Kebutuhan mendasar kemanusiaan untuk bisa dimengeri adalah dengan mendengarkan. Dengan mendengarkan orang lain, kita dapat memahami orang lain dengan lebih baik.
Si kecil tiba-tiba terisak, karena di tengah dia bercerita, tantenya memotong pembicaraan tanpa mau menunda.
“Aku ‘kan lagi ngomong! Kenapa kok dipotong?”
Saya yakin setiap orang dewasa yang mendengarkan pernyataan itu akan seketika membisu. Merasa bersalah karena menyela.
Di lain waktu, di dalam sebuah ruang percakapan online.
Ibu A sedang bercerita kesulitan anaknya di sekolah yang baru. Hampir semua di grup itu tak berkomentar, paling memberi emoji care, kecuali satu orang. Ibu B tahu-tahunya menceritakan juga kesulitannya memahami model pengajaran di sekolah anaknya. Tetiba suasana percakapan itu seperti adu nasib. Siapa yang paling susah, siapa pihak tersial.
Ibu A, Ibu B, dan ibu-ibu yang lain mungkin saja representasi diri KITA, bukan? Apa pembaca ada yang berani mengakui? Seberapa sering kita menjadi pencerita, pemotong cerita, atau penonton yang bingung, memilih tak berpihak, sampe akhirnya memilih pergi dulu dari ruang percakapan.
Ketika dunia hiruk pikuk, semua ingin diakui, entah perkataannya, postingan foto dan videonya , maupun keberadaan dirinya, sesungguhnya semua itu adalah perwujudan digital, hendak didengarkan.
Kehendak yang besar, yang tak diimbangi hal sebaliknya, kemauan untuk bisa mendengarkan, akan menjadi bumerang bagi individu tersebut. Risiko yang paling pasti, ditinggalkan orang-orang di sekitarnya.
Active Listening menurut Carl Roger
Amanda O’Bryan, Phd menuturkan Good listeners can stay present and engaged with what is being said. Para pendengar yang baik hadir secara nyata dan terlibat dengan topik yang dibicarakan.
Dari pandangan tersebut, kita bisa melihat para pendengar yang baik akan menyimak dan bukan sambil lalu saja. Dan, hal itu menunjukkan sikap empati mereka ketika mendengarkan.
Coba perhatikan ilustrasi berikut. Ketika terlibat dalam sebuah percakapan, seberapa sering kita bersiap-siap menyiapkan komentar atau pendapat untuk merespons sang pembicara. Seolah, tidak menjawab atau memberi tanggapan, kita bersalah.
Saya sepakat dengan pernyataan Stephen R. Covey di bawah ini
Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply.
Sesungguhnya bersiap untuk selalu menjawab, malah menunjukkan kita tidak benar-benar fokus mendengarkannya. Karena otak kita lebih memikirkan pernyataan tanggapan.
Menurut Carl Roger, psikolog penemu teori Active listening (mendengarkan secara aktif), dalam prosesnya, active listening memerlukan pendengar menaruh perhatian tak hanya secara verbal, tapi juga non verbal. Yang berarti gerak gerik tubuh, ekspresi, pandangan mata, termasuk perlu untuk diperhatikan. Jadi, tak hanya kata yang terucap yang perlu dicermati, melainkan juga bahasa tubuh si pembicara.
Tentu saja, saat melakukan active listening, tangan dan mata kita tidak malah sibuk dengan gadget. Selain banyak yang bilang tidak sopan, sesungguhnya kita pun segera menunjukkan sikap tidak senang diajak bicara (tanpa kita sadari). Jangan salahkan orang lain, bila esok hari dia pun enggan untuk membuka percakapan dengan kita.
Sesungguhnya, bila kita mampu memiliki kemampuan active listening dan sering mempraktikkannya, menurut teori, anak atau orang berbohong pun akan segera kita ketahui.
Carl Roger bersama Farson, lalu merumuskan tiga komponen penting keberhasilan active listening.
1. Mendengarkan Total
Ketika seseorang mendengar sebuah pesan, tak hanya pernyataan-pernyataannya yang diserap, juga bagaimana sikap dan bahasa tubuh orang yang berbicara atau menyampaikan pesan itu.
2. Merespons Rasa
Ketika seseorang sebagai pendengar memiliki perasaan positif atau negatif ketika mendengar, respons rasa ini sebaiknya ditunjukkan. Banyak yang memilih menghindari karena kurang nyaman, akan tetapi dengan menyampaikan, pembicara tahu omongannya kena sasaran, benar ataupun salah.
3. Mencatat Petunjuk
Segala ekspresi, raut muka, tatap mata, gerak tangan, postur tubuh, juga merupakan PESAN yang tidak diucapkan. Dengan mengamati juga, pendengar akan paham lebih dalam maksud pernyataan pembicara.
Misal dia menyampaikan sesuatu yang sebenarnya menyedihkan, tetapi dengan wajah datar, atau sebaliknya sangat tertekan, pesan yang didapat tentu berbeda.
Mendengar secara Online atau di Media Sosial
Perbedaan yang jelas tentang active listening di dunia maya adalah, tidak terbacanya sikap non verbal pembicara. Karena kita tidak bisa melihat atau bertemu secara langsung. Tetapi, hal ini tak berarti tidak bisa dilakukan.
Berikut saya kumpulkan hal-hal yang menunjukkan perilaku active listening di media sosial atau secara online :
• Tidak memotong chat dengan berpendapat lain, apalagi mengangkat topik berbeda, kecuali dengan memohon izin dulu. ‘maaf potong dulu, boleh? Begini ….’
• Melakukan parafrase atau mengutip apa yang dikatakan, mengulang, memastikan pernyataan yang benar, sebelum mulai bertanya atau berkomentar
• Tidak menguasai ruang percakapan orang-orang yang sedang mengobrol
• Tidak serta merta menarik kesimpulan untuk grup, semisal di grup percakapan tertentu
• Tidak mengambil alih, bahkan mengganti topik pembicaraan
• Setiap orang, siapapun lawan bicara adalah setara
• Tidak menyerang personal pembicara
Yakin pernah dan selalu bisa melakukan hal-hal yang saya sebutkan? Saya pun masih harus belajar dan mengingatkan diri, karena pada kenyataannya semua hal itu tidak mudah.
Mungkin pernyataan di bawah ini menjadi reminder paling bagus tentang mau mendengar.
The most basic of all human needs is to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them. – Ralph Nichols
Semua kebutuhan manusia yang mendasar adalah memahami dan dipahami. Cara terbaik untuk memahami orang lain, adalah dengan mendengarkan mereka.
Tentu saja hal itu berlaku bagi semua manusia. Suami istri. Orang tua dengan anak, kakak adik, antar teman, antar kolega, termasuk penjual dan pembeli.
Anda setuju?
Aplikasi Kecantikan di Medsos Bikin Penggunanya Mengalami Gangguan Psikologis