(Foto: health.gov.uk)
Seide.id – Lebih dari 12 juta orang dewasa di Amerika Serikat (AS) menggunakan rokok elektrik (vape), perangkat yang dioperasikan dengan baterai dan menjadi pilihan pengganti rokok tembakau.
Tingkat penggunaan tertinggi vape ada pada kelompok usia 18-24 tahun.
Pada 2021, lebih dari dua juta siswa sekolah menengah dan atas melakukan vaping setidaknya sekali. Hampir 85 persen dari orang-orang ini menggunakan rokok elektrik beraroma.
Studi sebelumnya tentang penggunaan vape jangka pendek, dengan konsentrasi nikotin yang rendah, telah menunjukkan perubahan inflamasi di paru-paru, otak, dan jantung.
Penyelidikan ini dipimpin oleh penulis studi senior Dr. Laura Crotty Alexander, seorang profesor kedokteran di University of California San Diego School of Medicine dan kepala bagian Pulmonary Critical Care di Veterans Affairs San Diego Healthcare System.
Konsekuensi kesehatan terkait konsumsi tembakau sudah jelas. Karena perangkat vaping masih relatif baru, data tentang efeknya terbatas.
Dalam sebuah wawancara dengan Medical News Today, Dr. Santosh Kesari mengatakan bahwa penelitian ini, “Menegaskan bahwa apa yang kita ketahui sebelumnya tentang tembakau berlaku untuk produk nikotin yang lebih baru ini.”
Dr. Kesari adalah ahli saraf di Pusat Kesehatan Providence Saint John di Santa Monica, Calufornia, AS, dan Direktur Medis Regional untuk Research Clinical Institute of Providence Southern California. Dia tidak terlibat dalam penelitian.
Dr. Crotty Alexander dan timnya berfokus pada JUUL, merek vape yang saat ini populer di AS, dan rasa yang paling populer adalah mint dan mangga.
Mereka memaparkan tikus dengan aerosol tiga kali sehari selama 60 menit per hari, selama satu hingga tiga bulan.
Mereka menemukan perubahan ekspresi gen di dalam area otak yang terkait dengan motivasi dan pemrosesan penghargaan. Perubahan ini mungkin terkait dengan perilaku adiktif, kecemasan, dan depresi, yang memicu penggunaan dan kecanduan narkoba lebih lanjut.
Sampel usus besar menunjukkan peningkatan ekspresi gen inflamasi, yang mungkin mengindikasikan peningkatan risiko penyakit gastrointestinal.
Di sisi lain, jaringan jantung mengalami penurunan tingkat peradangan. Para penulis percaya bahwa ini mungkin menunjukkan kekebalan yang ditekan, membuat jantung lebih rentan terhadap infeksi. (Sumber: MedicalNewsToday.com)