwa ada fenomena ancaman terselubung terhadap demokrasi dan pluralisme, terus bergerak dan semakin menguat di Indonesia.  

Orang-orang atau kelompok yang dulu diam-diam menjalankan paham anti demokrasi, kini mulai berani memperlihatkan diri, baik melalui media sosial, media massa atau dalam tindakan di tengah masyarakat.

Dukungan terhadap paham ini bahkan sudah muncul dari pemerintahan beberapa daerah.

Bagi Indonesia yang heterogen, pemaksaan sebuah paham untuk diterapkan secara nasional, jelas akan menjadi ancaman yang berbahaya bagi kemajemukan itu.

Jika penerapan paham tertentu dipaksakan kepada seluruh masyarakat, tentu saja akan timbul resistensi dari kelompok masyarakat yang tidak setuju. Pada gilirannya akan menimbulkan konflik horizontal yang sangat berbahaya. Indonesia bisa pecah.

Di Indonesia, perilaku Talibat justru banyak ditiru seara terbuka dan mereka terus terang menirunya karena sesuai Al Quran

Pengaruh di Indonesia

Ekses lainnya, jika sebuah kelompok berkuasa, lalu menerapan hukum yang sesuai dengan kehendak mereka, maka dampaknya bukan saja dirasakan oleh kelompok lain yang berbeda, tetapi juga dari kelompok yang sama namun dengan pemahaman yang lebih moderat.

Jika itu terjadi, masih bisakah anak-anak perempuan menempuh pendidikan, bekerja, menjalankan hobi mereka di bidang olahraga atau kesenian, menyetir kendaraan sendiri, bercengkerama di tempat umum, atau bergembira di medsos? Rasanya sulit.

Bukankah sudah mulai ada suara yang mengharaman musik, mengharamkan menyanyikan lagu kebangsaan, pengibaran bendera bukan merah putih saat menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-76, banyak aturan yang mengekang kebebasan perempuan, pelarangan pendirian tempat ibadah bagi agama dan kepercayaan lain, dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan nasib situs-situs bersejarah di Indonesia seperti Borobudur, Prambanan dan candi-candi lain di Indonesia, jika pihak yang suka mengkhafirkan pihak lain dan mengharamkan banyak hal, berkuasa?  

Tidak mustahil kelak semua akan dikontrol dalam aturan ketat. Dan yang melanggar tentu saja akan mendapat sanksi berat.  

Indonesia lebih majemuk dari negara mana pun di dunia, yang tidak bisa diseragamkan begitu saja. Sebelum itu terjadi, bercerminlah pada apa yang terjadi Afghanistan, atau di Irak dan Suriah, jika masih ingin Indonesia tetap ada.   

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.