Oleh HERMAN WIJAYA
Evi, ibu korban napi terpanggang Petra (25 tahun) di Lapas Klas I Tangerang, menuturkan, anaknya kerap meminta uang kepadanya untuk membayar uang sampah, uang listrik, uang kebersihan dan lain-lain di Lapas. Dia punya bukti transfer uang kepada Petra untuk pindah dari LP Cipinang ke Tangerang sebesar Rp.500 ribu.
Dirjen PAS Reinhard Silitonga membantah ada pungutan di lapas. Dia berjanji akan memeriksa anak buahnya terkait kabar itu.
Pengakuan Evi mengenai adanya pungutan di lapas (penjara) bukanlah cerita baru. Setiap orang yang pernah merasakan hidup di dalam penjara atau ada anggota keluarganya yang harus meringkuk di balik terali besi, rata-rata memiliki cerita yang hampir mirip: Harus menyediakan uang untuk “membayar” kebutuhan di dalam lapas, bahkan termasuk “membeli” tempat baginya untuk berada di dalam sel.
“Kalau tidak bayar, bisa disuruh tidur di luar sel,” tutur seorang mantan napi yang baru ke luar dari salah satu penjara di Jakarta.
Seorang teman penulis suatu hari di tahun 90-an mengeluh, karena anaknya yang baru dikirim ke LP Paledang, Bogor, minta dikirimin uang Rp.2,5 juta untuk membayar kamar. Kalau tidak membayar, alamat anaknya tidak akan mendapat tempat di dalam sel.
“Tidak sedikit napi yang harus tidur berdesak-desakan di dalam sel. Ada yang cuma bisa tidur miring atau duduk dengan menekuk kaki. Yang tidur miring itu benar-benar tidak ada jarak antara napi satu dengan lainnya. Kalau sudah pegal, mau berbalik, ada komando untuk berbalik bareng-bareng,” tutur salah seorang mantan napi.
Tidak jelas sampai sejauh mana kebenaran cerita mengerikan para mantan napi itu. Tetapi soal harus ke luang uang selama berada di dalam penjara, bukan isapan jempol. Ini juga dialami oleh penulis ketika membesuk salah seorang teman yang ditahan di sebuah LP di Depok.
Ketika hendak membesuk teman yang menjadi napi di LP tersebut, ia berpesan agar membawakan uang supaya bisa ke luar sel. Jumlahnya tidak banyak, Rp.20.000,-. Menurutnya uang itu digunakan untuk, membayar biaya ke luar sel (Rp.5.000), ke luar Blok (Rp.5.000), membayar pakaian tahanan (Rp.5.000) dan biaya kebersihan tempat besuk (Rp.5.000).
Pembesuk memang tidak lagi dikenai pungutan, seperti ketika penulis membesuk teman di LP Paledang Bogor, tahun 80-an. Tetapi pengunjung, baik keluarga, teman atau kerabat terpaksa harus menyiapkan uang untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas yang akan diserahkan kepada tahanan yang akan dibesuk. Logikanya, dari mana tahanan punya uang untuk membayar item-item yang disebutkan di atas jika pembesuk tidak memberinya uang?
Bagi tahanan berduit, seperti napi tipikor, atau tahanan yang bisa berbisnis, penjara bukanlah tempat menakutkan. Di Lapas Sukamiskin Bandung, para napi korupsi masih bisa menikmati hidup dengan layak, bahkan terhitung mewah.
Ini lagi-lagi pengalaman penulis ketika mengunjungi Lapas Sukamiskin Bandung, 5 tahun lalu. Ketika itu penulis diajak aktor senior Soultan Saladin untuk membesuk aktor HF yang ditahan di Lapas Sukamiskin. Sebagaimana laiknya orang membesuk tahanan, membawa makanan adalah prioritas utama. Begitu pula yang kami bawa.
Sesampainya di Sukamiskin, kami didata, lalu diberikan tanda pengenal pengunjung. Makanan yang kami bawa ditinggal di pos penjagaan. Penulis bersama aktor SS lalu diajak oleh pembesuk lain untuk menemui mantan Menpora AM yang juga sedang main tenis. Saat itu AM sedang menjalani hukuman di sana.
Kami menonton di pinggir lapangan, di mana terdapat sebuah meja penuh makanan. Selesai main tenis AM mengajak kami makan. Rupanya hari itu dia berulangtahun. Makannya banyak dan enak-enak. Kami para pembesuk lalu ikut makan, bersama beberapa tahanan KPK lainnya yang rata-rata mantan pejabat.
Hampir semua napi KPK memiliki saung di sana. Kabarnya harga saung terbuat dari bambu, termurah Rp.30 juta. Di saung itulah mayoritas napi berkumpul atau menerima kunjungan pada siang hari.
Situasi seperti itu pasti tidak akan pernah dialami oleh narapidana umum yang, mendapat makanan besukan seminggu sekali saja sudah bagus. Tetapi buat napi koruptor, membeli kemewahan di penjara bukan hal yang sulit. Habis makan kami diajak untuk ke saung-saung milik napi di tengah lapas (sebelum dibongkar).
Merayakan pesta dengan makanan berlimpah seperti yang dilakukan oleh AM, tidak ada apa-apanya dibangding kemewahan lain yang diterima oleh para napi koruptor atau bandar-bandar narkoba.
Bayangkan, tahanan KPK Gayus Tambunan yang ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, bisa meninggalkan selnya untuk menonton pertandingan tenis di Bali. Bagi orang awam, membayangkan kondisi di dalam Mako Brimob saja sulit, mengingat begitu “angker” kesan markas dari satuan elite kepolisian itu, mengingat penjagaannya yang sangat ketat. Kalau Gayus Tambunan bisa ke luar untuk kemudian nonton pertandingan tenis di Bali, tentu kekuatan berpengaruh yang dimilikinya. Apalagi kalau bukan uang!
Masih ada beberapa catatan lagi tentang pengaruh kekuatan uang bagi tahanan napi di dalam Lapas atau tahanan sementara.
Pada Minggu, 10 Januari 2010 malam, anggota Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum yang dipimpin Denny Indrayana melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II A Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Terpidana kasus suap Artalyta Suryani alias Ayin, pengusaha yang menjadi terpidana kasus suap tinggal bersama asisten pribadinya, Asmiyati yang merupakan terpidana dua tahun enam bulan penjara Di dalam ruangannya terdapat perlengkapan bayi untuk anak angkatnya.
Di Rutan yang sama, napi kasus narkoba Limarita alias Aling terdapat kamar khusus berukuran 3 x 3 meter dengan memiliki televisi layar datar ukuran 20 inchi serta dinding ruangannya telah disulap dengan motif daun serta bunga. Tidak luput juga ada meja kerja mewah.
Pada 31 Mei 2017 Badan Narkotika Nasional (BNN), menemukan ruangan sel mewah yang ditempati narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur, Haryanto Chandra alias Gombak. Dalam sel tersebut, aparat BNN menemukan beberapa barang seperti satu unit laptop atau komputer jinjing, satu unit Ipad, empat unit telepon genggam dan satu unit token, serta memiliki fasilitas AC serta CCTV untuk memonitor setiap orang yang datang.
Gembong Narkoba Freddy Budiman (sudah dieksekusi matai) masih bisa mengendalikan peredaran narkoba. Dia memiliki ruang atau dikenal dengan ‘bilik asmara’. Vanny Rossyane, model majalah orang dewasa pernah blak-blakan mengaku adanya ruangan mewah di Lapas Cipinang.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar pernah mengatakan, sudah berulangkali kasus suap di dalam lembaga pemasyarakatan terbongkar hingga sangat logis pejabat atasannya sebenarnya sudah mengetahui. Namun sampai saat ini, kebiasaan yang sudah membudaya di penjara tak pernah berubah. Setiap pejabat yang mengurusi masalah tersebut, baik Menteri atau Dirjen Pemasyarakatan, hanya bisa beretorika ketika kasus penyimpangan atau kejanggalan di penjara terungkap.*