Menghadapai ancaman keutuhan NKRI dan hancurnya tradisi budaya negeri – rakyat harus berjuang sendiri . Karena aparat dan penegak hukum sibuk mengejar jabatan dan mengamankan posisi. Terkesan kurang peduli.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
HAL yang sangat mengecewakan dalam proses penegakkan hukum kita saat ini adalah lambannya aparat dalam memproses para penjaja ideologi anti negara, anti demokrasi, anti toleransi, anti Pancasila dan anti NKRI.
Rakyat harus berjuang sendiri melawan gerakan masif anti toleransi dan perusak budaya negeri.
Penegak hukum baru bertindak dan “bekerja” jika netizen pro NKRI teriak teriak dan menjerit jerit di media sosial – menjadilannya viral.
Tanpa campur tangan warga dunia maya (netizen), pegiat media sosial yang peduli pada kesatuan dan keutuhan negara, aparat tetap asyik dengan urusannya sendiri.
Warga mayoritas diam, silent majority – yang moderat dan toleran – yaitu kaum nasionalis, yang mendukung negara dan pemerintah – kerap dibuat kecewa pada aparat, khususnya TNI dan polisi. Karena “low respon”.
Dalam menangani para perusuh ideologis, para penegak hukum cenderung kelewat hati hati dan baik hati. Bahkan terkesan tidak peduli.
Ada kesan kuat, korps TNI dan polisi, juga BNPT, kejaksaan dan kehakiman, bekerja untuk masing masing lembaganya sendiri – nafsi nafsi – demi nama baik dan pencitraan korps mereka. Bukan untuk menjaga negara dan bukan untuk bangsa.
Konsistensi nampaknya hanya dimiliki unit Densus 88 yang terus mengejar, menangkap dan menghabisi teroris.
Padahal terorisme kepada negara bukan hanya mereka yang “sudah jadi”, sudah militan, sudah melawan dan angkat senjata berjihad, dan siap mati sahid.
Bagaimana dengan penyebaran bibit bibitnya ? Siapa yang membersihkan parasit ideologis itu?
Sebagian pendakwah agama, tokoh ormas, aktifis dan politisi kini ikut menyemai dan menyebarkan pupuk ideologis yang menumbuhkan bibit bibit teroris, bibit pendukung negara khilafah, dimana petugas negara lamban menanganinya. Bahkan diberi panggung.
Mereka sudah berani terang terangan anti merah putih, anti ‘Indonesia Raya’, anti budaya Nusantara. Anti demokrasi dan anti Pancasila. Menjajakan konsep negara khilafah – di luar konsensus bapak bapak Pendiri Bangsa kita yang berjuang mempertaruhkan nyawa.
Bibit bibit mereka dibiarkan tumbuh, menyebar ke kampus kampus, ormas ormas radikal, kantor pemerintah, BUMN, dan masuk partai politik. Bahkan sudah jadi anggota dewan di Senayan dan daerah.
Orang orang yang jelas jelas menciptakan keresahan dan mengumbar kebencian – dan ada pasal pelanggaran pidananya – didiamkan, sejauh tidak ada laporan dan mengganggu aparat penegak hukum yang seharusnya sudah menindak mereka.
Mereka – para penegak hukum itu – tetap asyik dengan diri sendiri. Cari aman.
Nafsi nafsi.
Setelah warga menjerit dan meneriakinya – menjadikan viral – membanjiri laporan dan atasan mereka terganggu barulah ada tindakan.
Padahal mereka digaji, dilatih dan diseragami serta difasilitas oleh pajak rakyat dan negara. Untuk menjaga negara.
Selanjutnya, sekiranya mayoritas toleran diam.