Semua Terjadi Sebab Pendidikan

(Serial Bangga Aku Jadi Warga Bangsa Indonesia)

Seide.id – Orang bertanya kok susah mengatur rakyat Indonesia. Pikiran jernih menjawab sebab pendidikan. Selain belum semua terdidik, konsep pendidikan lebih pengajaran, dan kehilangan sikap mendidik.

Tujuan pendidikan memanusiakan manusia. Memberadabkan manusia. Menjadi manusia berbudaya. Warisan budaya kita luhur. Tapi nyatanya tidak untuk mendidik generasi. Negara terbangun maju fisiknya, tapi bukan manusianya. Maka sebagian terbangun masyarakat yang kurang berbudaya. Warisan itu luntur karena konsep pendidikan lebih bikin pintar, namun belum tentu baik. Banyak orang pintar, tapi belum tentu orang baik.

Pendidikan juga yang mendidik ihwal benar dan salah, baik dan jahat, pantas dan tidak pantas, beretika dan tidak beretika, beretiket dan tidak beretiket. Jadi janggal dan aneh kalau masih terlihat ada orang terdidik tidak cerdas sikap-pikir laku, dan rasanya. Bukan menunjukkan kebenaran universal, melainkan kebenaran sepihak, kebenaran yang memihak. Benar kata Anda, belum tentu benar kata saya. Baik kata Anda, belum tentu baik kata saya. Tata nilai menjadi milik setiap orang. Korupsi seperak, masih boleh dibenarkan ketimbang korupsi sejuta perak. Kebenaran menjadi tidak universal. Demikian juga menyikapi nilai lain. Nilai kepantasan salah satunya, yang lebih relatif.

Kita menyaksikan dunia yang semakin rancu dalam mengacu tata nilai. Sudah lama berlangsung kekacauan nilai karena direcoki politik, dan salahnya pendidikan. Di Amerika Serikat sudah lebih lima dasawarsa anak sekolah sukar membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Menyontek, berbohong, amoral dilumrahkan. Namun pendidikan tidak meluruskan. Boleh mencuri asal tidak ketahuan, misalnya.

Peran pendidikan nyata besar kalau melihat kekacauan nilai di dunia. Jepang menyisihkan 4 tahun untuk pendidikan tata nilai anak. Itu maka betapa pentingnya sekolah perdana yang mengutamakan mendidik, bukan mengajar. Anak tahu mana yang benar dan salah sejak di awal kehidupan, sehingga tidak sukar melakukan kalau sudah telanjur salah kaprah setelah anak terbentuk kepribadian salahnya. Menanamkan pada anak ihwal yang baik dan yang jahat. Yang santun dan tidak santun. Yang perlu takut akan Tuhan. Maka kualitas seseorang ditentukan oleh semasa awal anak dididik apa.

Ada sekolah lanjutan yang setelah diterima sekolah, setiap anak bikin pakta integritas menulis dengan tangan sendiri di kertas bermeterai, kalau menyontek siap dikeluarkan dari sekolah. Ini sikap sekolah dalam menegakkan pendidikan nilai, bertujuan menjadikan anak didik kelak menjadi manusia lurus, bukan culas.

Untuk cerdas hidup lurus, dan tidak culas, mengacu pada konsep mendisiplinkan hidup, kita membaca acuan seorang psikiater J Scott.

Berdisiplin hidup yang menginternalisasikan nilai kebenaran, untuk menciptakan manusia yang baik, dengan nilai-nilai (1) menjunjung tinggi kebenaran. Misal, oleh karena korupsi itu tidak benar, bukan itu pilihan hidupnya. (2) menerima tanggung jawab, berarti menanamkan sikap ksatria, karena sadar manusia bisa khilaf, dan sadar akan kesalahan diri. (3) menunda kepuasan hidup, berarti hidup yang ugahari, hidup yang sederhana, santun, terkendali, rendah hati, lembut hati, sabar, taat dan bersusila. Hidup yang dibangun secara sistematik, mendahulukan yang prioritas, dan menunda yang tidak prioritas. Anak yang kalau makan memilih menu yang kurang enak dimakan dulu, dan yang enak dimakan belakangan, itu tanda anak yang punya sikap menunda kepuasan dalam hidupnya. Anak yang membuat PR dulu, baru bermain, dan bukan bermain dulu baru buat PR, inilah tipe anak yang mengawali bakal hidup suksesnya kelak. (4) hidup seimbang dunia-akhirat. Ini berarti sikap hidup yang tidak ngoyo hanya fokus urusan duniawi, tidak pula hanya berdoa tanpa bekerja. Bergumul di luar diri untuk berziarah ke dalam diri.

Kalau saja semua pendidikan menginternalisasikan nilai-nilai berdisipilin hidup di atas, mestinya tercipta insan, bukan saja cerdas kepalanya, melainkan cerdas pula tata nilai kehidupannya. Manusia yang selain pintar juga sosok orang baik.

Pembangunan bangsa yang seperti itu saya pikir yang dibutuhkan semua bangsa. Andalannya pada pendidikan. Pendidikan yang mendidik. Pendidikan Finlandia dinilai terbaik di dunia. Tidak ada PR, tidak ada ranking, metoda pendidikan lebih demokratis, lebih memanusiawikan. Kita perlu mengacu itu.

Pendidikan juga berarti pendidikan bagi ibu. Peran ibu strategis karena menentukan bukan saja tumbuh anak dari meja makan ibu, terlebih bagaimana normal jiwa anak berkembang. Jiwa yang sehat karena tanpa trauma, tanpa salah asuh, dan salah membesarkan. Hanya apabila ibu wawasannya berilmu, ibu yang terdidik, yang tahu cara membesarkan anak yang normal menyehatkan, bukan anak yang jiwanya menyimpang, atau jiwa yang sakit.

Kalau kita melihat anak bangsa yang preferensinya suka mengkiritik tak jelas, mungkin masa kecilnya salah dibesarkan. Kalau kebiasaanya suka mengumpat terus, bisa jadi masa kecilnya salah diasuh. Kalau suka menentang, suka melawan, sukar dipahami, susah diatur, perlu ditelisik seperti apa masa kecilnya.

Melihat hampir kebanyakan ibu kita bukan terdidik, bisa dibayangkan sebarapa banyak anak bangsa yang tercipta tidak sepenuhnya normal. Kalau banyak anak bangsa yang hidupnya kacau, bikin beban negara, serba menyimpang, itu karena memang tidak tercipta menjadi insan yang normal. Tidak dibesarkan secara benar seturut perkembangan jiwanya. Dan kalau mereka menjadi pejabat, menjadi menteri, menjadi pamong, alangkah sumbangnya sikap-pikir-laku, serta rasanya dalam mengemban jabatannya. Itu yang kita saksikan sekarang. Pejabat dan wakil rakyat yang asal pokrol, asal jeplak kalau ngomong, asal kritis, asal beda, dan menghalalkan semua cara. Dengan baju orange KPK, misal, masih tertawa. Sudah terbukti bersalah, masih tebal muka.

Kita ingin terbebas dari semua kenyataan miris ini. Berharap dari generasi. Generasi yang semakin pembelajar. Gerenasi yang bisa banyak belajar nonformal segala informasi yang dikutipnya dari dunia. Semoga mereka bukan saja lebih cerdas dari orangtuanya, dari sesepuhnya, dari gurunya, dari pejabat dan pemimpinnya, melainkan terlebih juga menjadi manusia yang lebih baik.

Kini kita punya bonus demografi. Bangsa kita masih punya modal besar dari generasi usia produktif yang mulai bangkit ini. Semoga mereka yang lebih cerdas terpelajar, bisa otokoreksi dengan berkaca pada sikap-pikir-laku para profesional dunia, sopan santun bergaul berbisnis kelas dunia, semoga menjadi sosok insan kamil.

Itu harapan kita semua..

Salam sehat,
Dr Handrawan Nadesul

Bonus Bangun Lebih Pagi