Jejak kekaryaanya juga mewujud ke dalam berbagai penghargaan bergengsi yang berhasil diraihnya, dari Best Print Collection di at Show of Napel New York (1970), Penghargaan Lukisan Terbaik dalam Biennale Seni Rupa I dan II di Jakarta (1974 dan 1976), Silver Prize dari Seoul Art dalam International Art Competition (1984), dan Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1985), hingga mendapatkan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia (2002).
Nama lahirnya adalah Abdul Djalil Syaifuddin, nama yang diberikan oleh seorang ustadz yang tinggal bersama keluarga tersebut. Ayahnya bernama Mauna ‘Pirous’ Noor Mohamad, keturunan Gujarati dan ibunya bernama Hamidah, asal Meulaboh. Ibu dan kakaknya punya peran besar dalam perjalanan karier Pirous di dunia seni. Dua orang tersebut menjadi yang paling getol mendorong sang maestro untuk menekuni dunia seni.
“Lebaran lalu, kita masih sempat WA-nan, saling mengucap selamat Idul Fitri, saling memaafkan lahir batin, dan saling mendoakan,” – kata jurnalis dan pelukis Yusuf Susilo Hartono. – foto instagram yshartono.
Pada 1950, sang seniman mulai merantau ke Medan. Di sana mendiang meneruskan pendidikan formalnya sekaligus belajar di sekolah Al-Qur’an. Di kota ini pula, bakat seninya juga terus diasah. Berkat ketekunannya, Pirous kemudian diterima di Institut Teknologi Bandung. Dia diterima di Departemen Seni Rupa ITB dan mulai berkuliah pada 1955 dan lulus kuliah pada 1964.
Setelah lulus, Pirous sempat menjadi staf pengajar di ITB. Namun, dia kemudian mulai mendalami studi seni lagi dengan sekolah Grafis Murni dan Grafis Desain di Rochester Instistute of Technology Amerika Serikat pada 1969.
Pada 1984, Pirous kembali ke ITB dan menjabat sebagai dekan pertama Fakultas Seni Rupa dan Desain di universitas tersebut hingga 1990. Pada 1994, Pirous menerima jabatan sebagai guru besar ITB.
Di luar dari urusan akademik, sebagai seniman Pirous dikenal setelah masuk ke dalam kelompok Ries Mulder (pelukis Belanda yang pada 1948 datang ke Bandung untuk mengajar melukis, sejarah seni, dan tinjauan seni).
Di kelompok belajar ini, Pirous menemukan gayanya sendiri, terutama bentuk-bentuk pemandangan alam, flora, fauna, dan bidang abstrak yang unik. Mendiang juga punya perhatian besar pada teknik-teknik grafis, teknik cetak etsa dan saringannya.
Keahlian tersebut kemudian menciptakan aliran baru di dalam seni rupa Indonesia yang disebut dengan kaligrafi Islam. Sebagai seniman, Pirous juga aktif menyelenggarakan Pameran Tunggal dan Pameran Bersama baik di dalam maupun di luar negeri sejak 1960.
A.D. Pirous menikah dengan Ernah Garmasih Pirous, juga seorang pelukis ulung. Erna belajar di ITB dan juga di Perancis, dan ia termasuk generasi kedua seniman perempuan modern Indonesia.
Pasangan ini telah tinggal di Bandung sejak pernikahan mereka. Dari pernikahan mereka, lahir tiga orang anak, yakni: Mida Meutia, Iwan Meulia, dan Raihan Muerila.
Pada tahun 1994 Pirous mendirikan galeri ‘Serambi Pirous’. Mereka membangun rumah baru yang lebih besar di Bandung pada tahun 2003, dan memindahkan ‘Serambi Pirous’ ke sana pada tahun 2017
‘Serambi Pirous’ di Jalan Bukit Pakar Timur II Nomor 11 Bandung kemudian menjadi rumah duka bagi almarhum – */D