Foto : lechenie narkomanii/ Pixabay
‘Ben diarani’ itu sering kali membuat kita lupa diri. Karena ingin diakui, dipuji, dan dihormati. Kita merasa lebih hebat dibandingkan dengan orang lain. Dan pengakuan kosong itu hendaknya diwaspadai agar tidak mencelakakan diri sendiri.
Bagaimana tidak mencelakakan diri sendiri. Karena ingin diakui sebagai pemberani, dipuji, dan dihormati, kita melakukan sesuatu perbuatan tanpa berpikir panjang terlebih dulu. Akibatnya, menyesal belakangan itu juga tiada guna.
Hal itu yang terjadi pada E. Pagi itu E tidak bekerja kembali. Alasannya, tubuhnya meriang, nggregesi, dan tidak mempunyai tenaga.
Selidik lewat selidik sebab E sering tidak bekerja, dari pamannya yang saya kenal, ternyata E kecanduan pil koplo.
Saya terperangah! Saya merasa kecolongan, karena kurang peka dan perhatian dengan keadaan di sekitar, khususnya pada karyawan sendiri.
Menurut Paman E, pengaruh pil koplo itu membuat seorang jadi halunisasi. Merasa kuat, berani, dan tidak merasa lapar. Jelasnya, gara-gara E salah pergaulan.
Keesokan hari, ketika E bekerja, saya panggil masuk ke ruangan saya. Wajah E tampak kusut.
“E, kalau kau masih sakit, sebaiknya istirahat dulu,” kata saya sambil menatapnya tajam.
“Sudah mendingan, Pak,” jawab E lirih, lalu menunduk.
“Serius? Tapi hampir tiap Senin kau tidak masuk,” pancing saya. “Kau mau cuti atau bagaimana…”
E diam. Sorot matanya tampak gelisah.
“Kau ada masalah? Pengin kawin, misalnya.”
“Tidak, Pak!”
“Lalu? Akhir-akhir ini kau tampak loyo. Seringnya, itu habis Mingguan. Atau kau ingin pindah hari libur. Minggu kau bekerja…?”
“Bukan, begitu Pak…”
“E, jika kau ada masalah, sebaiknya terbuka. Tidak perlu malu. Kau ada masalah dengan keluarga?” pancing saya mencoba mengorek. E menggeleng, gelisah. “Serius? Kau sayang dengan keluargamu, orangtuamu?“
“Benar, Pak.”
“Sekiranya sayang keluarga dan orangtua, kau tentu bekerja dengan baik. Nyatanya, hari Senin kau sering izin. Kau habis minum, atau …?!” Kuamati E yang menunduk, dan tampak makin gelisah.
“Sekiranya Senin kau bekerja, tapi phisikmu lemah dan tidak sehat. Kau ngirim barang, lalu terjadi hal buruk denganmu. Apa kau tidak kasihan pada orangtua. Minum itu boleh, asal tahu diri, ada batasnya. Obat dan barang haram itu harus dijauhi, karena merusak tubuh dan masa depanmu.”
Saya mencoba mengelus hati E. Saya singgung tugas dan tanggung jawabnya sebagai pekerja, nama baik dan kehormatan orangtua yang harus dijaga, dan seterusnya. Tanpa tendensi, menilai, dan apalagi untuk menghakimi.
“E, jika di jalanan terjadi hal buruk padamu, saya juga tidak enak hati pada Pamanmu yang memasukkan kau bekerja di sini.”
E menggigit bibir. Ia mencoba menyembunyikan kesedihan itu dengan menunduk agar air matanya yang mengembang itu tidak terlihat oleh saya. Dan saya biarkan E dalam diamnya.
“Maafkan saya, Pak, kalau selama ini saya banyak merepotkan. Saya janji mau berubah,” suara E bergetar.
Saya bangkit, lalu mendekatinya. Kutepuk-tepuk bahu E.
“Saya percaya. Masa depanmu masih panjang. Pilih-pilihlah teman yang baik, dan jangan ikut-ikutan sekadar pengin diakui…”
“Terima kasih, Pak,” E bangkit menuju ke luar.
Kuhempaskan tubuhku di sofa. Janji E memang butuh waktu dan pembuktian. Dari sorot matanya itu, E belum kecanduan pil koplo. Dan saya percaya dengan kesungguhan hatinya. Saya juga bisa minta tolong pada Paman E yang kebetulan rumahnya bersebelahan dengan orangtua E.
Semoga Allah menguatkan niat baik E, dan melindunginya dari yang jahat. (Mas Redjo)