Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Brigadir Jenderal Rusdi Hartono menuturkan penangkapan Para Wijayanto telah membuka jalan bagi Densus 88 untuk mempelajari struktur organisasi, pola rekrutmen, hingga skema pendanaan aktivitas kelompok itu.
JI memiliki dua sumber pendanaan yang berasal dari infak bulanan para anggotanya sebesar 2,5% dari penghasilan masing-masing, serta melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) seperti Abdurrahman Bin Auf.
Dana yang dikumpulkan oleh LAZ Abdurrahman Bin Auf ini lah, yang menurut polisi, “dikamuflase” untuk kegiatan pendidikan dan sosial. Sebagian di antaranya kemudian dimanfaatkan untuk menggerakkan aktivitas kelompok JI.
Penangkapan An-Najah, Farid Okbah, dan Anung Al Hamat sendiri berkaitan dengan aktivitas pendanaan tersebut. Polisi menyatakan dokumen-dokumen LAZ Abdurrahman Bin Auf telah membuktikan keterkaitan para tersangka.
Menurut Rusdi, An-Najah merupakan Ketua Dewan Syariah LAZ Abdurrahman Bin Auf, sedangkan Farid Okbah merupakan anggota dewan syariah tersebut. Sementara itu, Anung Al Hamat merupakan pendiri sebuah badan bantuan hukum bagi anggota JI yang ditangkap Densus 88.
“Juga ada keterangan 28 saksi, ini keterangan para tersangka yang ditangkap terdahulu, menerangkan kepada penyidik bahwa mereka terlibat aktivitas pendanaan oleh kelompok teroris JI ini,” papar Rusdi.
Penindakan terhadap ketiga tersangka ini juga diklaim merupakan hasil pemantauan yang cukup lama dan “dapat dijaga legalitasnya”. Rusdi menyatakan tidak ada upaya mengkriminalisasi siapa pun dari penangkapan ini.
Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid memaparkan para tersangka memang memiliki rekam jejak terkait dengan Jemaah Islamiyah.
Farid Okbah pernah berangkat ke Afghanistan menjadi afiliator atau koordinator JI untuk Al Qaeda di Afghanistan. Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI) ini juga dianggap sebagai mentor di kalangan JI.
Sedangkan An-Najah yang merupakan anggota Komisi Fatwa MUI, merupakan salah satu petinggi JI. An-Najah adalah alumni dari Pesantren Al Mukmin, Ngruki, yang didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir.
MUI akan lakukan ‘profiling’ calon anggota
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, mengatakan pihaknya akan menghormati proses hukum dari An-Najah, yang saat ini telah dinonaktifkan sebagai anggota Komisi Fatwa MUI.
Cholil mengatakan dirinya “prihatin” dan “terkejut” karena ternyata salah satu tersangka teroris yang ditangkap Densus 88 adalah anggotanya. Namun dia menegaskan, keterlibatan An-Najah dengan JI tidak ada kaitannya dengan MUI.
“Dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam gerakan jaringan terorisme merupakan urusan pribadinya dan tidak ada sangkut pautnya dengan MUI,” kata Cholil.
Pengurus harian Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI, Makmun Rasyid menuturkan pihaknya tidak mengetahui rekam jejak dan keterkaitan An-Najah sebelum ada penangkapan oleh Densus 88.
“Di MUI ketika memasukkan nama yang bersangkutan sebagai anggota Komisi Fatwa MUI, kita tidak mengetahui [keterlibatannya],” kata Makmun.
Terkait posisinya sebagai anggota Komisi Fatwa, MUI mengatakan An-Najah tidak memiliki hak suara penuh.
“Di dalam proses pembuatan fatwa, yang bersangkutan hanya memberikan perspektifnya, tetapi tidak mempengaruhi kebijakan komisi fatwa MUI itu sendiri,” papar Makmun.
Sebagai tindak lanjut, MUI berencana melakukan profiling terhadap anggota-anggota baru yang akan mereka rekrut selanjutnya. Ada kemungkinan profiling serupa juga akan diterapkan pada pengurus MUI saat ini, meski keputusan terkait ini mesti dibahas lebih dulu melalui rapat dewan pimpinan.
“Ketika kami tahu salah satu anggota ormas itu terlibat dalam upaya pengumpulan dana [terorisme] maka kita serahkan ke Densus 88,” tutur dia. – BBC/dms