Seide.id -Merenungkan kasus Eril, putra Ridwan Kamil, saya jadi teringat pendidikan “Safety First” (SF) kita. Pendidikan sejak sekolah dasar, bahkan sejak sekolah bermain, pembekalan hidup sehat bagi setiap anak untuk selamat sampai sepanjang hayat.
Di mana-mana negara, SF masuk kurikulum. Mengapa? Oleh karena risiko kematian sebab kecelakaan sama besarnya kalau bukan lebih besar dari kematian sebab penyakit. Demi keselamatan, kecelakaan perlu dicegah dengan menguasai bekal pendidikan SF.
Pendidikan SF paling mendasar soal lantai licin, perlu ada rambu pemberitahu lantai sedang licin karena basah. Jatuh, terbilang kasus yang banyak mengisi angka kecelakaan. Juga kecelakaan lalu lintas.
Lalu lintas kita pernah tercatat paling buruk, dan besar risiko kehilangan nyawanya. Nasib manusia tertulis dalam sebuah leaflet wisata di Indonesia, diidentikkan dengan nasib seekor anjing ketika seseorang berada di jalan raya.
Pendidikan SF memberi cara bagaimana berkendara yang aman, menyeberang jalan yang aman, dan bagaimana menuntun anak di jalan raya.
Kita sering menemukan pemandangan orangtua menuntun anak di jalan raya, anak berada di sisi jalan, dan orangtuanya di sisi dalam. Bukankah amannya, anak berjalan di sisi dalam.
Menyeberang jalan, bukan tanpa risiko tertubruk kendaraan. Maka tak cukup teori, terlebih perlu latihan menyeberang. Sekolah dasar di luar melatih anak bagaimana cara menyeberang jalan yang aman, bukan hanya teori. Anak perlu mengenal pemadam kebakaran menambah pengalaman bahaya api, bahaya hewan buas, dan bahaya benda runcing, serta tajam.
Bagaimana aman meletakkan barang mudah pecah, menghindari terkerat pisau dan gunting, bahaya disengat serangga, mengenal tempat dan konsisi berisiko merenggut nyawa. Dilatih mengenal lebih dekat hidup dengan alam, tahu cara hidup bersahabat dengan alam. Dulu kegiatan pandu dan pramuka memberikan semua bekal itu.
Demikian pula tempat-tempat di alam yang berbahaya. Cara aman bermain di pantai, menjauhi ancaman ombak laut, termasuk melindungi anak di kolam renang.
Kejadian anak meninggal di kolam renang, bagian dari orangtua yang tidak mengantisipasi risiko kolam renang mengancam keselamatan anak-anaknya. Bahaya dan sikap anak berada di dekat kolam renang, bagian dari pendidikan SF juga.
Perhatikan kebanyakan dari kita berkendara mobil dan sepeda motor, bukan saja membahayakan dirinya sendiri, juga membahayakan orang lain. Maka berkendara di Indonesia, tak cukup menjaga diri kita sendiri terlindung dari risiko di jalan raya, juga perlu esktra memperhatikan ancaman berkendara orang lain yang ugal-ugalan. Cara kebanyakan kita berkendara bukan cuma melanggar kesantunan berlalulintas, tapi menjadi ancaman terhadap nyawa kita juga.
Tahu bahaya bila memanjat pohon besar sehabis hujan, bagian dari pendidikan SF. Risiko bermain di lapangan atau berenang di kolam renang sewaktu hujan berpetir, risiko bermain anggar dengan lidi atau bambu yang runcing.
Selain perlu menguasai teori ihwal kondisi, dan tempat berisiko berbahaya, juga bagaimana menahan diri untuk tidak memasuki lokasi, atau area berisiko mengancam nyawa. Patuh pada peringatan yang terpasang di tempat umum. Bendera pantai peringatan tidak boleh berenang. Peringatan tidak boleh mendaki gunung bersendiri.
Setiap keputusan kita tetap memasuki keadaan ancaman berisiko celaka dan maut, menentukan nasib keselamatan kita. Keselamatan nyawa kita juga. Kejadian patah tulang, mata tertusuk, gendang telinga pecah karena tergebuk benda keras, bermain benda runcing, atau bercanda memperdengarkan teriakan keras sekali di depan liang telinga orang lain, tidak perlu terjadi kalau itu termasuk warning dalam keseharian anak. Tidak tahu kalau candaannya berakibat kecacatan fisik orang lain. Menarik kursi orang sehingga orang terjatuh duduk, mematahkan tulang ekor, bukankah ini cara sederhana bikin kecacatan orang lain.
Ada kurikulum khusus untuk pendidikan SF sejak sekolah dasar. Buku Pendidikan Kesehatan sekolah di Singapura yang pernah saya baca, ditulis oleh seorang berlevel PhD pendidikan, dibuat sistematika melatih anak mendahulukan keselamatan dalam setiap kegiatan hidupnya.
Selama ini hanya pihak orangtua kita di rumah yang sadar menambahkan bagaimana anak menguasai praktik SF. Memberi nasihat sebelum piknik sekolah, supaya guru yang lalai membuat anak terhanyut di sungai selagi wisata, misalnya. Bagaimana aman memilih bus wisata, hanya memilih sopir yang sudah pengalaman berkendara ke luar kota. Kecelakaan bus wisata selain kondisi kendaraannya yang tidak aman, juga pilihan sopirnya bukan yang berpengalaman membawa kendaraan keluar kota. Memilih sopir bus dalam kota, misalnya. Ini termasuk antisipasi SF juga. Orangtua tidak membiarkan anaknya ikut wisata dengan kondisi tidak aman, cara mudah menghindar dari risiko kecelakaan.
Di mata medis, berkendara ngebut dengan tidak ngebut tentu ada beda risiko kecelakaannya. Berdalih kalau mati bisa terjadi di rumah pun, maka kenapa harus takut untuk ngebut, saya kira ini pikiran yang sesat.
Tetap berada dalam kondisi aman memerlukan banyak warning tertulis dalam buku sekolah pendidikan dasar. Di tempat umum, publik diingatkan juga bila ada tempat, atau kondisi yang memerlukan kehati-hatian. Makin lengkap pengetahuan SF anak dan setiap orang, makin kecil ancaman kecelakaan yang orang alami, dan akan mereka alami.
Selain faktor human error karena kurang pembekalan SF, kondisi di lapangan kita belum sepenuhnya mengikuti kaidah keselamatan. Arsitektural tempat umum yang pilihan berlantai licin, undakan tanpa penjelas, sehingga orang terjatuh karena kurang dirambu, keamanan gedung, tanpa pintu penyelamatan darurat, kondisi permainan anak yang tidak mematuhi kaidah teknik sipil, pembuatan jalan tol yang bergelombang, yang bikin kendaraan terangguk-angguk, bukan jalan tol yang aman. Kurang lampu jalanan, rambu peringatan jalan berbahaya, jalan licin.
Berapa banyak kendaraan umum di darat maupun laut yang tidak mengindahkan aturan keselamatan. Ban pelampung, diabaikan bahkan di sekadar rakit dan perahu kecil. Jadi begitu berat perjuangan orang kita di tengah ancaman ketidahktahuan penyelamatan diri, maupun kondisi peralatan, kendaraan umum.
Tidak tahu persis seberapa level SF diperlukan bagi yang akan berenang di Sungai Aare, Swiss, supaya terbilang aman. Bukan maksud menyalahkan, namun saya pikir, di sungai itu konon menurut berita, setiap tahunnya menelan seratusan korban jiwa. Fakta ini perlu dijadikan bahan pertimbangan, tergolong warning seturut kaidah SF. Adakah regulasi itu sebagai warning bagi yang akan berenang di situ?
Saya hanya ingin menyampaikan, betapa kurangnya pendidikan SF kita. Anak-anak kita, dan semua orang dewasa kita, tidak terlindung dari bekal keselamatan dirinya untuk sepanjang hayatnya.
Tanpa bekal SF, belum tentu perjalanan hidupnya terbebas dari marabahaya yang secara teori terduga, karena bukan tak bisa diperhitungkan, apalagi risiko yang sampai menghilangkan nyawa. Kehilangan nyawa hanya karena kurang pembekalan SF, saya pikir, sebuah kekonyolan yang tidak boleh terjadi, karena masih mungkin kita cegah. Tugas pemerintah dan kita, mendidik anak-anak supaya hidupnya selalu dalam perlindungan hidup yang berkeselamatan.
Salam mendahulukan keselamatan,
Dr Handrawan Nadesul
Empat Penyakit yang Bisa Bikin Tekor BPJS yang Tak Perlu Kita Alami